Setelah tak jadi ke Blitar, maka aku mendedikasikan waktu antara 14-18 Agustus untuk Blusukan. Sabtu Ke Gunungkidul, Minggu ke Magelang, Senin cari Tiket Mudik, Selasa ke Gedongsongo dan hari ini 18 Agustus aku memutuskan untuk mendatangi beberapa lokasi di Bantul dan Sleman Selatan. Setelah mengantar Alin sekolah, maka aku memulai perjalanan ke Dusun Gilang Baturetno Banguntapan. Berbeda dengan Watu Gilang di Pajangan, Pandak atau Kota Gede. Watu gilang Baturetno sangat unik, dengan relief hewan-hewan termasuk Pegasus. Konon batu ini merupakan tempat bersemadi dari orang yang bernama Kyai Gejawan, ada lagi yang menyebut-nyebut Parikesit (tokoh pewayangan) sebagai pemilik asli batu ini. Bisa jadi batu ini telah ada sejak masa klasik dan tetap difungsikan hingga masa Mataram Islam.
Perjalanan kemudian aku lanjutkan ke arah Madurejo, Prambanan. Dusun Deresan (?) yang berada antara Surogedhug dan Sawo menjadi tujuanku. Ketika blusukan bersama Bol Brutu dulu, aku sempat melihat batu candi di depan sebuah "sekolah". Sebuah batu candi dengan relief bunga pada satu sisinya teronggok di bawah pohon. Aku kemudian menuju ke kampung dibelakang rumah-rumah dari kompleks sebuah pabrik (?) di dusun Surogedug. Beberapa candi terdapat di pekarangan beberapa rumah dan tepi jalan. Aku melihat sepasang kaki di samping sebuah rumah. Menurut bu Alias, batu-batu ini berasal dari Sungai Sembir yang ada di tepi dusun.
Selepas dari Surogedug, aku kembali ke arah piyungan untuk menuju Jogotirto dengan Gua Sentono sebagai tujuanku kemudian. Gua yang berupa ceruk pada sebuah bukit ini sepertinya merupakan pertapaan Hindu, dengan relief dewa-dewa Hindu serta Lingga-Yoni. Berada satu lokasi dengan bukit Candi Abang, konon pertapaan ini dibangun pada abad 9 atau 10, era Mataram Hindhu / Mataram Kuna.
Kemudian aku menuju ke Candi Abang, candi yang membuatku penasaran sejak lama. Kata "Berpelukan" langsung teringat ketika aku kemudian persis berada di bawah Candi Abang, ya bentuk Candi Abang adalah seperti Rumah Teletubies: Berupa Gundukan tanah yang berisi batu-batu bata yang tertimbun dan tertutup rumput hijau. Dari puncak "gunung" Candi Abang ini pemandangan ke bawah, pemandangan persawahan terasa sangat Indonesia! di dekat reruntuhan bata di tepi candi tampak pula sebuah pecahan batu segi delapan entah apakah benda itu Yoni atau Lapik arca. Candi ini mestinya seumur dengan pertapaan Gua Sentono, tapi juga diduga lebih muda dari candi-candi yang ada di Yogyakarta lainnya, karena pilihan Bata sebagai bahan utama pembentuk candinya.
Dari candi abang, aku kemudian meluncurkan motorku ke arah Gua Jepang yang terletak sekitar 1km dari Candi Abang. Terdapat tiga pintu di Gua ini, pintu yang paling kanan hanya sekitar 8 meter dan tembus ke 2 gua lainnya, sementara pintu tengah dan pintu yang paling kiri lebih dalam sekitar 20meter. Sejenak di Gua yang pintunya sudah diberi semen bata itu ... aku kemudian mampir sejenak ke Situs Payak. Kali ini, aku bisa mendekati dan menjamah situs karena pintunya terbuka. Pada persinggahanku beberapa waktu lalu, aku hanya menikmati dari luar pagar, di atas, karena pintu terkunci.
Setelah situs Payak, aku kemudian bergegas menuju Yogyakarta untuk mampir di Pesanggrahan yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono II. Sesungguhnya nama asli tempat ini adalah Pesanggrahan Rejowinangun, seperti yang termaktub pada sebuah Macapat yang mengkisahkan tentang HB II. Lokasi ini juga terkenal sebagai Taman Air HB II. Kini puing-puing pesanggrahan ini, seolah menegaskan namanya sekarang. Reruntuhan bangunan yang didominasi dengan pecahan-pecahan bata yang ada dimana-mana menjadi pas sebagai WARUNGBOTO ... BANON CAFE he he he
Panas terik mulai mengeringkan tenggorokanku, akupun beringsut menuju arah utara. Es Legen yang terlihat di sekitar Timoho seolah melambai-lambai, tapi syukurlah membatalkan puasa hanyalah sekedar wacana. Akupun singgah sejenak di Nandan: Balai Bacaan Srigunting dan YLPS Humana untuk sekedar reuni dengan kawan lama yang hangat dan pliket. Namun demikian, Legen tetap meneror imajinasi ... maka kemudian ketika aku menemukannya di depan Indogrosir di jalan magelang ... akupun membeli dengan hati riang. Akhirnya setelah perjalanan, aku bisa buka puasa dengan Es Legen ... cihuy !
Sampai ketemu di perjalanan berikutnya!
oleh Cuk Riomandha pada 19 Agustus 2010
ya luar biasa ...
BalasHapusTulisan yang menarik, kunjungi blogku juga ya pak.bu, mas dan mbak!. Tak ada yang lebih menyedihkan dan mengharukan dari kisah Mangir pembayun, seperti juga ketika saya bersimpuh di makam Pembayun di Kebayunan Tapos Depok Jawa Barat, bersebelahan dengan makam anaknya Raden Bagus Wonoboyo dan makam Tumenggung Upashanta, kadang sebagai trah Mangir, aku merasa bahwa akhirnya mataram dan mangir bersatu mengusir penjajah Belanda di tahun 1628-29, cobalah cermati makam cucu Pembayun yang bernama Utari Sandi Jayaningsih, Penyanyi batavia yang akhirnya memenggal kepala Jaan Pieterz Soen Coen pada tanggal 20 September 1629, setelah sebelumnya membunuh Eva Ment istri JP Coen 4 hari sebelumnya, kepala JP Coen yang dipenggal oleh Utari inilah yang dimakamkan di tangga Imogiri, Spionase mataram lagi lagi dijalankan oleh cucu Pembayun dan ki Ageng Mangir, http://pahlawan-kali-sunter.blogspot.com/2013/01/makam-nyimas-utari-sandijayaningsih-
BalasHapus