Jumat, 24 Juni 2011

Mesam Mesem Menyang LASEM



Menuju Lasem
 LASEM, kata ini sudah mulai digulirkan sejak perjalanan BOL BRUTU ke karanganyar, sebagai lokasi perjalanan berikutnya. Dan akhirnya, long weekend di akhir mei ini, Lasem kami datangi. Sebuah kecamatan di kota Rembang yang dikenal dengan Batiknya serta pecinannya. Perjalanan BOL BRUTU selalu penuh dengan kejutan, dan kali ini karena beberapa alasan perjalanan ke Lasem hanya dilakukan oleh 4 orang: Aku, Putu Sutawijaya, Mahatmanto dan Kris Budiman. Terimakasih yang berlipat wajib kami berikan ke Jenni Vi Mee Yei dan Putu Sutawijaya yang menyepongsori perjalanan ini dengan menyediakan Mobil beserta Driver-nya, Kamsiah! Seperti biasa kami melakukan trip yang tidak populer dari situasi yang ada, dulu ketika ada keramaian Grebeg Maulid di Kraton, kita malah blusukan ke Sengi Muntilan, dan sekarang ketika semua fotografer berlomba ke borobudur untuk acara waisya' eh kita malah ke Lasem. Tapi ndak apa-apa, kami jadi bisa menikmati kesyahduan Lasem tanpa keriuhan. Terimakasih pula atas doa dari banyak orang, ramalan cuaca yang Thunderstorm di pantura ternyata tak terbukti. Cuaca cerah dan langit biru lebih banyak menemani kami di Lasem. Berangkat dari Sangkring, mobil bergerak ke Turi ... awalnya kami berencana menjemput Rafael di Magelang, namun karena absen maka kami terus melewati Semarang, Kudus dan Pati menuju Rembang. Kris duduk disamping pak sopir karena memegang peta, sementara sang pelukis agung dan sang arsitek riuh berdiskusi serius, dan aku menikmati perjalanan dengan (tentu saja) memamah biak! Lagu-lagu Bossanova Jawa, Dangdut Koplo serta Konser Rakyat Leo Kristi menjadi Soundtrack perjalanan kami.


Kajar
Perjalanan melalui Semarang lebih lama sekitar 2 jam, daripada melalui jalur Purwodadi. Setelah makan siang di Kudus, serta menikmati kacang dingin di Pati, siang yang hendak pergi menyambut kami ketika tiba di Lasem. Kami langsung menuju ke KAJAR, mencari jejak majapahit. Watu Tapak, itu password pertama kami untuk mencarinya, setelah blusukan di makam atas bukit sambil berdarah-darah melalui onak belukar, akhirnya kami bertemu mas Alias yang menunjukkan Tapak Kaki di sebuah batu besar. Mas alias bercerita bahwa itu adalah tapak Sunan Bon Ang, karena tapak satunya lagi ada di petilasan Bonang di lereng Gunung Tugel. Namun dari literatur yang sempat kubaca, Tapak tersebut adalah prasasti kaki Hayam Wuruk yang dibuat oleh Bhre Lasem untuk memperingati kunjungan Hayam Wuruk ke Lasem. Mana yang benar, Wallahualam Bissawab, tapi yang kutahu ... ukuran sepatu dari tapak kaki tersebut adalah 39-40. Setelah watu tapak, kami diberitahu Mas Alias petilasan lain di Kajar, yaitu Gua Kajar, Watu Meja serta Pesanggrahan Mbah Ponyo. Karena Gua dan Watu Meja letaknya di atas bukit, maka kami memilih untuk ke Pesanggrahan mbah ponyo, di lokasi yang juga sumber air tersebut, ada sebuah cungkup yang berisi lingga yang ada relief prasastinya serta beberapa batu yang mungkin adalah jaman prasejarah. Tak ada papan cagar budaya disana, namun sepertinya terdapat bangunan kolonial sebuah tandon air di atas tanah. Yang unik dari Kajar sendiri adalah gapura masuk-nya seperti gapura-gapura di daerah mojokerto, mojopahit banget deh.


Ratanavana Arama, Sendangcoyo
Setelah dari KAJAR kami lalu menuju ke Sendangcoyo: Vihara Ratanavana Arama yang rencananya menjadi lokasi menginap dari kami. Kris sudah kontak ke Vihara ini, kalau kami akan datang berdelapan, sehingga kitapun sudah disiapkan ruang yang berkapasitas 8 tempat tidur. Sekitar 50 meter sebelum Vihara, sebetulnya terdapat makam Putri Campa (?), namun kebetulan kami tak sempat ketemu juru kunci pada malam itu, sementara pagi harinya ... daya tarik Dasun membuat kami harus melewatkan makam itu. Kami disediakan makan malam dan makan pagi di Vihara ini, terimakasih kepada pengurus Vihara yang sudah sudi kami inapi. Vihara ini kemudian terlihat sangat cantik ketika pagi tiba, tepat di atas lokasi kami tidur, berturutan ke atas banyak patung-patung yang menceritakan mulai kelahiran Budha, sampai ia wafat dengan patung Sleeping Budha yang panjangnya 14 meter tersebut. Di Puncak bukit sekitar 200 meter dari Sleeping Budha, kita akan menjumpai Candi yang mirip Borobudur: Candi Sudhammo Mahathera, merupakan makam dari Bante Sudhammo pendiri Vihara tersebut. Dhammasala dari Vihara ini juga sangat cantik, dan kamipun berdoa menurut agama masing-masing di Dhammasala tersebut.


Kopi Lasem
Oh ya, pada malam kita menginap di Vihara kami sempat turun untuk melihat Dasun, namun karena gelap KOPI LASEM kemudian lebih menarik 4 laki-laki kesepian ini di malam purnama. Atas bantuan pak alias di Dasun, Venus Warung Kopi Dasun di dekat muara Dasun menjadi jujugan kami. Di Warkop ini kami mulai mengenal istilah Kopi Lelet, yaitu meleletkan rokok dengan ampas kopi, bisa pakai tangan, sendok dan juga benang. Tulungagung menyebutnya sebagai Kopi Nyethe. Nah ritual mimik kopi ini juga kami lakukan menjelang kita pergi dari Lasem, tepatnya di Warung Kopi Pak Ndut yang terletak di seberang Klenteng Gie Yong Bo. Aku yang memang tak begitu suka kopi akhirnya memesan Es Kopi di warung pak ndut, ketika di Warung Kopi Venus aku lebih sibuk menikmati purnama dan siluet penjualnya dan tak pesan kopi.


Dasun
Purnama masih terlihat di pagi hari ketika kami harus pamit dari Vihara, dan seperti anak kecil kamipun menyanyikan "DASUN DAYI, DASUN DAYI ah ah" (dalam irama dangdut koplo khas pantura) karena sudah kebelet blusukan ke Dasun. Klenteng Cu An Kiong yang adalah Klenteng tertua di Lasem menjadi tujuan awal kami. Beberapa saat kami menikmati klenteng itu, termasuk melihat relief orang yang mengusung kayu di salah satu atap ... menurut pak Alias klenteng tersebut, itu adalah simbol hukuman dari koruptor kayu di Lasem. Selain cuaca cerah dan langit biru, keberuntungan kami adalah Pak Muklas Alias, penjaga rumah keluarga Liem Sing Kiok. Beliau sangat welcome pada kami, untuk blusukan ke dalam rumah yang lagi direnovasi tersebut, di rumah yang konon menjadi salah satu lokasi syuting Ca Bau Kan itu, terdapat makam leluhur keluarga, dan mungkin tinggal satu-satunya makam cina yang ada di halaman rumah, setelah itu kami juga dipersilahkan untuk blusukan ke rumah no 43 Soditan serta rumah Liem Ing Djiew yang kini kosong dan (konon) berhantu, rumah itu ditinggali oleh penjaganya dan juga sering digunakan oleh sopir-sopir truck untuk bermalam. Setelah makan siang, kami menyempatkan mampir ke Klenteng Poo An Bio Karangturi serta Klenteng Gie Yong Bo di Babagan. Klenteng terakhir ini didirikan untuk menghormati Adipati Lasem yang gugur pada masa perjuangan melawan kumpeni, Raden Ngabehi Widyadiningrat (Oei Ing Kyat) serta Raden Panji Margono, bahkan ada altar raden panji margono di Klenteng ini. Dari imajinasi yang kubawa dari jogja, semuanya buyar begitu sampe Lasem. Tak ada gadis-gadis cina yang cantik, atau riuh suasana pecinan seperti dalam film2 kungfu yang sering kulihat. Pecinan Lasem hanya tinggal orang-orangtua yang (sepertinya) kesepian di rumahnya sendiri. Lasem: The Lost Chinatown.


Makam Masjid Raya Lasem
Kuliner dan Batik Lasem seharusnya juga menjadi sasaran kami meski sekunder, namun selain kopi kami tak sempat menikmati makanan khas Lasem, kamipun hanya makan siang Soto Kudus (lagi) di kompleks masjid raya. Wisata belanja Batik pun juga hanya dilakukan di kompleks masjid raya, batik tulis yang cukup cantik hanya dihargai mulai 145rb, Batik Lasem sepertinya juga takluk oleh Batik Lasem bikinan Laweyan ... yang jutaan itu, duh! Nah ketika yang lain sibuk mencondro Batik Lasem, aku menyempatkan diri blusukan di makam-makam yang ada di sekitar masjid raya. Beberapa cungkup ada di sekitar Masjid, dari nisannya juga bervariasi ada yang batu andesit, kayu, marmer hingga keramik, ada juga yang dihiasi tanaman. Dan menjelang kita pergi keluar Lasem, sekitar 10an bis besar dari magelang tampak sedang mengatur parkir di tepi jalan, mereka ziarah di Masjid Raya LASEM.


Tasikagung
Keinginan melihat muara penuh perahu tak sempat kami lakukan di Dasun, maka kamipun mencari lokasi lain ... bukan, kita tak ke Pantai Kartini, kita menghindari keriuhan. Dan Tasikagung kemudian menjadi jujugan kami, apalagi Klenteng Tjoe Hwie Kiong yang didedikasikan untuk Makco Thiansiang Seng Bo (Dewi Laut) ada di dekatnya. 2 ibu yang sedang mengasapi ikan Pare membuatku teringat Iwak Pe mak Yeye di WOnokromo. Setelah menikmati tepi pantai utara dengan perahu-perahu yang bersandar, kamipun menuju Klenteng. Disini Simbah Mahatma dapat order motrek anak-cucu pengurus klenteng, transaksi alamat pun selesai dilakukan (ingat janjimu lho mbah). Di lokasi inipun, batere kedua-ku habis. Akupun berubah menjadi turis narsis he he he. Senja mulai memanggil ketika rumah mulai terbayang. Ayo Pulang! Dan kamipun segera menuju jogja melalui Purwodadi, tempat pemain legendaris berasal: Tugiyo! alias Maradona dari Purwodadi. Kami sempatkan makan malam di Galabo Solo, bergabung dengan anak-anak muda ... cieee. Langit semakin gelap dan gerimis tiba dalam perjalanan sejak Purwodadi-Solo, pulang ke Jogja setelah 2 porsi kupat tahu dan 3 wader-welut untuk kami berlima. Setelah nunut pipis di rumah simbah mahatma serta menge-drop pak Putu di Sangkring, kami bertiga menuju Turi! Kris keluar Turi menuju Minomartani tepat pada pukul 22.25 ... dan rebahlah aku kemudian di Jogja Utara sambil terbayang The Lost Chinatown.


dan ... Sampai Ketemu di trip berikutna ...


oleh Cuk Riomandha pada 30 Mei 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar