Kamis, 30 Juni 2011

April: Perjalanan Golek Dalan PADANG !


Sudah beberapa perjalanan yang tlah kulakukan tanpa menulis Catatan Perjalanan, salah satunya adalah perjalanan ke Ranah Minang: Kota Padang! Tapi kok ya eman-eman kalau tak dituliskan ulang. Apalagi aku baru saja Go Blog di http://ziarah-visual.blogspot.com/ he he he. Ok berdasarkan ingatan akrobatik, aku akan mencoba menulis kembali perjalanan yang kulakukan pada 21-25 April 2011 lalu. Sebetulnya sebelum berangkat sudah kontak dengan mas Teguh Hidayat dan Henny Pudji Rahayu, tapi kami belum rejeki ketemu ... toh kami juga blusukan ke tempat masing2 he he he


Perjalanan ke Padang adalah melamar untuk adik bungsuku, aku ke Padang bersama Ibunda. Singkat kata, Kamis sore kami sudah berada di Padang dan malamnya dialog lamaran pun dilakukan, secara informal, apa adanya namun penuh keakraban, cukup mudah ternyata he he he. Jumat kami kemudian mulai beraktivitas untuk acara pernikahan yang akan dilakukan akhir Juli di Padang. Bonus yang kudapatkan pada hari Jumat ini adalah Jumatan di Masjid Ganting, sebuah masjid Ganteng yang mulai dikerjakan pada 1790 dan selesai 1810. Masjid ini mengalami cobaan dua kali yaitu Gempa Bumi + Tsunami pada 1833 dan Gempa Padang pada 2009 lalu, ketika aku datang, bagian mihrab masih mengkhawatirkan sehingga mihrab darurat dibuat di tengah masjid. Selain ke Masjid Ganting, bonus lainnya adalah Kuliner Ikan Djoni Kun di Kota Lama Padang: makan sekaligus mapping perjalanan hari berikutnya.


Sabtu 23 April, aku memutuskan untuk tak mengikuti lagi urusan Gedung dan Katering, aku memilih untuk meminjam motor dan memulai perjalanan. Perjalanan kemudian kumulai di Makam Turki Gunungpadang yang masuk di Nagari Teluk Bayur. Makam yang terletak di lereng pinggir jalan raya menuju Teluk Bayur itu seolah menjadi jejak Ottoman di Indonesia. Perjalanan berikutnya adalah yang paling berat yaitu menuju Gunung Padang di Muaro Padang, menyusuri Benteng-benteng Kolonial lalu menanjak ke atas, akhirnya akupun tiba di makam Siti Nurbaya, yang letaknya berada di sebuah Gua menjelang puncak. Perjalanan yang membuat aku kehabisan napas dan hampir pingsan itu, aku netralisir dengan Es Tebu di pojok Kota Tua – Jembatan Siti Nurbaya.


Setelah mulai bisa menemukan napas, aku segera bergegas menikmati Kota Tua Padang yang semakin sunyi dan sepi itu, bangunan-bangunan bergaya colonial dan tionghoa tampak begitu kuat hadir disana. Akupun tak melewatkan untuk melihat Kelenteng See Hien Kiong didirikan pada tanggal 1 November 1905. Dahulunya kota Padang tidak mempunyai kelenteng sama sekali. Pada waktu itu suku Tjiang dan Tjoan Tjioe datang untuk berniaga (dagang) di kota Padang. Kemudian didirikan kelenteng Kwan Im (Kwan Im Teng) pada tahun 1861 dengan persetujuan Raja Ham Hong Taun Sien Yu. Klenteng ini rusak berat, dihalaman depan dibangun 2 ruang darurat yang digunakan untuk ruang Altar Peribadatan serta Ruang Pengurus Klenteng. Selepas menikmati jejak-jejak Indis di Batang Arau, perjalanan kemudian adalah keliling kota dengan pemberhentian di Museum Adityawarman, Monumen Lingga Young Sumatra … menjelang sore perjalanan kututup dengan Jus Pinang yang Gahar !


Minggu 24 April, adalah hari terakhir di Padang yang memungkinkan aku untuk blusukan, maka dengan sedikit nekat akupun bergerak sedikit ke arah Padang Pariaman, selepas Bandara menyusuri tepi-tepi Samudra Hindia. Pantai yang sunyi dengan pemandangan pohon, pasir dan laut yang aduhai. Tak lama berselang aku sudah berada di Kompleks Makam Syekh Burhanuddin, yang termasuk penyebar Islam awal di Padang. Di bagian muka makam terdapat sepuluh lokan besar 20 x 30 m tersusun di sebelah kiri kanan jalan yang menghubungkan makam dengan bangunan 100 x 80 cm. Lokan-lokan ini dianggap para pengikutnya mempunyai berkah yang dapat menyembuhan berbagai penyakit. Sayang aku tak sempat mendapatkan informasi memadai mengenai Masjid Syekh Burhanuddin yang letaknya sekitar 4-5km dari makam ini.


Seolah tak bosan dengan Batang Arau, aku kembali ke Kota Lama Padang, demi Masjid Kampung Keling: Muhammadan. Mesjid Muhammadan dibangun sekira 200 tahun lalu oleh para saudagar dari India yang berdagang ke Padang melalui Muaro Padang. Pada bagian depan terdapat dua tower mesjid, yang menjadi gaya arsitektur dari Nagor, India bagian Selatan. Setelah menikmati Lontong Sayur Padang di tepi Samudra Hindia, akupun kemudian mencari bonus dengan jalan menikmati pantai ke arah pelabuhan Teluk Bayur, hari minggu banyak orang pacaran ditepi pantai. Kemudian akupun menggeber motor matik pinjaman ke Pantai Air Manis, menengok Arca bikinan Orde Baru: Malin Kundang. Minggu malam kemudian ditutup dengan makan bersama dengan Chinesse Food di Apollo Seafod Jalan Sungai Bong. Kombinasi Jalan-jalan dan Kuliner akan selalu membuat berat badanku stabil namun dinamis :p


Senin adalah jadwalku kembali ke Jawadwipa, dengan jadwal Juli akan kembali ke Padang. Dharmasraya pasti akan menghantuiku karena tak sempat aku kunjungi, termasuk di bulan Juli, semoga suatu saat ada orang khilaf yang mau mentraktir aku buat jalan-jalan menyusuri Candi-Candi di Sumatra dan Kalimantan. Di Bandara Batavia, aku menyempatkan diri untuk berfoto bersama bintang pilem yang sudah kondang misuwur: Landung Simatupang … beliau ternyata Merah juga !


Jadi begitulah … sampai ketemu di perjalanan berikutnya. Doakan ada “perjalanan” ke tempat lain di Padang pada akhir Juli nanti.

oleh Cuk Riomandha pada 30 Juni 2011


Sabtu, 25 Juni 2011

Sekonyong-konyong ke Sate Winong


"nyong mau gawekne 3 piring lha kok duwite ming loro?" 
"yo kosik, rika ojo nesu disit, tak itung disit iki piringe"

Dialog tersebut sering muncul dari sekitar 5-10 Penjual Sate yang mangkal di ujung Winong. Namun prinsipnya, mereka akan membagi rata secara gantian rejeki yang datang dari pengunjung dan pembeli Sate Winong ini. Para penjual sate ini berbaris di Warung Makmur, yang menyediakan Nasi Putih, Minuman, Krupuk dan menu lainnya. Anda langsung bayar ke sang penjual Sate untuk pesanan Sate Kambing dan Gule Kambing. Sementara untuk Nasi Putih, Minuman, Krupuk dan menu lainnya silahkan bayar secara terpisah ke Warung Makmur. Sate Winong konon terasa nikmat karena mereka memilih Kambing yang belum tua sebagai bahan utamanya.


Warung Sate keroyokan ini berada di ujung Winong, dekat dengan Masjid dan Makam Tuanku Guru Loning, jika anda dari arah Magelang menuju Purworejo, sebelum masuk kota, ambil jalan alternatif ke arah Barat, ikuti saja jalan tersebut sampai ke Winong. Dari Winong anda bisa melanjutkan ke arah Wirun-Kutoarjo atau Wirun-Kemiri dan Pituruh. Jika anda sudah berada di Purworejo, silahkan mencari jalan ke arah utara menuju Winong, bisa dari perempatan patung Ahmad Yani Purworejo ke Utara, atau dari Kutoarjo ke arah Utara melewati Makam Gunung Tugel-Wirun lalu ke Winong.


Saya sendiri terakhir makan Sate Winong adalah sekitar 2 tahun lalu, harganya masih 14 ribu untuk Satu Porsi Sate Kambing (10 Tusuk), Gule Kambing satu porsinya juga dihargai sama. Tak ada menu Tongseng di warung ini. Sejak Kambing menjadi salah satu jenis makanan yang harus saya hindari maka sejak itu pula, saya jadi jarang kesini. Kalaupun kesini bersama keluarga maka saya hanya menonton mereka menikmati Sate-Gule Kambing Winong sementara saya hanya memakan menu yang disediakan oleh Warung Makmur.

Jika anda kebetulan lewat, janganlah dihindari untuk menikmati Sate Winong yang kondang itu.


Jumat, 24 Juni 2011

Macaroni Panggang di Kota Hujan


Macaroni Panggang (MP) adalah salah satu jujugan kuliner di Kota Bogor, tak pernah sepi dan selalu ramai pengunjung, apalagi di akhir pekan atau musim liburan. Letaknya berada di Jalan Salak 24, dekat Hotel Pangrango 2 Bogor, sekitar 200 meter dari Jalan Pajajaran. Bangunan yang digunakan adalah bangunan kolonial berlantai 2, dengan konsep resto taman yang lumayan menarik.


Makanan model Pasta ini memang bukan khas Bogor seperti Talas atau Asinan, namun Kuliner ini berkembang dan populer dari Kota Hujan, menjadi salah satu ikon kuliner, selain Roti Unyil. Seperti namanya, macaroni disajikan setelah terlebih dahulu di panggang. Macaroni yang dicampur dengan keju dipanggang lalu disajikan dalam alumunium foil. Mereka yang menyukainya tentu akan selalu berusaha kembali kesini, atau membawanya pulang sebagai oleh-oleh.


Di sebelah lokasi ini juga terdapat masakan model Pasta lainnya yaitu Lasagna, dengan model digulung, sayang ketika saya datang sudah terlalu malam. Macaroni Panggang yang saya dapatkan pun hanyalah ukuran Medium. Macaroni Panggang yang paling diminati terbagi atas 2 jenis, yaitu macaroni panggang biasa dan macaroni special. Untuk macaroni spesial, macaroni diisi dengan jamur hioko dan smoked beef. Tersedia pula 3 pilihan ukuran yang bisa kita pilih, mulai dari small, medium dan large. Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 14.000,- sampai Rp 155.000,-. Di sini juga tersedia minuman Teh aneka rasa yang unik, serta Es Goyobod, alias Es Campur tradisional khas tanah Pasundan.

Tak ada salahnya untuk mencoba kuliner ini, setelah hujan-hujanan di kota Hujan. Awas jangan sampe telat, nanti kehabisan !

Arak-arakan Khataman Qur'an di Bulan Maulid, Negeri Bagelen

Penganten Khatam Qur'an
Di Negeri Bagelen, tepatnya di Kecamatan Butuh dan Pituruh Purworejo, setiap menyambut Maulud nabi, selalu dilakukan acara perayaan, yaitu arak-arakan bagi anak-anak yang telah khatam AL QUR'AN. Anak-anak ini di dandani seperti ketika 17an atau Kartinian. Anak-anak yang sudah khatam tersebut di arak dengan duduk menunggang Kuda. Pada sekitar bulan Maret 2009 lalu, saya kebetulan menyaksiakan arak-arakan ini di Klepu-Pepe dan Tanjung. Arak-arakan dilakukan dari Masjid di Tanjung menuju ke Masjid di Klepu.

Yihaaaa
Arak-arakan ini di meriahkan dengan tetabuhan rebana, bedug serta bunga kertas warna-warni yang diujungnya diletakkan snack atau uang seribu rupiah ...

Selama perjalanan banyak yang meminta atau berebut bunga-bungaan tersebut. Adegan yang ditunggu adalah ketika pawang kuda-nya menampilkan atraksi untuk meng-he-he-hi-heh-kan kudanya hingga berdiri ... cukup unik, karena meski anak-anak perempuan itu tidak berlatih terlebih dahulu untuk berkuda, namun tak ada satupun yang jatuh dari kuda atau terinjak kaki kuda. Yang ada hanya senyuman ceria mereka yang khatam dan tempik sorak para pengunjung. 



Saya memperhatikan, kok tidak ada anak laki-laki yang khatam Al Qur'an ya? ... he ... he ... Sangat berbeda dengan arak-arakan yang juga dilakukan di pusat keramaian Kutoarjo, masih banyak terlihat anak laki-lakinya. Arak-arakan di Kutoarjo juga menyediakan becak hias, selain kuda. Ritual menjelang Maulud seperti ini, telah menjadi event budaya yang rutin di hampir semua penjuru Kutoarjo. Seperti ketika malam takbiran dimana banyak anak-anak melakukan pawai memukul bedug dan menyalakan oncor ...

Adakah kegiatan serupa hadir di tempat tinggal anda semua?

Museum Anak Kolong Tangga

"Traditional games have scientific and educational values, and moral messages which to this day have been recognized by European people. But how sad that in the past 10 years one plaything has been lost every year."
Rudi Corens: Putting the traditional back in games, The Jakarta Post, 04-08-2008
 

Jogjakarta memang adalah salah satu kota ternyaman di dunia, dan sebagai "Kota Pendidikan" Jogja juga memiliki beragam museum. Salah satu yang baru adalah Museum Anak Kolong Tangga. Museum ini memiliki berbagai macam koleksi mainan anak-anak dalam berbagai bentuk dan dari berbagai negara. Koleksi mainan jaman Majapahit pun ada ! Pada hari-hari tertentu, atau jika ada permintaan, museum ini juga memiliki program "bermain dan belajar" untuk anak-anak seperti membuat layang-layang, bermain dakon dan sebagainya. Termasuk juga program "The Museum Comes Visit You", dengan mendatangi anak-anak yang sedang berada di rumah sakit atau panti asuhan.


Museum ini digagas oleh Rudi Corens, artis kebangsaan Belgia yang telah menetap di Jogja sejak 1991. Ia  menyumbangkan seluruh koleksi pribadinya yang berjumlah lebih dari 900 item. Dengan bantuan sepenuhnya dari ibu Dyan Anggraini, kepala Taman Budaya Yogyakarta, maka Museum Kolong Tangga ini resmi dibuka pada 2 Februari 2008. Museum ini pun hadir sebagai alternatif pilihan ditengah popularitas permainan elektronik yang ada.


Pada 5 Januari 2009, kami berkunjung sekeluarga ke tempat ini secara tak sengaja selepas menemani Alin dan Zora di Taman Pintar. Betul, museum ini letaknya dekat sekali dengan Taman Pintar, sebelah utaranya, tepat dibawah kolong tangga antara lantai 1 dan lantai 2 Taman Budaya Yogyakarta. Museum ini buka setiap hari kecuali Senin (Selasa-Jumat 09.00 - 13.00 WIB, Sabtu-Minggu 09.00-16.00 WIB), harga tiketnya Rp. 2.500,- dan gratis untuk anak 15 tahun ke bawah. Tentu saja kami sekeluarga merasa senang dan takjub dengan koleksi Museum ini ...

Jadi kapan anda sekeluarga berkunjung kesini ??

Sekejap Malam di Singkawang

Lampion Gerbang Tri Dharma Bumi Raya

Singkawang, Kota Seribu Kuil ini hanya sempat kunikmati di malam hari dan beberapa jam saja. Hanya untuk makan malam dan membeli oleh-oleh ala kadarnya. Aku bahkan tak sempat mampir ke "Wisata Malam" di remang-remang kursi plastik di sepanjang ruko-ruko. Kota ini kudatangi pada 14 Desember 2008 lalu, ketika aku mendapat tugas untuk kerja di Galing, Sambas, Kalimantan Barat.

"Jangan Berbuat Kejahatan, Lakukan Kebajikan.
Sucikan hati dan Pikiran, Inilah Inti Ajaran Budha"
(courtesy of Bekti Sunaryo)
Mengutip dari wikipedia, "Awalnya Singkawang merupakan sebuah desa bagian dari wilayah Kesultanan Sambas, Desa Singkawang sebagai tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari Monterado. Para penambang dan pedagang yang kebanyakan berasal dari negeri China, sebelum mereka menuju Monterado terlebih dahulu beristirahat di Singkawang, sedangkan para penambang emas di Monterado yang sudah lama sering beristirahat di Singkawang untuk melepas kepenatannya dan Singkawang juga sebagai tempat transit pengangkutan hasil tambang emas (serbuk emas). Waktu itu, mereka (orang Tionghoa) menyebut Singkawang dengan kata San Keuw Jong (Bahasa Hakka), mereka berasumsi dari sisi geografis bahwa Singkawang yang berbatasan langsung dengan laut Natuna serta terdapat pengunungan dan sungai, dimana airnya mengalir dari pegunungan melalui sungai sampai ke muara laut. Melihat perkembangan Singkawang yang dinilai oleh mereka yang cukup menjanjikan, sehingga antara penambang tersebut beralih profesi ada yang menjadi petani dan pedagang di Singkawang yang pada akhirnya para penambang tersebut tinggal dan menetap di Singkawang

Vihara Toa Pekong (courtesy of Bekti Sunaryo)

Vihara Tri Dharma Bumi Raya adalah Vihara tertua yang letaknya berada di jantung kota Singkawang. Penduduk Singkawang, menyebutnya dengan Tai Pak Kung (Toa Pekong). Vihara ini diperkirakan berumur sekitar 200 tahun lebih. Setiap tangal 6 bulan 6 tiap tahunnya, di Vihara ini selalu dilakukan upacara peringatan "ulang tahun" vihara. Vihara ini diyakini sebagai tempat bersemayamnya Dewi Bumi Raya

Patung Pek Kong (courtesy wisatamelayu.com)
Saya sendiri datang di Vihara ini sekitar pukul 9 malam, sudah tak bisa masuk menikmati keindahan Vihara tertua tersebut. Selepas makan malam, kami kemudian menuju ke Palapa Beach Hotel yang terletak di Pantai Pasir Panjang. Hujan yang selalu hadir membuat kami tak bisa leluasa berjalan menyusuri pantai.

Palapa Beach Hotel Singkawang
Pagi hari, waktu yang kami punya sedikit, jadwal pesawat Pontianak - Jogjakarta sudah menanti. Sekali lagi, hujan yang terus menerus mengguyur membuat kami hanya bisa menikmati Pantai Pasir Panjang bersama Nasi Goreng Ceplok di sudut ruang makan hotel. Kami bahkan menikmati banjir dan macet di Sui Raya dalam perjalanan menuju Pontianak. Selepas mencari oleh-oleh di Jalan Gadjah Mada, kami segera meluncur ke Bandara Supadio ... menuju Jawa !


Semoga suatu saat bisa kembali lagi ke Singkawang, dan menikmatinya secara lebih leluasa.
Sampai ketemu di perjalanan berikutnya

Safari Ramadhan BOL BRUTU: Pitulasan di Gedongsongo

BOL BRUTU di GEDONG V (courtesy of Nismara)
Perjalanan BOL BRUTU kali ini agak overload karena ternyata Rafael mengajak istrinya, jadi agak sedikit berdesakan dengan formasi penyerangan 2-4-3. Striker: Erson dan Danang Sutawijaya, Gelandang: Nismara, Raf Selomerto, Kris Budiman dan Janda Mao AYK. Back: Yustony, Bambang Suseno dan aku. Dari Sangkring, rombongan menjemput aku, kris dan pak bambang di Turi, lalu menjemput Rafael sarimbit di New Armada. Kamipun kemudian meluncur ke Gedongsongo !

Pitulasan ! (Courtesy of Selomerto)
Selasa 17 Agustus, tentu saja kami pitulasan di Gedongsongo. Perjalanan Jogja-Magelang sempat berhenti beberapa kali. Di Jambu Ambarawa, semua menjadi syaiton untuk mempertebal iman pak Bambang. Krupuk Samiler kenangan menjadi kedapan dalam perjalanan menuju Gedongsongo. Kita sempat berhenti lagi di Pom Bensin Bandungan, untuk setor cairan di Toilet. Perutku agak bermasalah memang, selepas sahur sampai jam 6 pagi aku sudah mencret pedes-panas-perih sampai 3 kali, jadi jam 7 aku sudah minum Diapet. Karena sudah pakulinan tentu saja "mencret" bukan hal yang mengganggu perjalanan, hanya memang "sayangnya" aku jadi ndak puasa hari ini. Pada perjalanan ini aku menyerahkan kembali tugas sebagai bendahara BOL BRUTU Trip ke Rafael.

Syech Putu di Gedong II
Dalam perjalanan ketika melewati Bedono, sepertinya Syech Puji begitu terpatri di sanubari Danang Sutawijaya, sehingga perjalanan yang memang fun ini, menjadi semangkin cihuy melihat Syech Putu sangat usil selama di Gedongsongo. Mulai foto bersama ABG, memaksa ABG berpose tempel pipi, sampai mengintervensi ABG pacaran di dalam tenda biru ... tak lupa juga menggusah pasangan yang sedang berasyik-masyuk di lereng bukit dasamuka ... hi hi hi ... bukan apa-apa sih, cuma memang beliau usil untuk menjaga perasaan Erson sahaja ... mestinya memang bawa papan: "DILARANG PACARAN DI DEPAN ERSON !"

Jazz Blero on Gedong III
Di Gedongsongo yang hanya ada Lima Kompleks Candi (GEDONG I, II, III, IV dan V) itu, Erson memang membawa trumpet, lumayan kok ... meski Blero dan seperti menyanyikan Sample Song (30 detik mandeg) karena mengkis-mengkis. Ia berhasil mengusik perhatian orang sekitarnya, mulai nenek-nenek sampai anak-anak ... meski cuma berbisik dan terlihat sedikit mencibir. Tapi bolehlah masuk indikator keberhasilan awal, "shocking and terror" melalui bunyi trumpet. Setelah pak Putu membawa kertas lukis di candi sukuh, kini Erson membawa trumpet ... cukup menginspirasi dan menghiburku yang gagal membawa martabak, tahu bunder dan pastel yang tertinggal di pagar rumah dalam tas kresek hitam. Hiks, sungguh sebuah Tragedi!

Ritual di Gedong V
Di Gedongsongo, kami sangat menikmati waktu dan suasana ... sekitar jam 4 sore kami masih ada di GEDONG V, setelah melihat dari kejauhan sekelompok manusia melakukan ritual di GEDONG III. Sembari menghabiskan crackersnya pak Bambang, kami menunggu rombongan tersebut hingga tiba di GEDONG V. Hujan mulai turun ketika mereka mulai ritual, mungkin suara trumpet Erson membuat awan menjadi pekat. Dalam hujan kita kemudian menuruni Gedongsongo menuju Ambarawa, rencana ke Vihara Bukit Kalong ditunda lain waktu. Sekitar 5 menit sebelum adzan magrhib kami tiba di Banaran Cafe untuk berbuka puasa. Cobaan buat pak Bambang belum berakhir, setelah melihat orang merokok, makan, minum sepanjang perjalanan ... crackresnya dihabiskan dan tidak diganti, eh ketika berbuka ia mendapat giliran terakhir untuk menyantap Nasi Gorengnya. Puasa pak Bambang semoga sempurna mempertebal iman, dan kami juga (semoga) mendapat pahala membuat pak Bambang bertambah imannya. Hikmah dari orang yang berpuasa adalah, sepanjang perjalanan Pak Bambang adalah yang paling fokus dan cepat untuk mengamati yang bening-bening dibanding yang lain!

Putu Sutawijaya & Pande Ketut Taman: Duet maut ... omahe jembar2 he he he
Setelah rafael turun di alun-alun magelang, malam kami nikmati dengan singgah ke rumah kawan pak putu di Muntilan. Dalam keadaan gelap saja sudah terasa lebar dan luasnya rumah seniman ini, apalagi kalau dikunjungi pas siang hari. Aku hutang album-album LEO KRISTI dalam bentuk digital pada beliau, mohon diingatkan! Tungkak mulai terasa sakit, setelah mulai terpincang-pincang sejak di parkiran Gedongsongo ketika mau pulang.

Tepat pukul 21.15 menit kami tiba di Turi. Aku, KB dan pak Bambang turun di nDalem pa-CUK-an, dan kemudian mereka pulang ke haribaan masing-masing. Lhadalah sekitar jam 01.00 ternyata kok ya pada masih buka fesbuk lho he he he ... akhirnya ngedemke tungkak sebelum sahur ...

Sampai ketemu di perjalanan berikutnya ... NYANDI ITU NYANDU !

oleh Cuk Riomandha pada 18 Agustus 2010


Safari Ramadhan: Ziarah Visual di antara Pakem dan Windusari

Alin dan Zora memandang makam, membelakangi Yoni
"Pada hari minggu kuturut ayah ke Makam !" ... mungkin itu yang dinyanyikan Alin dan Zora ketika Ahad Pagi 15 Agustus 2010, kuajak jalan-jalan ke makam Dusun Cepet Purwobinangun Pakem. Setelah melihat foto yang diperoleh Niko dari BP3, mengenai Situs Cepet, maka aku bisa memastikan bahwa lokasi dari Yoni dengan Cerat-Jengger yang unik tersebut ada di Makam. Teronggok di pojok bangunan di dalam makam, diatasnya bertumpuk batu-batu candi. Batu candi lainnya dapat dengan mudah ditemukan di area makam: tersebar di area, ataupun yang menjadi pagar. Ada yang unik lainnya, yaitu bangunan hampir ambruk di dekat pintu makam, masih terlihat papan dengan ejaan lama: "Pasarejan Dalem Kihageng, Surjomentaram Ngajogjokarto Hadiningrat, Dusun Tjepet Kapanewon Pakem, Kabopaten Sleman". Selepas dari Cepet, aku ajak alin dan zora ke agrowisata salak pondoh, sayang baik lokasi wisata agro-nya maupun Penampungan BCB Turi tergembok, udara pagi yang semilir membuat anak-anak cepat ngantuk ... dan mereka pun minta pulang.

Selagriya (courtesy of Rafael)
Selepas pagi, mak bedunduk sekitar jam 11an ... aku udah ada di pertigaan kalibening payaman magelang, menunggu Rafael dan Istri. Setelah mereka selesai ke-ban-an dan kami bertemu, maka kami langsung menuju ke Windusari dengan tujuan: SELAGRIYA. Terletak di dusun Campurejo, Kel Kembangkuning, Kec Windusari. Jika anda membawa mobil maka harus diparkir di dusun terakhir ini. Selepas dusun hanya ada jalan selebar 1 meter, dengan paving blok sampai bukit pertama. 2 bukit lainnya sudah jalan tanah. Sesungguhnya jalannya tak begitu menanjak, kita hanya melewati sisi-sisi bukit dengan pemandangan yang luar biasa ... karpet hijau dan terasiring persawahan, serta bukit-bukit hijau ada di sisi kita. Di ujung jalan yang bisa dilewati motor itu, kita akan sampai di sebuah gerbang. Anak tangga menanjak sejauh sekitar 150 meter membawa kita ke Candi Selagriya, candi yang background-nya bener2 CAKEB (pake B saking mantepnya). Candi ini sudah (di)mundur(kan) sejauh sekitar 3-5 meter agar tidak longsor. Di beberapa tempat terlihat sekumpulan batu-batu umpak dengan aneka bentuk. 

Petilasan Prasasti Mantyasih
Selepas Selagriya, kami kemudian menuju ke Kampung Meteseh, kampung ini pernah ditemukan prasasti Mantyasih yang terbuat dari logam. Prasasti (katanya) telah disimpan di sebuah Museum yang terletak di Solo. Untuk menandainya maka, di kampung Mantiasih yang kemudian jadi Meteseh itu (hiks ... malah jadi gak gaul deh namanya he he he) diletakkan batu lumpang dengan sebuah prasasti modern dari pemerintahan modern (tentu saja). Di dekat situ ada sebuah masjid kecil yang dinamai LANGGAR AGUNG MANTIASIH. Di belakang masjid itu terdapat sebuah makam yang dinisannya tertulis: Nyai Roro Ayu Utari. Konon makam ini dulunya berada di lokasi yang kini sudah menjadi jembatan. Di area sekitar petilasan dan masjid cukup lapang, pada saat ulang taun kota magelang, biasanya ada pentas wayang kulit disini dengan Babad Magelang.

Kursi Dasamuka di Makam Nambangan
Dari Meteseh kami kemudian menuju ke Nambangan. Sempat kulirik sebuah makam Kyai Sepanjang di pojok jalan menjelang pertigaan Nambangan. Namun, dengan asumsi tak menarik dan bayangan keramik jambon ada dikepala maka aku melewatkan saja lokasi itu untuk menuju sebuah makam di Nambangan. Di makam ini terdapat sebuah Yoni yang terbelah dan terlihat seperti sebuah kursi, inilah yang menyebabkan penduduk setempat menamakannya sebagai KURSI DASAMUKA. Di dekatnya nampak makam "Prasojo" (bukan Tjahjono) yang menggunakan batu candi sebagai nisannya.

"Batu Sembrani" Poh Pitu, Dumpoh
Setelah Nambangan, kami kembali lagi ke kampung DUMPOH, yang oleh penduduk magelang diyakini sebagai lokasi "bermukim"-nya Prasasti Poh Pitu, Mas Tjah telah mengkonfirmasi kalau prasasti Poh Pitu ditemukan di Klaten. Sebetulnya ketika kami bertemu orang pertama yang kami tanya, dan ternyata adalah juru kunci kami sudah curiga. Beliau mengatakan bahwa Batu yang ada di puncak Makam Gunung Tengis itu adalah "Batu Sembrani" yang sudah ditanam kembali sebagai artefak dari ritual "peletakan batu pertama" pembangunan Universitas Tidar. Uniknya memang sebuah batu dengan huruf romawi dengan gradasi cat hitam-putih tipis tertulis Prasasti Poh Pitu dari Dyah Balitung, bukti bahwa Kerajaan Medang pernah menjalin hubungan dengan Julius Caesar he he he jadi ingat yang meyakini bahwa pusat kerajaan medang ada di medari, dan dusun Kepitu Trimulyo Sleman yang aku lewati tiap hari itu sebagai Poh Pitu-nya. Kebenaran memang ruangnya adalah dalam Perdebatan, yang paling penting adalah soal Keyakinan, dan bagaimana kita menghormatinya. 

Eks Gerbang Kerkhof Magelang
Selepas Dumpoh, kamipun kemudian berpisah. Rafael dan istri kemudian entah kemana, dan aku menuju jogja. Masih sempat ku berhenti sejenak untuk memotrek bekas Gerbang Kerkhoff (makam belanda) yang ada di depan ruko-ruko di tepi bukit tidar. Sayang Kerkhoff itu sudah musnah sejak 80an awal. Baru nyadar akhirnya kalau seharian bertemu makam di semua situs yang aku kunjungi (termasuk Selagriya, Candi juga menjadi makam dengan peripih-peripih yang tertanam di sumuran candi).

Sejenak kemudian Safari Ramadhan kuakhiri ketika aku bertugas menjemput Alin dari Masjid di dekat rumah ... sesaat setelah adzan maghrib. 

Selamat berpuasa, hormatilah yang tidak berpuasa ...
Sampai Ketemu di perjalanan berikutnya. NYANDI ITU NYANDU ...

oleh Cuk Riomandha pada 18 Agustus 2010

Safari Ramadhan: Gunungkidul Duksinarga

reruntuhan Candi Plembutan
Kegagalan ke BLITAR karena ABAKAKURA (Akeh Bakat dan Karep tapi Kurang Ragat), membuat aku harus mengalihkan lokasi perjalanan, dan rasa rindu akan Gunungkidul, membawaku kembali kesana di Hari Pramuka 2010. Awalnya aku merencanakan perjalanan ini bersama Kie Selomerto, tapi sayang ia tak jadi ikut. Ketika aku masih berada di ringroad monjali, ndilalah "Niko Nyariwatu" sudah di patuk, ya sudahlah ... aku tancap motor menuju Candi Plembutan di dusun papringan, plembutan, playen sebagai lokasi blusukan pertama kami. Candi ini hanyalah batu yang bergerombol di sudut-sudut area, dan tersebar di dekat gundukan yang kuduga sebagai "Sumuran Candi" he he he lebay deh. Batu Putih yang mudah hancur mungkin yang membuat candi di Gunungkidul banyak yang tinggal reruntuhan atau bahkan musnah. Oh ya, candi ini terletak di dekat makam dusun, salah satu lokasi biasa di temui candi. Jadi jika rumah anda berada di deket makam, mata air/sungai, puncak bukit ... siapa tahu di bawah rumah anda ada candi ...

Menhir Menhir yang berbaring di Bleberan
Lokasi tujuan berikutnya adalah Situs "baru", yang baru di-"resmi"-kan: Situs Bleberan, yang menjadi tempat bermuktamar para menhir dan sarkofagus (?). Lokasinya masih berada di satu kecamatan Playen, tapi ia terletak di dusun Tanjung, Bleberan. Kami sempat bertanya sekitar 11 kali untuk menemukan lokasinya. Ia berada di luar kampung, melewati jalan setapak dan ladang-ladang ketela. Menhir-menhir yang berbaring disini cukup cantik, karena beberapa terlihat jemari lentiknya. Puas di lokasi ini, kami segera menuju Situs Kyai Jonge di Pacarejo Semanu untuk bertemu "Hery Fosil" peserta berikutnya. Aku gak apal jalan menuju Candi Dengok Semanu, maka kehadiran Fosil menjadi penting.

Jatiayu (Courtesy of Niko Nyariwatu)
Dari Dengok kami sempat mampir ke PKBM Ngudi Kapinteran Semanu, senang sekali rasanya bertemu kawan-kawan lama. Mbak Rustiana Dadapayu yang bercerita bahwa KPMD Dadapayu sudah membantu desanya menjadi embrio Desa Siaga, serta juga mas Tugino yang selalu antusias dengan PKBM, sayang mbak Ranti sedang sibuk rapat dengan tim PAUD-nya. Perjalanan tiga serangkai dimulai kemudian untuk mencari Situs Jatiayu, situs ini berada di dusun Candi, desa Jatiayu, kecamatan Karangmojo. Situs itu kini berupa Pemandian umum dengan pohon tua dan ranting tak seberapa kering. Sekitar 10 meter dari lokasi, ada sebuah tempat dikapling tembok bata dan ditengahnya terdapat pohon jambu yang rindang. Di bawah pohon tampak beberapa batu dan bekas dupa, konon disini dulu tempat bersemedi (petilasan) Sultan (entah sultan yang mana). Di sini kami juga sempat blusukan ke makam di atas sendang. Kami tak melihat bekas candi disana, hanya nisan-nisan. Candi sudah menjadi bahan jalan kampung, kata penduduk sekitar. Menurut Danu, kawan sepertengikan, sebetulnya ada beberapa batu candi atau yoni di lereng2 makam itu. Ya disekitar makam inilah Candi Nglemuru tersebut berada, hiks ... infone telat !

Sumur Gedhe Sukoliman
Selepas Jatiayu kami beringsut menuju arah Bejiharjo, Situs Sumur Gedhe menjadi tujuan kami. Terimakasih kepada mas Alias yang telah mengantar kami ke aspal terakhir dan menunjukkan jalan setapak sekitar 50 meter menuju situs ini. Sumur ini diyakini telah ada sejak ribuan tahun lalu: Sumur Purba! sekitar 5 meter di dekatnya, tampak setumpuk artefak masa klasik di bawah pohon yang sudah ter-registrasi oleh BP3. Tempatnya singup, syukurlah artefak itu kemudian menjadi cukup aman. Dari situs ini kami kemudian menuju alas kesambi untuk mencari reruntuhan candi yang katanya ada disana.

Watu Kesambi Nglipar (courtesy of Hery Fosil)
Kami sempat istirahat di Sungai Purba yang menjadi perlintasan di jalan tembus Karangmojo-Nglipar. Alas yang dulunya gung lewang-lewung dan hanya berisi hewan buas dan makhluk halus itu, kini tinggal menjadi ladang ketela-petatas. Di puncak bukit alas kesambi katanya ada Kijing Buda (kubur batu megalitik), tapi kami tak berhasil menemukannya, karena batunya buanyak sekali dan buat kami semuanya terlihat sama saja ... dasar-e bukan arkeolog. Uniknya memang hutan ini adalah hutan batu, rasanya semua pohon itu tumbuh diatas batu. Gunungkidul diyakini juga sebagai Dhaksinarga (Gunungkidul) yang merupakan sebutan lain dari Duksinarga (Gunung Purba), ada yang meyakini "keseluruhan dari Gunungkidul" merupakan Candi "alami", yang digunakan sebagai lokasi air suci untuk ritual-ritual yang dilakukan di Candi Ijo, Ratu Boko dan sekitarnya. (baca juga blog ini: http://badailautselatan.multiply.com/). Ada batu yang seperti rumah di dekat kampung Kesambi, kami singgah sebentar disana untuk narsis-narsisan.

Watu Lumbung Sukoliman (Courtesy of Niko Nyariwatu)
Setelah mengkis-mengkis di bulan puasa gak nemu kijing buda di Kesambi, kami kembali ke jalan menuju Sukoliman, kami menyempatkan diri singgah di sekitar 3 buah batu yang tingginya hampir 3 meteran. Penduduk setempat menyebut lokasi tersebut sebagai (situs) Watu Lumbung. Waktu menunjukkan pukul 2 siang, kami melewatkan (lagi) Situs Sukoliman, menuju arah Wiladeg. Aku dan Hery kemudian menunggu Niko (yang sedang mendokumentasikan Situs Gunungbang) di Sungai Purba, sayang aku ndak bawa salin ... padahal sudah kebelet nyemplung buat kungkum dan bengis ! Kami berhenti lagi di Gelaran, lalu bagi tugas Niko motrek Monumen Sudirman di Puncak bukit, aku dan hery leyeh-leyeh di "Banyumoto". Di Situs Wiladeg kemudian, yang masih Nandi kesepian itu, kami kemudian berpisah mengakhiri perjalanan di Gunungkidul kali ini.

Selamat Buat Adin dan Ateng ... dan semoga yang duduk di belakangnya segera menyusul !
Sekitar sebelum maghrib aku tiba di Jogja Utara, dan perjalanan belumlah berakhir. Setelah istirahat sebentar, sekitar jam 7 malam aku kemudian memacu motor menuju ke Jogja Selatan: Situs Sangkring ! Untuk menghadiri acara pak putu "Kepayon Manten" he he he ... Selamat Buat Ateng dan Adin ... semoga bahagia dan rukun selamanya ya ! Dan akhirnya sekitar pukul 22.45 aku kembali di Jogja Utara ... Sahur kupercepat agar bisa tidur lebih lama he he he boyoke kemeng rek ...

dan ... Sampai Ketemu di perjalanan berikutnya !

oleh Cuk Riomandha pada 17 Agustus 2010