Jumat, 24 Juni 2011

Safari Syawalan: Menjemput Alin di Negeri Bagelen

Setelah tak ada Volunteer yang menyertai, maka aku melakukan perjalanan sendiri untuk menjemput Alin di Negeri Bagelen. Perjalanan ini pula aku membawa seluruh Mata Kameraku (IXUS, EOS dan BRICA), IXUS baru malamnya terbeli setelah berhasil menjual Lensa EFS 55-250mm. Dan IXUS memang powerfull untuk perjalanan kali ini, kamera yang lain tak pernah keluar. Dengan Pocket maka aku masih bisa memotrek bagian dalam Masjid Tiban maupun Masjid Santren meski dalam keadaan terkunci, dengan EOS pastinya kamera tak akan bisa masuk melalui sela-sela jendela. Thanks buat mas Tampah atas petunjuknya menuju Jenar.

Pagi yang cihuy !
Pagi kumulai perjalanan sengaja melupakan jalur Muntilan-Salaman-Loano dan melalui jalur Turi-Tempel-Nanggulan-Bagelen demi untuk mampir ke beberapa situs di Bagelen, dan di Seyegan aku mampir menikmati Air Selokan Mataram yang melalui jembatan diatas tanah, lorong-lorongnya terlihat cantik. Ampiran setelah itu adalah GKJ Nanggulan karena terlihat eksotik dengan pohon tua di makam sebelah. Setelah itu awalnya mau ke Candi Sambiroto di desa Banyuroto, namun mengingat ada beberapa titik yang mesti kudatangi, maka situs yang "belum pasti" itu aku tinggalkan.

Masjid Tiban Jenar
Melewati lagi Taman Batu Sentolo tanpa berhenti kemudian Wates, tak lama kemudian aku sudah tiba di Pasar Krendetan Bagelen, akupun kemudian berbelok ke kiri sampai kemudian ketemu perempatan besar (kota kecamatan purwodadi), kemudian aku belok ke kanan hingga menjelang pasar jenar wetan. Sebelum pasar, aku melewati Gereja dengan bangunan kolonial yang cukup menarik: GKJ Jenar Geparang Anno 1933. Nah di seberang Pasar itu terdapat petunjuk menuju Masjid Tiban Jenar. Masjid ini cukup unik, karena menggunakan Yoni sebagai Umpak pada 4 soko-nya. Kemudian juga terdapat jambangan tanah di bagian Tempat Wudhu wanita, yang diyakini airnya bisa menyembuhkan. Di masjid ini pula sekitar 1980 ditemukan Prasasti Sipater yang digunakan sebagai ganjal antara tembok dan atap bagian selatan Masjid, prasasti ini kini sudah disimpan di Museum Tosan Aji Purworejo. Meski bagian dalam masjid sedang terkunci, dan aku tak sempat menemui pak Tarno juru kunci-nya, namun aku masih lumayan bisa memotrek dari balik pintu kaca.

Prasasti Masjid Santren
Selesai dengan Masjid Tiban dan GKJ Jenar aku kembali menuju arah Pasar Krendetan, namun sekitar 100 meter sebelum pasar aku belok ke kiri, dan sekitar 300meter dari jalan aku tiba di Masjid Sunan Geseng Kauman Bagelen. Sedang ada halah bihalal di masjid, akupun memotrek masjid dari luar sambil kemudian beringsut menuju makam di barat masjid. Cukup unik Kijing di kompleks ini, karena beberapa "tokoh" dengan gelar Raden Kijingnya cukup tinggi sekitar 50-70cm. Pada sebuah cungkup oranye aku melihat 5 makam yang terdiri dari R Nosuto, Kyai Bumi alias R Nilosrobo, Garwa Kyai Bumi dan Kedua Mertua Kyai Bumi. Kyai Bumi ini diyakini sebagai Joko Bedug yang dijadikan Sunan Kalijogo sebagai Adipati Bagelen yang kedua. Selepas menyebrang rel dan menuju jalan raya Jogja-Purworejo, aku kemudian sampai di seberang Puskesmas dekat Pesarean Nyai Bagelen, persis sebelum Jembatan kali Bogowonto. Aku belok ke kiri menuju Masjid Santren alias Masjid Kyai Baedlowi, sebuah Masjid yang dihadiahkan oleh Istri Sultan Agung kepada Kyai Baedlowi atas jasanya melawan Belanda. Sebuah Prasasti bertuliskan huruf arab menghiasi tiang rawa di dekat mimbar menceritakan mengenai pembangunan masjid ini. Di sekeliling masjid tampak beberapa makam tua. Papan BP3 dan Bak Sampah biru menjadi tanda bahwa masjid ini telah resmi dalam pengelolaan BP3 Jawa Tengah.

Stasiun Montelan
Perjalanan selepas bagelen adalah menuju Stasiun Montelan, sebuah stasiun kecil yang telah dibunuh sekitar 2007 lalu. Dalam perjalanan menuju lokasi yang terletak di Desa Kertosono Banyuurip Purworejo ini, aku menemui beberapa bonus. Selepas Bangjo Boro ke kiri kemudian Bangjo Banyuurip lanjut sekitar 500meter belok kiri lagi. Nah tepat sebelum masuk di desa Condongsari aku melihat papan nama: Makam Ki Demang Joyo Saputro, makam yang cukup singup di dekat menara pemancar. Setelah beberapa kali bertanya kemudian, akupun tiba di Stasiun Montelan. Pak Alias yang menjaga bangunan tersebut sangat bersahabat, beliau menunjukkan semua lekuk stasiun tersebut, sekaligus menunjukkan sebuah makam Keramat sekitar 100 meter dari Stasiun: Nyai Sekar Gadhung Mlathi. Makam ditepi sawah itu mirip juga dengan makam Ki Demang, agak singup dan eksotik.

Alin di Tugu Jalan Purworejo-Magelang
Setelah sempat mampir ke sebuah toko Mart untuk membeli minum dan CD Jazz Original obralan maka motor kupacu menuju Rumah Mertua di Klepu. Alin sedang main-main dan Zora masih tidur. Dan tak sampai 10 menit kemudian Alin sudah siap kuboncengkan menuju Jogja melalui pituruh! Setelah makan Bakso dulu di Kemiri, maka motor mulai melaju. Di Wirun hujan turun dengan deras, kamipun kemudian menggunakan jas hujan dan kembali melaju. Sampai di Tugu Jalan Bener, kami istirahat sejenak. Aku melepas jas hujan dan Alin kemudian duduk belakang kuikat dengan selendang ke tubuhku. Eh lhadalah sampai Borobudur hujan deras turun kembali, bahkan disertai angin. Beberapa daun dan batang kering banyak berserakan di jalan. Jas Hujan kupakai dan motor kemudian terus melaju dari mendut belok arah ngluwar kami kemudian tiba di Salam tanpa melalui muntilan. Sekitar jam 15.30 kami tiba di Turi. Selepas mandi, alin pun lahap dengan Nasi Ceplok bikinan ayah. Perjalanan kemudian berakhir hari itu dengan lelapnya alin, serta meriang dan batuk gurih menggebu yang kualami.

Semoga radang dan batuk gurih lekas pergi, karena Rabu aku harus menuju Batavia ...
Sampai ketemu di perjalanan berikutnya ...

oleh Cuk Riomandha pada 27 September 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar