Jumat malam, ibunya anak-anak pulang ke Jogja. Jamaknya akhir pekan adalah acara keluarga. Sabtu 24 Juli, agenda utama adalah berburu jilbab soklat untuk sekolah alin. Setelah jilbab di dapat di sekitar pakem dan jakal, agenda selanjutnya menuju Social Agency jakal, dan Cergam Candi, buku mewarnai upin-ipin dan buku stiker princess menjadi belanjaan kami. Lapar yang melanda membuat kami segera menuju jalan damai. Awalnya kami hanya akan membeli udang mentah saja, tapi ternyata warung ikan mentah tersebut juga membuka warung makan, maka 3 ikan kerapu bakar, 2 nasi putih, 1 teh botol, 1 air mineral dan 1/4 kg udang mentah (untuk dibawa pulang) menjadi belanjaan kami. Setelah kenyang kami beranjak menuju utara, maunya mampir dulu ke situs ngepas, namun alin dan zora sudah tertidur di motor. Ya sudah istirahat dulu, karena malam kita masih melakukan perjalanan.
Malam minggu bersama keluarga saya isi juga dengan tugas negara dari kantor untuk ke Solo. Jam 17.00 pak Narno sampai di rumah, dan kami berangkat. Jalanan yang padat dan macet membuat kami tiba dilokasi sekitar 19.30. Kami menghadiri acara peluncuran film yang berjudul "Curhat" yang diproduksi oleh GERKATIN (Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia) Solo dengan bimbingan KAMPUNG HALAMAN Foundation dan didukung oleh Handicap International dan Irish Aid. Alin tampak antusias dan khusyu' anteng duduk sambil mengamati jalannya acara mulai sambutan2 sampai tayangan selesai dan dialog kreatif. Sementara istri saya diluar juga tampak asyik "berbicara" dengan salah satu anggota GERKATIN lainnya. Film-nya sendiri menceritakan mengenai problem2 komunikasi yang dialami "Sari" di rumah, di pasar, di stasiun serta di sekolah. Sesungguhnya jika kita mau sekedar memelankan suara gerak bibir, agar kawan-kawan tuna rungu dapat membaca gerak bibir kita, problem komunikasi bisa di reduksi. Alin dan ibunya kemarin belajar mengenai hal itu. Jam 21.20an kami pamit dulu, setelah mampir mBakso di dekat makam haji, kamipun menuju Jogja Utara. Tepat pukul 23.40 kami tiba dirumah, dan aku tidur sekitar 02.00 setelah aplot foto2 acara launching di SLB Negeri Surakarta itu.
Minggu 25 Juli, pagi aku masih tidur ketika alin, zora dan ibunya sudah jalan ke acara lomba mewarnai di kampung. Pagi dan siang itu kami makan udang yang dibeli kemarinnya. Siang singgah ketika ibunya anak-anak harus segera siap-siap packing untuk kembali ke bogor. Aku awalnya mau mengajak alin dan zora untuk jalan-jalan disekitar rumah, tapi zora sedang klayu, tak mau lepas dari ibunya. Aku dan alin kemudian keliling sekitar rumah, sampai kemudian kami berhenti di sebuah masjid di dusun Sangurejo. Tampak sebuah batu unik tergeletak disamping masjid, menurut bu Alias, itu adalah Lumpang (terbalik) yang dibuat leluhurnya ketika jaman kolonial, tapi uniknya batu yang digunakan adalah batu candi yang ditemukan di sekitar "situ" (gak jelas dimana, yang jelas exsitu). Setelah situs klegung, ganggong, cepet yang masih misterius lokasinya itu, kami juga dapat info bahwa dulu di sekitar kantor pos girikerto pernah ada candi kecil.
Setelah memaksa zora lepas dari pelukan, waktunya mengantar istri ke Travel di Kranggan. Kami sempat mampir ngombe, mbakso dan cari buku di pasar buku terban. Nah sementara istri nyari buku, aku mulai blusukan di makam belakang kios-kios buku tersebut. Di sebelah kios tepi jalan, juga ada 2 makam saudara yang satu pejabat p&k dan satunya pejabat BRI masa kemerdekaan dulu. Dari bapak yang sedang ngijing makam, dapat info soal makam tertua di kompleks tersebut, yaitu Kyai Gentong Emas, makamnya hanya tanah tanpa kijing, dengan batu nisan yang rata tanah di bawah kamboja yang telah renta namun eksotik. Entah siapa sesungguhnya Kyai Gentong Mas tersebut, selain konon bahwa beliau adalah cikal bakal makam tersebut. Aku juga menemukan makam yang menggunakan stupa sebagai nisannya.
Nah makam yang sudah lama kucari akhirnya juga kutemukan disana, sebuah makam sederhana dengan kijing dari traso, tanpa cungkup tanpa keramik. Ya dibagian utara kompleks tersebut, bersemayam seniman besar yang hingga kini masih menjadi rujukan: BASIO (Lahir Ahad Pon 1916 wafat Jumat Pon 31 Agustus 1979). Wikipedia mencatat: Basiyo adalah seorang pelawak dari Yogyakarta dengan menggunakan bahasa Jawa. Lawakan Basiyo menjadi terkenal di daerah Jawa Tengah melalui siaran radio, televisi (TVRI), dan berbagai rekaman. Lawakannya sering disebut sebagai Dagelan Mataram, sesuai dengan nama acaranya di RRI Yogyakarta. Dalam melawak, ia biasa bersama-sama dengan Sudarsono, Hardjo Gepeng, Suparmi, Pujiyem, Ngabdul, Atmo Kemin, istrinya sendiri (Marsidah), serta teman - temannya yang lain. Kalau anda ingat filmnya Temon: Serangan Fajar, Nyi Suparmi mendapat piala citra sebagai mbahnya Temon. Kini di TVRI Jogja, ada acara Pangkur Jenggleng, nah guyonan yang dipandegani Ngabdul dan Milko inilah yang meneruskan hasil gaya lawakan mataraman dari Basiyo cs ... so mari kita semua Nguri-uri Kabudayan Gemujeng !
Selamat malam ...
oleh Cuk Riomandha pada 25 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar