Kamis, 17 November 2011

Alkisah Tentang 2 Tahun BOL BRUTU: "Ayahku bekerja sebagai BOL BRUTU"


PROLOG
Pada suatu pagi, pada sebuah buku pelajaran, Alin mengisi “Kegiatan Keluargaku”: Ayahku bekerja sebagai BOL BRUTU ... Sebelum berangkat kerja, Ayahku menyiapkan kameranya. Tafsir Alin atas “kerja” ayahnya, sesungguhnya menunjukkan tentang kecanduanku atas blusukan, nyandi itu nyandu. Senyatanya BOL BRUTU-lah yang memang membuatku keranjingan untuk melakukan perjalanan, baik bersama para Brutus, bersama Alin dan Zora atau sendiri saja selama dua tahun terakhir. Setiap akan ada perjalanan (dinas), saya selalu menyempatkan untuk mencari informasi terlebih dahulu tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi dan didokumentasikan. Tapi BOL BRUTU itu apa sih?

Tentang GANA dan BOL BRUTU
Logo GANA hadir lebih dulu daripada nama “BOL BRUTU”, logo yang merupakan hasil pertapaan Kris Budiman di Candi Morangan selama beberapa abad. Ini kesaksiannya:

“kalo kita pake logo gana bisa seolah-olah lebih "filosofis", cuk... biar ketok serius. figur gana bisa kita reka-reka sebagai misi gerombolan yg seakan-akan mulia: menopang atau menyokong segala upaya yg berkaitan dgn preservasi atau whatever, entah candi atau bangunan2 dan segala macam peninggalan bersejarah yg lainnya. lagi pula, secara fisik si gana itu lutuna ruar binasa. dia gemuk-bujel, posenya jongkok seakan bengis, badannya kuntet mangkulangit... belum ada simbol lain yg lebih tepat untuk gerombolan kita, keknya, selain si dewa cebol ini.” 

Sementara melalui berbagai diskusi ceria yang melibatkan Rafael, Putu Sutawijaya, Davina Anggraini, Mas Ayu Kumala Yulia, Mahatmanto, Kris Budiman dan diriku, maka pada Maret 2010 terpilihlah "BOL BRUTU", kependekan dari geromBOLan pemBuRU baTU.

Mengingat makna sebenarnya dari BOL & BRUTU yang merujuk pada organ pembuangan, serta juga GANA yang kurang popular dibanding Arca Dewa-Dewi lainnya. Secara filosofis “othak-athik gathuk”, pilihan ini sedang berusaha memberi “nilai lebih” dari sesuatu yang selama ini dianggap tidak penting, (mungkin) tabu dan (tentu saja) marjinal.

Jadi kira-kira nama dan logo tersebut adalah dalam rangka kami melakukan aktivitas melihat dan memaknai kembali situs-situs marjinal yang selama ini terlupakan, sesuatu yang sebetulnya sudah lama dimulai oleh Risky, Pey, Agung Leak dan Jean Pascal Elbaz. Juga beberapa kelompok legendaris seperti pasukannya Landung Simatupang, Gati Andoko dan kawan-kawan yang melakukannya sejak Ringroad belum ada, atau rombongan para pertapa antro seperti Danu, Margono, Engel dan sejenisnya.


Tentang GEROMBOLAN
Gerombolan dipilih karena memang sejak awal kita suka bergerombol, ngruntel koyo mbako, untuk melakukan perjalanan bersama. Gerombolan dipilih karena BOL BRUTU bukan institusi resmi yang mempunyai visi dan misi tertentu, selain bahwa kita berbagi keceriaan, kebahagiaan, keindahan di Batu-batu yang kami datangi. Gerombolan ini sifatnya terbuka buat siapa saja, dari golongan apa saja … baik yang memiliki agama maupun yang baru memikirkan untuk akan beragama. Gerombolan ini memilih Media Visual, Teks dan Facebook sebagai alat pemersatu.

BOL BRUTU, semua yang terlibat didalamnya memiliki posisi yang (relatif) setara. Jadi meskipun Mahatmanto adalah seorang yang sangat menguasai soal Space & Place, tapi yang memikirkan untuk membuat denah situs-situs di Prambanan adalah Nikko, seorang lelaki tanggung yang (waktu itu) belum lulus kuliah dan menghabiskan waktu dengan pacaran dan menjadi penjaga warnet. Putu Sutawijaya yang rumahnya magrong-magrong itu bahkan sering (hanya) menjadi sopir dari perjalanan-perjalanan BOL BRUTU.

Kebhinekaan BOL BRUTU ini begitu cair, sehingga kita kadang bisa tenggelam di dalamnya. Tenggelam dalam keceriaan, tenggelam dalam perbedaan, tenggelam dalam kecanduan, tenggelam dalam ke-lebay-an. Untunglah selalu ada penyelam dan perenang yang handal sehingga kita bisa relatif cukup waspada kapan harus slulup kapan harus mecungul. Intinya, keanekaragaman individu itu bisa cukup saling mengisi dan membuat BOL BRUTU tetep cihuy

Tentang CITRA dan IDENTITAS
Mengingat sifatnya sebagai Gerombolan yang cair dengan kebhinekaan individu maka cukup sulit untuk melakukan Identifikasi BOL BRUTU dalam pencitraan seperti yang dibayangkan oleh Eriksen (1993: 117-118) yang mengatakan bahwa identitas dibangun dari seleksi dengan batasan yang bersifat semena-mena, hanya dari satu bentuk budaya yang dianggap sangat penting dan dapat mewakili secara keseluruhan. Melihat hal itu, dapat dilihat bahwa bagaimanapun juga, citra kolektif pun dibentuk oleh sekelompok orang. Citra kolektif tergantung pada subyektifitas. Eriksen juga mengatakan bahwa identitas selalu dibangun berdasarkan legitimasi sebuah bentuk lembaga yang berkepentingan.

Tanpa bermaksud menggugat maksud baik, percobaan yang dilakukan pada akun Twitter BOL BRUTU yang dikelola oleh perorangan. Para pandemen BOL BRUTU ternyata memiliki kesadaran kolektif akan sebuah Identitas ke-BOL BRUTU-an dan kurang setuju atas tafsir tunggal tentang ke-BOL BRUTU-an. Kenneth Boulding (1972: 41-51) menyatakan citra sebagai sebuah bentuk pengetahuan subyektif. Dari sudut pandang individu citra merupakan gabungan informasi dari pribadi individu serta pengetahuan budaya dari masyarakat atau publik. Salah satu bagian dari citra adalah sejarah terbentuknya citra itu sendiri, sebuah proses munculnya kesadaran tentang citra. Pada gilirannya, ketika sekelompok manusia berbagi citra yang sama maka rangkaian pesan-pesan yang diterima dalam membangun citra adalah identik, sehingga sistem nilai dari semua individu harus dilihat secara identik. Kasus atas akun Twitter BOL BRUTU adalah bagian dari sejarah kesadaran kolektif tentang pencitraan identitas dari BOL BRUTU.

BOL BRUTU memilih untuk berada di (ruang) aktivitas dokumentasi situs-situs marjinal serta (sekali lagi) berbagi keceriaan. BOL BRUTU tidak memilih berada di ruang-ruang yang sudah menjadi pilihan “gerombolan yang lain” seperti BP3, Aktivis Heritage (resmi), Balai Arkeologi dan sejenisnya, bahwa individu-individu di BOL BRUTU punya concern kesana itu sah dan sangat bagus. Namun perlu diingat, seperti yang pernah diungkapkan oleh Putu Sutawijaya pada MY-MAGZ:

“BOL BRUTU bukan komunitas berat yang mempelajari secara detail atau anggotanya harus hafal betul mengenai sejarah. Kami hanyalah orang-orang yang punya imajinasi sendiri tentang apa yang kami temui dan kami semua suka berpetualang”

Ungkapan Putu Sutawijaya tersebut bisa dipahami bahwa BOL BRUTU selalu mengakomodasi fantasi-fantasi personal, sekalipun sudah terbangun kesadaran pengetahuan kolektif akan identitas BOL BRUTU.

Ken Plumer (1994: 271) mengungkapkan bahwa identitas merupakan proses penamaan atau penempatan diri di dalam suatu kategori atau konstruksi sosial tertentu. Identitas sendiri juga merupakan sebuah konstruksi sosial, dalam arti kita mengekspresikan diri kita yang bisa diterima oleh orang “lain” dalam menilai identitas diri kita sendiri . Konsep identitas ini muncul ketika sesuatu hal berhadapan dengan sesuatu hal yang lain. Identitas kemudian merupakan sebuah batasan dalam rangka membedakan diri dengan yang lain.

Namun demikian, saya meyakini bahwa Identitas yang dibangun atas kesepakatan pengetahuan bersama dan kesadaran kolektif ini sifatnya akan negosiabel, karena semua individu yang aktif di BOL BRUTU memiliki kontribusi setara dalam membangun Citra Identitas BOL BRUTU, kemarin, sekarang dan esok.


EPILOG
Ini hanya sekedar tulisan sok intelek, yang ingin saya bagi atas tafsir pengalaman terhadap BOL BRUTU yang saya pahami. Sekaligus dalam rangka berbagi kebahagiaan dan keceriaan setelah 2 tahun, sejak saya, Kris Budiman, Putu Sutawijaya dan Ery Jabo melakukan perjalanan ke Situs-situs Kyai Sadrach di Purworejo. Perjalanan yang menjadi salah satu tonggak kehadiran BOL BRUTU, perjalanan yang membuat saya kecanduan kepada Candi, Makam, Rumah-rumah ibadah, dan bangunan tua lainnya … sebagai tempat yang asyik untuk di datangi dan di dokumentasikan.

Setelah tahun lalu milad pertama BOL BRUTU dirayakan di Kompleks Percandian Sengi dan Taman Jiwa, Muntilan pada 10-10-10, maka tahun ini BOL BRUTU akan merayakan Ultah keduanya pada 11-11-11. Disepakati pula bahwa 11 November 2011 adalah 3 x 24 jam, tanggal 12-13 November dianggap mangkir  :-d

Ok ini tafsirku, bagaimana dengan Tafsirmu atas BOL BRUTU?

SELAMAT ULANG TAHUN BOL BRUTU … AKU PADAMU !
BLUSUKAN MARAI TUMAN !
NYANDI ITU NYANDU !

=====================
Sumber Kutipan:
-  Kenneth E Boulding, “The Image”, dalam James P. Spradley (ed.), Culture and Cognition. San Fransisco: Chandler Publishing Company 1972
-  Ken Plummer, “Identity”, dalam William Outhwaite & Tom Bottomore (eds.), The Blackwell Dictionary of Twentieth Century Social Thought. Oxford: Blackwell Publishers 1994
-  Kris Budiman, Tentang Nama dan Logo Bol Brutu, Facebook Oktober 2011
-  My Magz Edisi # 7, Februari 2011
-  Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity & Nationalism: Anthropological Perspectives. London: Pluto Press 1993

Sumber Foto:
1. Courtesy of Kalinda Almaxaviera
2. Courtesy of Kris Budiman
3. Courtesy of Pande Ketut Taman & Feintje Likawati

diaplot di Fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 25 Oktober 2011 jam 15:47


Royal Wedding jelas lebih asyik daripada Reshuffle

Dua hari ini rasanya aku sedang mengalami psikosomatis di pagi hari, dan di kantor. Setiap pagi, aku selalu bersin-bersin, keluar keringat dingin dan badan seperti demam, melayang ... Anehnya semua langsung sirna begitu keluar kantor ha ha ha. Sepertinya aku sedang mengalami apa yang juga (mungkiin) sedang dialami oleh hampir seluruh orang di penjuru Yogyakarta: Demam Royal Wedding. Selasa, 18 Oktober ... aku memaksa diri untuk mengambil cuti setengah hari demi mengobati demam tersebut. Tak sampai berapa lama, aku sudah berada di depan Kraton Yogyakarta berkerumun bersama para juru potret yang sibuk menguber para tamu yang baru keluar Kraton, juru potret itu menawarkan hasil potretan kilat itu kepada para tamu dengan harga tertentu. Aku pun sempat memotret para juru poto ceria ini, dan mereka bertanya, "Sesuk, metu teng KR napa Tribun mas?" ... "Fesbuk!" jawabku singkat, ha ha ha. Selepas reuni uluk-salam dengan Kyai Wiyadi, akupun kemudian bergerak ke utara.

Setelah sejenak anjangsana ke Alun-alun Lor itu, tak lama kemudian aku sudah memarkirkan motorku di Ramai Mall, untuk kemudian bergegas menuju kompleks Kepatihan. Aku melihat seorang ibu dengan sopan bertanya kepada penjaga gerbang, dan terjadi pembicaraan serius soal ijin masuk dan seterusnya. Buat aku itu adalah peristiwa menguntungkan, karena aku bisa langsung nyelonong masuk hingga pendopo Bangsal Kepatihan, sebelum akhirnya disuruh pergi oleh Satpol PP ... tanpa tanda pengenal serta tak memakai batik dan sepatu, ha ha ha. Alhamdulillah aku tetap bisa mengabadikan Masjid Sulthoni Kepatihan, meski tak sempat menemukan makam tua di kompleks Kepatihan itu (menurut Wisnu Hermawan, makam ada di basement ... sebelah mana?)

Selepas dari Kepatihan, aku bergegas menuju titik nol ditengah panas terik dan belum makan siang. Akhirnya sambil menunggu Edy Hamzah, aku menghabiskan 2 botol minuman, semangkuk Bakso dan semangkuk Empek-empek ... masih mbayar, yang gratis belum buka :-p Setelah bersua Edy Hamzah, kamipun kemudian berusaha mencari posisi yang pas, untuk bisa memotret pesta Dhaup Ageng ini. Tapi kami tak beruntung, karena Lantai atas Kantor Pos sudah terlebih dahulu terisi oleh para Sniper berbaju doreng. Aku kemudian meninggalkan Edy untuk bergerak menuju kerumunan di Utara titik nol.

Perjalanan ke Utara titik nol ternyata tak bersahabat untuk aku yang ingin motret, karena aku tak seberuntung Caesar yang bisa naik ke Lantai atas BNI, akupun juga tak bisa mengakses Resto Mirota Batik, sementara untuk menyeberang dan naik ke atap Pasar Bringharjo juga tak bisa lagi karena sudah penuh lautan manusia. Uyel-uyelan dan tersamul di antara ibu-ibu dan adik-adik SMP-SMA menjadi pengalaman buatku he he he aku sempat terjepit dan tersangkut dalam perjalanan menuju Ramai Mall. Sementara itu Angkringan, Mie Ayam, Ronde dan beberapa penjual Gratisan yang tersedia sepanjang jalan sudah ludes

Akhirnya aku kembali lagi menuju titik nol, dan di antara ribuan manusia ... rombongan penganten akhirnya lewat dengan riuh tepukan, lambaian dari ribuan pengunjung yang memenuhi jalan sejak Rotowijayan-Titik Nol- Achmad Yani-Malioboro hingga Kepatihan, akupun tak beruntung, karena tak bisa memotret pengantennya ha ha ha. Namun demikian, rasanya tetap puas menjadi bagian dari ribuan manusia yang berada di poros Kraton-Kepatihan sore ini. Bersama rombongan ibu-ibu yang sengaja datang dari Pekalongan urunan sewa mobil, bersama serombongan masyarakat dari Rongkop Gunungkidul yang rencananya akan menginap di Masjid Gedhe sebelum esok pagi menuju Terminal Giwangan untuk kembali pulang, serta bersama ribuan masyarakat lainnya yang sengaja datang untuk berpesta meski hanya sekedar melambaikan tangan untuk Dhaup Ageng ini. Selepas menanti berkurangnya kepadatan di warung pak Billy dan mbak Rus, akupun kemudian bergegas menuju Selatan, rencananya mau ke Sangkring ... namun ternyata kepadatan masih belum pudar setengah jam selepas Maghrib, ya sudah akhirnya aku menuju ke Jogja Utara: Home!

Terbukti "Monarki" itu luar biasa sodara-sodara, militansi rakyatnya, ceria masyarakatnya ... wah ... cihuy sekali deh. Bahkan sampah-sampah yang bertebaran sepanjang Malioboro akan menjadi rejeki juga bagi rakyat. Tampak sudah siaplah kalau memang mau jadi negara sendiri he he he, meski aku tetep mikir "arep tilik mbah-e Anak-anak di Bagelen ndadak pake Paspor" ha ha ha ... Refleksi lainnya adalah menjadi rakyan jela(n)tah juga asyik, biar gak bisa motret manten-nya tetep cihuy he he he ... Royal Wedding jelas lebih asyik daripada Reshuffle

Jadi yang pengen melihat potret manten-nya silahkan cek album teman-teman anda yang lain ... he he he

diaplot di Fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 18 Oktober 2011 jam 22:20

Stasiun Kalimenur: Penjual Tahu tak lagi menanti Sepur Grenjeng



Stasiun Kalimenur terletak di Desa Sukoreno, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, tepatnya diantara Stasiun Sentolo dan Stasiun Wates. Stasiun ini kini kondisinya lusuh dan kesepian, karena sudah sekitar 35 tahun lalu beroperasi. Stasiun berhenti beroperasi pada 1974 dan dianggap tak layak lagi meski hanya untuk pemberhentian kereta berkecepatan tinggi.




Stasiun ini diperkirakan dibangun pada masa yang sama dengan pembangunan jalur rel Surabaya-Cilacap, sekitar 1876-1888. Hingga masa revolusi, Stasiun Kalimenur menjadi salah satu Stasiun yang riuh dengan penumpang menunggu Kereta Uap yang sering disebut sebagai Sepur Bumel atau Sepur Grenjeng. Yang Unik, Stasiun ini dulu juga disebut sebagai Stasiun Tahu, karena mayoritas penumpangnya adalah penjual Tahu dari Tuksono, Sentolo yang hendak jualan ke Yogyakarta atau Kutoarjo.




Pada masa revolusi sekitar 1948, Stasiun ini pernah dibom oleh Belanda, hingga hampir hancur. Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) kemudian membangun kembali, dan meresmikan Stasiun Kalimenur menjadi Stoplat (Stasiun Mini) pada 1954.




Stasiun ini kini merana dan tak terawat, tulisan Kalimenur +35m terlihat semakin lusuh. Entahlah, apakah Stasiun Kalimenur termasuk sebagai Bangunan Cagar Budaya, karena tak ada papan penanda resminya.


Jadi, kapan anda datang berbagi sunyi dengan Stasiun Kalimenur ?


ditulis ulang dari http://www.matarama.co.id/news/mari-menelusuri-kejayaan-kereta-masa-silam.html

Stasiun Purworejo: Kereta Itu Tak Lagi Singgah


Awalnya Pemerintah Kolonial Belanda hanya membangun rel dari Kutoarjo menuju Purworejo sepanjang 12 km dengan tujuan untuk mendukung mobilitas dan perekonomian. Hingga kemudian dirasa perlu dibangun sebuah Stasiun yang menghubungkan Kutoarjo-Purworejo, maka Stasdsspoorwagen pada 20 Juli 1887 resmi membangun Stasiun Purworejo dan selesai sekitar hampir 1910 dengan struktur beton 8 meter dengan luas sekitar 850 meter persegi.




Stasiun Purworejo letaknya di dekat Alun-alun Purworejo serta di dekat pusat perekonomian Purworejo yaitu Pasar Baledono. Dengan demikian, seperti Stasiun Kutoarjo yang juga terletak di pusat perekonomian, maka pembangunan Stasiun Purworejo diperuntukkan untuk mempercepat mobilitas perekonomian antara Kutoarjo-Purworejo.




Stasiun ini sempat mengalami beberapa kali status non-aktif, terakhir diaktifkan oleh Menhub era 1990an Haryanto Dhanutirto. Seperti Stasiun Wonogiri dan Cilacap, Stasiun ini hanya melayani satu rute saja tiap harinya, dari Purworejo menuju Kutoarjo dengan kereta Feeder. Itupun sejak November 2010, Kereta Feeder tak lagi beroperasi. Kini meski resmi menjadi Bangunan Cagar Budaya, Stasiun Purworejo selain hanya menjadi tempat pemesanan tiket kereta, ia justru lebih tenar sebagai lokasi Warung Soto Sapi yang enak. 


Mungkin akan menarik jika Stasiun ini digunakan sebagai tempat kegiatan Kebudayaan, bagaimana menurut anda?



Museum Perjuangan Bogor


Museum Perjuangan Bogor, terletak di Jalan Merdeka No. 56, sekitar 3km dari Stasiun Bogor. Museum ini diresmikan oleh Komandan Korem 061/Suryakencana Letkol Isak Juarsa pada 10 November 1957. Sebagai layaknya Museum "Perjuangan", museum ini menyimpan beberapa koleksi mata uang, senjata, pakaian para pejuang, mesin tik, mesin jahit serta beberapa artikel media massa pada jaman perjuangan.


Gedung Museum sendiri dibangun oleh pemiliknya Wilhelm Gustaf Wissner pada 1879, sebagai rumah tinggal. Pada 1935, bangunan ini digunakan sebagai tempat pergerakan nasional, dan kemudian tahun 1942 digunakan oleh Jepang sebagai tempat barang-barang pampasan dari Belanda.


Pada 20 Mei 1958 setelah bangunan telah resmi digunakan sebagai Museum Perjuangan, resmi pula bangunan ini dihibahkan ke Negara oleh pemiliknya yang terakhir: Umar Bin Usman Albawahab.

Kamis, 18 Agustus 2011

Alin & Zora: Being BOL BRUTU di Turi-Pakem-Ngaglik Sleman


Awalnya ini perjalanan pada Sabtu, 28 Mei 2011 ini adalah kencan bertiga bersama Alin dan Zora, untuk menyusuri jejak-jejak masa lalu yang tersebar tak jauh dari rumah: Situs-situs marjinal sekitar Turi-Pakem-Ngaglik. Namun kemudian dua perempuan puitis ingin bergabung: Bulik Bun-bun dan Bude Ninuk, jadi akhirnya perjalanan ini dilakukan oleh Pancuran kecepit 4 sendang :-p 

Pancuran Buto

Kita berjanji untuk bertemu di depan kantor kecamatan Turi, dan sambil menunggu Alin dan Zora kemudian menggambar di pinggir jalan, dengan buku gampar dan crayon yang dibawa dari rumah. Sedikit bosan, maka kemudian kami bergerak menuju Situs Potro di Purwobinangun Pakem, situs ini berupa Jaladwara serta (mirip) Peripih yang berada di "mBelik" dusun, masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Pancuran Buto. Kami kemudian kembali ke depan Kecamatan untuk menanti dua ibu kembali, Alin dan Zora kemudian menggambar kembali.

Monumen Salak Gading

Ternyata 2 ibu malah menuju Tempel, bukan Turi ... byuh! Kami bertigapun kemudian menuju Gabugan, untuk memuaskan rasa penasaran terhadap "Monumen Salak Gading". Monumen yang berada di belakang rumah penduduk awalnya kukira adalah Monumen Semen, tapi ternyata adalah pohon salak gading sungguhan. Monumen ini diyakini adalah tanaman salak gading tertua yang sudah menurunkan Salak Gading se antero Nusantara, Wallahu Alam. Di Gabugan kami kemudian juga blusukan ke makam dusun untuk mencari makam Nyai Ageng, namun kami tak berhasil menemukannya. 

Alin & Zora Kini dan Beberapa Abad Kemudian

Dua ibu kemudian sudah berada di warung sebelah puskesmas Turi, tak jauh dari Gabugan, maka kamipun kemudian berhimpun dan menuju Situs Cepet. Kali ini aku bersama Zora, sementara Alin diboncengin Bude Ninuk. Di makam dusun cepet, terlihat batu-batu candi digunakan sebagai pagar, dan di halaman makam tampat Yoni dengan ukuran yang cukup besar dengan model polosan. Sementara di luar pagar makam, tepatnya di bawah rerimbunan bambu, terdapat Yoni yang sudah tinggal separuh, namun Naga penopang ceratnya masih terlihat cantik: Hijau berlumut

Sendang Ngepas: Menunggang NANDI

Selepas itu, kami bergerak ke selatan untuk mampir ke Pasar Sorowulan, Srowolan sebutannya kini. Tempat ini adalah pasar jaman perjuangan, lokasi dimana kantor kecamatan pakem pertama kali hadir. Di dusun yang ditandai dengan batu lumpang sebagai monumen ini, pengetik naskah proklamasi Sayuti Melik, berasal. Pasarnya sendiri cukup menarik, karena besi-besi penopang tiang serta papan-papan petunjuk los jaman Belanda masih ada disini. Bergerak lagi ke selatan, kami kemudian tiba di Sendang Ngepas, tempat dimana saya dulu terpeleset dan kecemplung sendang serta hampir saja kehilangan 400D ... hiks. Sendang ini dihiasi beberapa arca yang ada di bagian utara, serta Nandi di bagian timur dan barat sendang.

Arca-Arca Situs Suruh

Selepas Ngepas, kami menuju ke dusun sebelah: Suruh! Demi untuk Arca belum jadi serta batu-batu candi yang hadir di makam dusun. Di situs ini kami sudah mulai lelah, tapi tidak Alin dan Zora, byuh! Zora sempat menangis karena terjatuh ketika berlari menuju pintu belakang makam, namun tak lama, ia sudah tersenyum ketika kemudian duduk berpose di sebelah arca penjaga makam dusun Suruh. Kami kemudian bergerak lagi ke selatan untuk makan siang di pojok lapangan Rejodani. Bakso 2 mangkok dan 1 Mie Ayam menjadi menu Aku, Alin dan Zora.

Makam Ki Ageng Sekar Alas

Dari pojok bakso kami bergerak masuk ke dusun tambakrejo, untuk mampir ke kompleks makam Ki Ageng Sekar Alas, makam ini cukup unik karena menggunakan Stupa sebagai nisan. "Makam Buddha" demikian orang sekitar menyebutnya. Catatan Sartono Tembi menyebutkan bahwa Ki Ageng Sekar Alas adalah pelarian dari Kerajaan Galuh Pakuan, Ki Ageng Sekar Alas dulunya bernama Pangeran Kusumajati. Ia adalah salah satu putra dari Sri Baduga Maharaja Jatiningrat. Semula Pangeran Kusumajati ini dic alonkan sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukan ayahnya. Akan tetapi Pangeran Kusumajati menolaknya dan kemudian mengembara hingga membuka alas disekitar lokasi ia dimakamkan sekarang.

Penampungan BCB Turi

Siang sebentar lagi akan terlewatkan ketika kami kemudian bermain air di Situs Jetis Jogopaten. Situs ini adalah sebuah sendang yang dihiasi 2 Kala serta 1 Kinara-Kinari yang sangat cantik. Alin dan Zora kemudian sejenak bermain-main dengan ikan-ikan yang gesit berlarian di sela-sela kaki kami. Awalnya selepas main air aku ingin segera menuju Turi, apalagi bun-bun sudah membungkus Lotis sejak dari Rejodani, namun Zora masih merengek "Ke tempat yang lain lagi!". Akhirnya kami kemudian mampir ke lokasi penampungan BCB Turi yang berada persis di depan lokasi Agrowisata Salak Turi. Zora kemudian berlarian di antara batu-batu masa lalu, sementara Alin sebelum menyusul menyempatkan diri untuk menggambar beberapa lembar. Aku, mbak Ninuk dan Bun-bun ... tentu saja mengatur napas dan ngeluk boyok ha ha ha

Lotisan

Sore itu kemudian kami tutup dengan lotisan di nDalem Pa-Cuk-an Turi, selepas mandi dan makan, sebelum jam 8 malam Alin dan Zora sudah kompetisi mendengkur, dan ayahnya menyusul tak lama kemudian setelah edit dan aplot foto ke pesbuk.

Turi-Pakem adalah salah satu tempat yang konon menjadi jalur peradaban Mataram Kuno antara daerah Klaten (Prambanan) hingga Dieng, sehingga jalur tersebut banyak ditemukan situs-situs dengan dua yang terakhir ketemu adalah Situs Liyangan dan candi UII. Situs-situs marjinal tentu saja luar biasa banyak jika kita mau menyusurinya, situs-situs yang tersisa 1-2 batu atau tersisa cerita "disini dulu pernah ditemukan batu candi"

Makam Gabugan, mencari Nyai Ageng ... ndak ketemu

Jadi kalau anda sempat mampir ke Turi dan ingin menikmati jejak-jejak masa lalu di sekitar rumah kami, Alin dan Zora siap membantu !

Sampai ketemu pada perjalanan berikutnya !

oleh Cuk Riomandha pada 19 Juli 2011 jam 10:49



Bandung Rendezvous, Awal Mei 2011


Kisah perjalanan ini seharusnya kutulis dan kurilis jauh hari, entah akhir-akhir ini sedang malas menuliskan kembali jejak-jejak perjalananku. Awal Mei lalu aku melakukan perjalanan dinas ke Bandung, awalnya pula aku tak begitu berselera untuk blusukan karena sedang tak enak body. Namun, selepas pesawat mendarat di Husein Sastranegara pada 3 Mei 2011 dan mengetahui lokasi dimana aku menginap, maka Masjid mungil Lautze 2 yang didirikan Yayasan haji Abdulkarim Oei Tjeng Hien, kudatangi diwaktu Ashar. Masjid yang juga ada di Jl Lautze, Pecinan Jakarta dan menjadi pusat informasi Muslim Tionghoa. Masjid Lautze Bandung cukup unik, karena berada di lantai bawah sebuah ruko, dan hanya memuat sekitar 30an jemaah.

Menjelang sore, aku didrop Belly dan temannya di Taman Maluku, he he he demi sebuah Patung Pastor H.C. Verbraak. Patung ini konon sering terlihat "hidup" dengan tangan berubah posisi, entahlah mungkin karena seniman yang membuatnya memang lihai. Pastor ini adalah Pastor tentara yang pernah bertugas di Aceh, Padang, dan wafat di Bandung Utara karena kecelakaaan pesawat. Ia konon dimakamkan di Molukkenplein, Magelang. Kemudian dengan dijemput Senja, akupun bertemu istriku yang tiba di Bandung ... kami kemudian mengisi hari dengan berjalan menyusuri Braga, Majestic, Gedung Merdeka, makan malam kemudian menikmati malam berdua.

Rabu pagi 4 Mei 2011, adalah perjalanan dinas menuju Lembang. Namun kami menyempatkan diri ke TPU Sirnaraga, dimana ontran-ontran PSSI membuatku tertarik menengok Soeratin, sang pendiri PSSI. Makamnya kini terlihat lebih cantik, sudah diperbaiki rupanya. Di Sirnaraga (nama yang puitis untuk sebuah kompleks makam) aku mendapat bonus dengan "Makam Panjang", diyakini sebagai makam dari Ki Ageng Setio Pendito Ratu dan Putri Dewi Lintang Trengganu yang disemayamkan pada tahun 1602 di makam umum yang terletak di Kelurahan Pajajaran, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung tersebut. Konon, kuburan sepasang suami istri itu sudah ada ketika kawasan TPU Sirnaraga masih berupa hutan belantara. Sebagian warga mempercayai bahwa pasutri jangkung itu merupakan pengembara asal Timur Tengah yang sengaja datang ke Indonesia untuk menyiarkan agama Islam. Entah darimana nama itu hadir, juga angka 1602. Namun konon makam panjang di Sumenep dan Cirebon merupakan kembaran makam Ki Ageng Setio Pendito Ratu dan Putri Dewi Lintang Trengganis.

Selepas berkegiatan evaluasi bersama KUBCA SAMAKTA di Lembang, aku kembali ke penginapan: Royal Palace. Malam itu akupun Rendezvous di Braga dengan istriku, berturut-turut: Het Snouphuis, Braga Permai, menjadi lokasi kencan kami. Ice Cream Sumber Hidangan (Het Snouphuis) menjadi pembuka, Nesselrode Ice Cream & Sumber Hidangan Special Ice Cream menjadi pilihan. Kencan kemudian berlanjut dengan 1 Teh Poci, 1 Fosco (Susu soklat), Huzzarella Salad, Black Pepper Steak Medium dan Filled Mignon Medium di Braga Permai ... serasa menjadi Nonik dan Sinyo Londo deh, tak lupa pula sebelumnya kami sempatkan untuk mampir ke sebuah toko buku legendaris: DJAWA ! dan beberapa buku menjadi pilihan untuk Alin dan Zora. Setelah kenyang, kamipun melanjutkan kencan di penginapan.

Kamis 5 Mei 2011 adalah hari yang suram, sebelum melakukan pertemuan evaluasi bersama kawan-kawan BILIC aku harus mengantarkan istriku menuju terminal Leuwipanjang, karena ia harus kembali di Bogor. Hari itu tak aku isi dengan jalan-jalan hanya menikmati kesendirian saja. Akupun kemudian tertidur di karpet lantai kamar hotel. 

Jumat pagi kami berhimpun bersama BILIC dan KUBCA SAMAKTA di Gedung Indonesia Menggugat, saling berbagi cerita, akupun sempat mendapatkan buku dengan tandatangan dari Opik penulis buku puisi "Isi Otakku". Sayang aku tak sempat bertemu Sinta Ridwan yang baru ke GIM sore hari. Seperti tahu keresahanku, sebagai bos yang baik, Belly menemaniku jalan-jalan kemudian. Pieter Sijthoffpark yang konon merupakan taman tertua di Kota Bandung adalah tempat pertama yang kami datangi. Pieter Sijthoffpark, atau lebih dikenal dengan nama Pieterspark, dibangun pada tahun 1885 untuk mengenang Asisten Residen Priangan, Pieter Sijthoff, yang berjasa besar bagi perkembangan Kota Bandung. Taman ini dirancang oleh R. Teuscher, seorang pakar tanaman (botanikus) yang bertempat tingal di pojok Tamblongweg dan Naripanweg. Pada tanggal 4 Desember 1996 seiring dengan penempatan patung Dewi Sartika disana, taman ini menjadi Taman Dewi Sartika. Masih di dalam pagar taman ini, berdiri pula Gedung Balai Kota Bandung, sebuah Gedung lama rancangan arsitek E. H. de Roo.

Untuk menunjukkan rasa terimakasihku, maka aku mengajak pak bos untuk kembali ke jalan yang benar: Katedral Bandung! Ia pun kemudian khusyu berdoa, akupun kemudian dengan khidmat berkeliling untuk mendokumentasikan sudut-sudut dari Katedral cantik ini. Lagu Leo Kristi-pun seolah berdengung menjadi soundtrack-ku di tempat ini. "menjulang tinggi di cakrawala ... siluet katedral tua, rahib tua dalam riquem diriku ...". Gereja ini dirancang oleh C.P. Wolff Schoemaker, seorang arsitek berkebangsaan Belanda. Pembangunan gedung gereja dilaksanakan tahun 1921. Gereja kemudian diberkati oleh Mgr. Luypen pada tanggal 19 Februari 1922, dan dipersembahkan kepada Santo Petrus, yang merupakan nama permandian dari Pastor P.J.W. Muller, SJ.

Sabtu adalah hari dimana Lion Air (aku sering menyebut naik Rantang, karena kemiripan dengan merk Rantang Lion Star) akan membawa kami menuju Jogja siang hari. Itu juga berarti kami masih bisa jalan-jalan dulu di sekitar penginapan. Kamipun kemudian berjalan kaki menuju Banceuy. Selepas mampir kembali ke bekas ruang penahanan Soekarno di Eks Penjara Banceuy, akupun akhirnya menuju ke Kopi Aroma! Meski lebih menyukai minuman jahe-jahe-an, namun menikmati jejak kopi legenda tetaplah menarik setelah 2 kali aku gagal karena salah waktu. Kopi Aroma, adalah sebuah nama kopi yang diproduksi oleh bangunan Art Deco di sudut Banceuy. Didirikan oleh Tan Houw Sian, beserta anaknya, Widyapratama yang kini menangani perusahaan ini. Harga per 250gramnya kini adalah Rp 11.000 untuk Robusta dan Rp 15.000 untuk Arabika jika beli dipabriknya ... dan silahkan dikalikan 3 jika beli di Bandara Husein Sastranegara

Akhirnya, malam hari akupun kembali menikmati malam minggu di Jogja Utara, dengan kencan spesial: Alin & Zora

Sampai di perjalanan berikutnya ... mungkin september, ke Bandung lagi ...

oleh Cuk Riomandha pada 17 Juli 2011 jam 2:05

Senin, 08 Agustus 2011

Sa' Windu: kisahpun berlanjut ...

Jumpa Pertama, Februari 2003

Fly me to the moon 
Let me play among the stars 
Let me see what spring is like 
On a-Jupiter and Mars
In other words, hold my hand 
In other words, baby, kiss me 

13 Juli 2003

Fill my heart with song 
And let me sing for ever more 
You are all I long for 
All I worship and adore 
In other words, please be true 
In other words, in other words 
I love ... you 


*"Fly Me to the Moon" is a popular standard song written by Bart Howard in 1954. It was titled originally "In Other Words", and was introduced by Felicia Sanders in cabarets. The song became known popularly as "Fly Me to the Moon" from its first line, and after a few years the publishers changed the title to that officially. (wikipedia)

Lagu yang menjadi soundtrack video pernikahanku, dan juga kunyanyikan pada syukuran pernikahan kami di Surabaya. 20 Juli 2003.

======================================
Setelah beberapa bulan sebelumnya berkenalan via Boleh Chat, namun tak ada komunikasi lagi, maka pada sekitar Awal 2003, kami berkenalan kembali. Secara lebih serius kami pun kemudian saling menukar foto. Komunikasi kemudian berlanjut melalui Yahoo Messenger atau Handphone. Saat itu kami berbeda lokasi, aku di Jogjakarta dan dia di Pontianak.

Hingga pada sebuah hari di bulan Februari 2003 ketika aku sedang mudik ke Surabaya melihat teman-teman berkeluarga, sekonyong-konyong kok mikir sepertinya berkeluarga itu asyik. Dan ketika sedang berteduh di Alas Mantingan dalam perjalanan ke Jogja kembali bersama kawan Tonny Leonard naik Astrea Star kesayanganku itu, aku pun mengirim sms lamaran yang kira-kira tertulis: "Dik, maukah kau berkembang biak denganku?" ... dan dijawab "Mas gak papa?" ha ha ha Kamipun kemudian sepakat untuk bertemu di Jogjakarta, dengan kesepakatan aku yang menanggung biaya Jogjakarta-Pontianak ... dengan harga tiket pesawat sama dengan pemasukan bulananku yang sekitar 700rb sebulan waktu itu, biar mlarat yang penting nggaya ha ha ha.

Foto-foto yang dipertukarkan

Pertemuan kami secara fisik pertama kalipun terjadi di Stasiun Tugu, sekitar Subuh di tanggal yang aku telah lupa, duh! Sepertinya "dia" awalnya merasa tertipu sehingga ketika turun dari kereta tak langsung menuju ke arahku tapi melengos ke arah toilet. Namun demi tiket yang sudah kadung terbeli "dia" pun kemudian menuju ke arahku dan kemudian berkata sambil nyengir: "Kok gemuk? beda sama fotonya?"  ... akupun hanya tersenyum penuh kemaluan ha ha ha selain itu aku takjub juga ternyata GELEM !  Kami percaya CINTA itu adalah soal Itikad ha ha ha

Hari itu juga, selepas mampir Turi sejenak, kukenalkan dengan Ijus Narwanto dan Ery Setiawan yang waktu itu tinggal bersamaku di Turi. Kami kemudian menuju Kutoarjo, (dan telpon ke HUMANA, kalau hari itu aku mau ngelamar, plus mengirim SMS ke Aan: "An, aku wis entuk mbak-e pentol korek"). Dan akupun melamar langsung ke hadapan kedua orangtuanya, namun karena "dia" anak bungsu dan kakak-kakaknya belum menikah, maka keputusan tak hadir hari itu. Namun melalui lobi-lobi via sms dan telpon secara gencar maka semuanya menjadi terbuka. Kemudian akupun menghubungi orangtua di Surabaya melalui SMS: "Siap-siap nang Kutoarjo, tolong aku dilamarno!" Situasi yang bikin kaget dan sulit dipercaya bagi kedua orangtuaku, teman-teman di Humana, bahkan oleh kami berdua ha ha ha sepertinya begitu cepat ...

Setelah 2 kali pertemuan kemudian, maka selepas aku bilang ke orangtuaku "iki aku mek duwe duit 2 juta rupiah, tahun iki aku kudu Rabi!' maka 13 Juli 2003, kamipun menikah di Purworejo dan kemudian juga mengadakan syukuran di Surabaya sekitar seminggu kemudian. Dua bidadari kami, Kalinda Almaxaviera hadir pada 29 April 2004 sementara Selma Zora Guryanika hadir pada 19 Januari 2008. Kami sendiri sebetulnya adalah tipe keluarga yang bisa dikatakan "jauh tapi dekat". Pada 2003-2004 ada jeda Pontianak-Sleman, 2006-2009 ada jeda Surabaya-Sleman dan 2009-2011 Bogor-Sleman. Dan mungkin situasi yang sejenis akan kami hadapi lagi kemudian ...

Keluarga Gembiraloka

Hari ini kami telah melalui Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir, nama-nama tahun dalam Se-WINDU, yang diperkenalkan oleh Sultan Agung.

13 Juli 2003 - 13 Juli 2011.
Doakan saja kami sekeluarga... terima kasih !


oleh Cuk Riomandha 13 Juli 2011


Kamis, 30 Juni 2011

April: Perjalanan Golek Dalan PADANG !


Sudah beberapa perjalanan yang tlah kulakukan tanpa menulis Catatan Perjalanan, salah satunya adalah perjalanan ke Ranah Minang: Kota Padang! Tapi kok ya eman-eman kalau tak dituliskan ulang. Apalagi aku baru saja Go Blog di http://ziarah-visual.blogspot.com/ he he he. Ok berdasarkan ingatan akrobatik, aku akan mencoba menulis kembali perjalanan yang kulakukan pada 21-25 April 2011 lalu. Sebetulnya sebelum berangkat sudah kontak dengan mas Teguh Hidayat dan Henny Pudji Rahayu, tapi kami belum rejeki ketemu ... toh kami juga blusukan ke tempat masing2 he he he


Perjalanan ke Padang adalah melamar untuk adik bungsuku, aku ke Padang bersama Ibunda. Singkat kata, Kamis sore kami sudah berada di Padang dan malamnya dialog lamaran pun dilakukan, secara informal, apa adanya namun penuh keakraban, cukup mudah ternyata he he he. Jumat kami kemudian mulai beraktivitas untuk acara pernikahan yang akan dilakukan akhir Juli di Padang. Bonus yang kudapatkan pada hari Jumat ini adalah Jumatan di Masjid Ganting, sebuah masjid Ganteng yang mulai dikerjakan pada 1790 dan selesai 1810. Masjid ini mengalami cobaan dua kali yaitu Gempa Bumi + Tsunami pada 1833 dan Gempa Padang pada 2009 lalu, ketika aku datang, bagian mihrab masih mengkhawatirkan sehingga mihrab darurat dibuat di tengah masjid. Selain ke Masjid Ganting, bonus lainnya adalah Kuliner Ikan Djoni Kun di Kota Lama Padang: makan sekaligus mapping perjalanan hari berikutnya.


Sabtu 23 April, aku memutuskan untuk tak mengikuti lagi urusan Gedung dan Katering, aku memilih untuk meminjam motor dan memulai perjalanan. Perjalanan kemudian kumulai di Makam Turki Gunungpadang yang masuk di Nagari Teluk Bayur. Makam yang terletak di lereng pinggir jalan raya menuju Teluk Bayur itu seolah menjadi jejak Ottoman di Indonesia. Perjalanan berikutnya adalah yang paling berat yaitu menuju Gunung Padang di Muaro Padang, menyusuri Benteng-benteng Kolonial lalu menanjak ke atas, akhirnya akupun tiba di makam Siti Nurbaya, yang letaknya berada di sebuah Gua menjelang puncak. Perjalanan yang membuat aku kehabisan napas dan hampir pingsan itu, aku netralisir dengan Es Tebu di pojok Kota Tua – Jembatan Siti Nurbaya.


Setelah mulai bisa menemukan napas, aku segera bergegas menikmati Kota Tua Padang yang semakin sunyi dan sepi itu, bangunan-bangunan bergaya colonial dan tionghoa tampak begitu kuat hadir disana. Akupun tak melewatkan untuk melihat Kelenteng See Hien Kiong didirikan pada tanggal 1 November 1905. Dahulunya kota Padang tidak mempunyai kelenteng sama sekali. Pada waktu itu suku Tjiang dan Tjoan Tjioe datang untuk berniaga (dagang) di kota Padang. Kemudian didirikan kelenteng Kwan Im (Kwan Im Teng) pada tahun 1861 dengan persetujuan Raja Ham Hong Taun Sien Yu. Klenteng ini rusak berat, dihalaman depan dibangun 2 ruang darurat yang digunakan untuk ruang Altar Peribadatan serta Ruang Pengurus Klenteng. Selepas menikmati jejak-jejak Indis di Batang Arau, perjalanan kemudian adalah keliling kota dengan pemberhentian di Museum Adityawarman, Monumen Lingga Young Sumatra … menjelang sore perjalanan kututup dengan Jus Pinang yang Gahar !


Minggu 24 April, adalah hari terakhir di Padang yang memungkinkan aku untuk blusukan, maka dengan sedikit nekat akupun bergerak sedikit ke arah Padang Pariaman, selepas Bandara menyusuri tepi-tepi Samudra Hindia. Pantai yang sunyi dengan pemandangan pohon, pasir dan laut yang aduhai. Tak lama berselang aku sudah berada di Kompleks Makam Syekh Burhanuddin, yang termasuk penyebar Islam awal di Padang. Di bagian muka makam terdapat sepuluh lokan besar 20 x 30 m tersusun di sebelah kiri kanan jalan yang menghubungkan makam dengan bangunan 100 x 80 cm. Lokan-lokan ini dianggap para pengikutnya mempunyai berkah yang dapat menyembuhan berbagai penyakit. Sayang aku tak sempat mendapatkan informasi memadai mengenai Masjid Syekh Burhanuddin yang letaknya sekitar 4-5km dari makam ini.


Seolah tak bosan dengan Batang Arau, aku kembali ke Kota Lama Padang, demi Masjid Kampung Keling: Muhammadan. Mesjid Muhammadan dibangun sekira 200 tahun lalu oleh para saudagar dari India yang berdagang ke Padang melalui Muaro Padang. Pada bagian depan terdapat dua tower mesjid, yang menjadi gaya arsitektur dari Nagor, India bagian Selatan. Setelah menikmati Lontong Sayur Padang di tepi Samudra Hindia, akupun kemudian mencari bonus dengan jalan menikmati pantai ke arah pelabuhan Teluk Bayur, hari minggu banyak orang pacaran ditepi pantai. Kemudian akupun menggeber motor matik pinjaman ke Pantai Air Manis, menengok Arca bikinan Orde Baru: Malin Kundang. Minggu malam kemudian ditutup dengan makan bersama dengan Chinesse Food di Apollo Seafod Jalan Sungai Bong. Kombinasi Jalan-jalan dan Kuliner akan selalu membuat berat badanku stabil namun dinamis :p


Senin adalah jadwalku kembali ke Jawadwipa, dengan jadwal Juli akan kembali ke Padang. Dharmasraya pasti akan menghantuiku karena tak sempat aku kunjungi, termasuk di bulan Juli, semoga suatu saat ada orang khilaf yang mau mentraktir aku buat jalan-jalan menyusuri Candi-Candi di Sumatra dan Kalimantan. Di Bandara Batavia, aku menyempatkan diri untuk berfoto bersama bintang pilem yang sudah kondang misuwur: Landung Simatupang … beliau ternyata Merah juga !


Jadi begitulah … sampai ketemu di perjalanan berikutnya. Doakan ada “perjalanan” ke tempat lain di Padang pada akhir Juli nanti.

oleh Cuk Riomandha pada 30 Juni 2011