Selasa, 21 Juni 2011

Pleret: tak hanya kisah tentang Diponegoro ....

Laki-laki di Giriloyo Imogiri Bantul, artinya bisa berbeda di Surabaya, Laki-laki di Girilaya he he he

Awalnya minggu ini perjalanan akan dilakukan oleh 4 laki-laki setengah baya, namun satu orang kemudian menyerah meski justru dia lah yang paling punya banyak informasi. Dengan alasan "My Body not Delicious", Ikun Sri Kuncoro memilih untuk absen. Maka Perjalanan ke tanah pleret ini kemudian hanya dilakukan bertiga: Saya, Kris Budiman dan Hairus Salim.

Situs Kauman Pleret

Jam sembilan, kami bergerak dari markas Brimob kidul Giwangan ... (sangar lokasi keberangkatane yo, hi hi hi). Tak seberapa lama, kami tiba di pasar pleret dan orang-orang menyemut disana. Saatnya mencari Mr. Alias, dan kami pun mendapat info mengenai Situs Masjid Kauman, masjid yang dibangun pada masa Amangkurat I tersebut terletak di sebelah Masjid Al Mubarok. Dari Salim yang memang NU sekali, saya dapat cerita bagaimana kira-kira bentuk masjid ini dulunya, mulai gerbang, tempat wudhu, bangunan tersendiri untuk sholat sunnah (seperti di kotagede), serta mimbar masjidnya. Dari cerita tersebut dan melihat umpak yang tersebar dimana-mana, kita pun berfantasi bahwa masjid ini dulunya cukup besar dan megah sepertinya. Di Belakang masjid (baik yang baru, maupun yang lama) terdapat makam yang menarik, yang satu terdapat pohon yang sangat besar dan cantik, yang satunya lagi ada cungkup makam yang di jaga patung punakawan kecil: makam Kanjeng Ratu (P) Labuhan (penulisan yang sangat Realino sekali he he he).

Sumur Pink Gemuling

Dengan maksud mencari prasasti lingga semu seperti catatan pemkab bantul, kami mendapat info soal situs sumur gumuling, yang adalah museum pleret. Nah disana kita dapat menemukan beberapa artefak hindu/budha seperti nandi atau stupa serta tentu saja sumur gumuling yang ngepop ... pink. Dari pak alias di Museum ini, kami mendapatkan beberapa info lokasi lain yang seharusnya kami datangi. Tapi Lingga semu itu tak diketemukan, meski sudah mencoba sms Rahmad Widada, tokoh dari pleret.

Mataram Charta

Situs Kerto adalah lokasi perjalanan kami berikutnya. Karta, Kerto atau Charta diyakini sebagai nama kompleks Kraton Mataram setelah Mataram Kotagede. Dibangun oleh Sultan Agung. Peninggalan Situs dari empat umpak kini tinggal 2 Umpak saja, Satu Umpak sudah digunakan untuk masjid soko tunggal tamansari ngasem yogyakarta, satunya lagi sudah ada di situs Sumur Gumuling (Museum Pleret).

Gerbang Makam GunungKelir

Gunung Kelir adalah tujuan kami berikutnya, setelah blusukan sana sini, kita sampai di mushola dekat rumah pak slamet sang juru kunci. Meski awalnya cukup minder melihat tanjakannya serta hampir kehabisan oksigen menjelang puncak, tapi semuanya terbayar sejak melihat tembok-tembok tua dan makam-makam yang syahdu ... DAHSYAT !! Situs ini diselimuti kisah cinta segitiga antara Sultan Amangkurat I, Ki Dalang Panjang Mas dan Ratu Mas Malang. Ki Panjang Mas adalah dalang favorit Sultan, sementara Istrinya yang menjadi Sinden kemudian "dikersak-ke" oleh Sultan. Makam ini dibangun oleh Amangkurat I jadi memang agak logis ketika makam Ki Dalang agak mojok, dari tumpukan beberapa batu, serta diapit dua pohon tua. Di lokasi ini, dimakamkan pula semua rombongan pengrawitnya. Situs ini sering di datangi oleh para dalang wayang maupun para pengrawit dari berbagai tempat. Di atas makam ini ada sendang yang tak pernah kering. Yang menarik dari lokasi ini adalah tembok-tembok retak yang mengelilingi hampir semua area, sangat eksotik ... sumpah ini merupakan tempat yang cantik dan dahsyat !

The Pringman di Situs Kedaton

Setelah turun dengan sangat mrecing-mrecing dari gunungkelir, kitapun bergerak untuk mencari makan ... situs di dalam perut mulai bergolak. Mie Ayam Bakso adalah pilihannya, tentu saja saya selalu pesan lebih ... tapi minumnya 1 Es Teh dan 1 Es Jeruk, ini hanya untuk menetralisir efek pendakian he he he, selalu ada momen dimana saya tak bisa bicara dan tak bisa di ajak bicara, karena harus mengatur nafas yang memburu-buru itu ... mengkis-mengkis. Awalnya kami mau melewatkan Situs Kedaton Pleret, yang konon dibangun oleh Amangkurat I pada abad 17 tersebut. Namun situs tersebut letaknya ternyata hanya sekitar 15 meter dari tempat kami makan. Dan dibawah naungan bambu-bambu yang hening, kamipun menikmati situs yang ngecembeng banyu ini.

Giriloyo, Imogiri

Perjalanan berikutnya adalah mencari Petilasan Sultan Agung, situs blawong yang berada di bukit dimana secara administratif masuk dalam Trimulyo Jetis sekaligus juga Segoroyoso Pleret. Tapi ditengah perjalanan, kami tercekat pada sebuah pertigaan yang tertulis makam Giriloyo Imogiri, bimbang melanda. Rantai motor mulai kemretek kurang galian singset, maka Kris terpaksa berpindah dibonceng Salim. Di tempat ini bersemayam Paman dan Ibu dari SUltan Agung, lalu ada Sultan Cirebon, Ki Ageng Giring, Ki Ageng Senthong, Gusti Pembayun Tegal Arum. Kris Budiman menemui kenyataan pula bahwa Tumenggung Wiroguno-pun ada disini, bukan di bawah pohon dekat Candi Gunungsari, Gulon Muntilan.

Gua Permoni, dan 2 laki-laki bermani

Selepas servis rantai sebentar di srandakan hanya dengan 1000 rupiah kamipun bergerak lagi. Gunungkelir dan Giriloyo ternyata bukan menjadi 2 bukit yang kami datangi, karena kamipun ternyata masih mendaki lagi di Situs Blawong. Batu Panah, Petilasan Kuda Sembrani serta Batu Banyu tetes memang ada di tepi jalan aspal. Tapi Batu Cungkup, Batu Amben dan Batu Payung masih harus mendaki. Dan disamping kandang kambing gibas, kamipun naik. Beberapa batu sudah rusak akibat gempa 2006 lalu, tapi melihat pemandangan pleret/jetis dari atas cukup menghilangkan rasa lelah yang melanda. Ada tempat juga yang cukup menarik disana yaitu Gua Permoni, merupakan gua buatan yang terjadi karena penambangan batu putih. Ruangan gua ini tergenang air. 

Salep Wintogeno andalan

Selepas lokasi ini, kami bertiga kemudian mencari jalan ke utara, saatnya menuju Rumah! Melihat awan gelap yang menggantung di utara, saya dan kris kemudian meninggalkan Salim. Hujan turun dengan deras saat kami sampai di Condongcatur, jas ujan kemudian disiapkan untuk Lowepro serta untuk saya sendiri. Tak beberapa kemudian sampai di situs indomaret, saatnya menurunkan Kris ... dan menuju utara sendirian. Ternyata eksotika perjalanan belum selesai, sekitar 2km dari rumah saya ditabrak motor yang keluar dari kebun salak, dan bedebum! tubuh dan motor saja melantai di aspal basah. Sementara motor yang menabrak saya, terus melaju dengan cuek. Asem ik! Tapi syukurlah tak ada yang perlu dikhawatirkan, hanya perlu beberapa olesan WINTOGENO. Saya maklum dan ikhlas kok, mungkin tadi yang nabrak saya sedang mencret dan pengen segera cebok kkkkk. 

Sampai ketemu di "Ancient Visual Journey" berikutnya ... 
ingat kata pepatah "blusukan marai tuman" ... atau "nyandi ki nyandu"



oleh Cuk Riomandha pada 21 Maret 2010

1 komentar:

  1. Kulonnuwon,wah.wah bebas banget bhsnya jadi rodo adem sing boco pituture. masss.kita sprtnya satu profesi" loro blusukkan" tp beda gelar,rasanya
    sungmringah setelah baca pitutur masnya
    kalau sdh di rmh biasanya sering tdk sengaja blusukkan sprt seorang demang.bupatine dawuh kon nilik i mulai sy pernah tdk sengaja dr imogiri minggah terus di pertiggaan ngomong ke putri griyo" kita nyoba lewat sini ya mi" sy kaget kog jalannya turun lho ki nengdi pikirku jebulane teko neng segoroyoso.pleret sy kagum kalau nanti masnya blusukkan lg tlng di sertaiin fotto ya mas yng terkait dgn situs.petilasan.jogya dan sekitarnya

    BalasHapus