Sabtu, 28 Juli 2012

Mengingat Sang Kudus



Malam bersimpuh purnama
Kalam meluruh sempurna
Menunduk diri aku berkaca
Meringkuk hati aku percaya


Pada senyum-Mu, 
di sepertiga malam
aku bertahmid: لحمد لله


*mengingat Masjid Menara Kudus, 20 April 2012

Foto & Teks: by Cuk Riomandha
Turi Sleman, 27 April 2012

Setangkai Daun Bodhi



Kudengar Adzan dari balik Vihara
Kucium aroma wangi dupa, di antara senyum sahabat

Kuingat wajah perempuanku di rumah
Kan kuselipkan setangkai daun bodhi, di sudut kerling kerudungmu


*Text & Foto by Cuk Riomandha
Sendangcoyo Lasem & Turi Sleman
21 April & 27 April 2012

------------------------------------------------
Pohon bodhi (Ficus religiosa L., suku ara-araan atau Moraceae) adalah pohon yang dikenal dalam agama Buddha sebagai tempat Sang Buddha Gautama bersemedi dan memperoleh pencerahan. Pohon ini dipandang suci oleh penganut agama Hindu, Buddha, dan Jainisme. (wikipedia)

Kawan Sam, situne memang Organik Sekali!


Saya mengetahui dan kemudian (terpaksa) berkenalan dengan Samuel Indratma kira-kira adalah antara 2000-2005 (saya lupa tepatnya kapan). Saat itu ia masih bergerilya dengan Apotik Komik-nya, saya bahkan sempat mengoleksi beberapa edisi-nya (duh nang endi saiki, yo?). Saya bertemu dengan beliau-nya di Nandan, markasnya Primanto Nugroho, tempat saya juga mencari sesuap nasi saat itu. Sebelum itu, nama Ade Tanesia justru lebih popular di tempat saya nongkrong di UGM. Antropolog-wati yang akhirnya terjebak menjadi pasangan hidup Samuel Indratma. Guyonan Kabudayan Lor dan Kidul untuk menyebut gerombolan UGM dan ISI sering muncul saat itu, “Kawan Sam” (demikian saya suka menyebutnya) dan Agung Leak seingat saya adalah orang yang sering mempopulerkannya untuk sekedar mengolok-olok orang seperti Kirik Ertanto, Primanto Nugroho dan (mungkin, tentu saja) Ikun SK serta Kris Budiman.

Selepas itu, saya hijrah bekerja di luar Jogjakarta (2006-2009), Samuel Indratma pun tinggal sejarah dalam ingatan saya. Hingga kemudian teman saya di dunia maya (multiply) si “Kura-kura Biru” tiba-tiba mampir ke rumah saya di Jogja Utara. Ia menyebut bahwa ketika di Jogja ia tinggal di rumah Samuel Indratma. Ia pun kemudian bercerita tentang kiprah Kawan Sam dengan “orkes moral”-nya memuralkan masyarakat dan memasyarakatkan mural. Saya akhirnya tahu siapa orang dibalik gambar-gambar yang selalu saya nikmati dalam temaram senja ketika kereta yang membawa saya pulang, melewati Stasiun Lempuyangan hingga kemudian Tugu!

Saya mulai menyadari betapa mintilihir-nya Kawan Sam buat Jogjakarta, sejak itu. Ditegaskan kemudian menjelang akhir 2009, selepas saya mulai kenal dengan Putu Sutawijaya (yang kemudian tergendam dengan BOL BRUTU). Sebagai salah satu “orang penting” di Bienalle Jogja Sepuluh, ia merespon dengan santai beberapa gugatan. Gayanya tak berubah, sama seperti ketika pertama saya ketemu di Nandan: santai, intonasi ceria, tapi sanggup “menggok” ha ha ha. Saya kira Kawan Sam memang berpotensi menjadi orang yang “berbahaya”, semacam ideolog. Ini dibuktikannya dengan kiprahnya di FMI bersama Encik Krishna dan kawan-kawan dengan “kampanye” melalui Facebook. Apalagi setelah ia potong rambut, bersama FMI ia sanggup membuat “Kabudayan Mletho-SeloAdiluhung” dan menggilas “Kabudayan Jogja Lor” yang terlalu sibuk dengan urusan mageri kampus. Saya kira menjelang 2014 saingan FMI tinggal FPI dan BOL BRUTU, ha ha ha ha.

Saya memang kehilangan pembukaan pameran “Andap Asooy”, yang artinya saya kehilangan keceriaan dan kehangatan nan pliket dari para sahabat FMI dan (tentu saja) BOL BRUTU. Sehari kemudian, menjelang Azan Maghrib saya akhirnya bisa berziarah ke Sangkring Art Project, untuk wisikyang saya dapatkan secara syahdu dalam kesendirian di antara karya Kawan Sam. Kecurigaan saya soal betapa Ideolog-nya dia belum terbantahkan. Kawan Sam begitu menguasai soal “place dan space” untuk memajang karya. Kehangatan rumah tanpa atap dengan semua pintu terbuka, sepasang kursi panjang di “halaman belakang” seolah ingin menujukkan urusan keterbukaan serta dialog kepada liyan. Wajah-wajah yang terpajang di seantero ruang, seolah mengajari kita soal kehidupan sehari-hari. Kotak-kotak setengah terbuka berisi wajah-wajah dan berbagai “alat kehidupan” pun demikian. Seolah berkisah soal tips bagaimana kita bertemu dan merespon berbagai wajah yang kita temui sehari-hari. Kalaupun ada yang menggangu buat saya adalah foto-foto yang berisi karya yang diletakkan selepas tangga, toh itu juga manusiawi dan lumrah adanya.

“Disinyalir cara berpikir saya itu seperti puzzle. Kadang nggak genap. Pangkal di mana dan ujung di mana itu saya abaikan,” demikian ujar Kawan Sam. Saya kira ini hanya sekedar eufimisme saja, karena hasil wisik dari ziarah yang saya lakukan membisikkan kalau Samuel Indratma adalah orang yang sangat berbahaya, ideolog yang selo!

Kawan Sam, situne memang Organik Sekali! …. Tabik !
Salam sungkem … Andap Asooy

Jogja Utara, 18 April 2012

Foto & Teks:
Cuk Riomandha
(Bukan Pengamat Seni)

Hai ... Senja yang basah



Hujan deras mengguyur buku-buku hatiku
Siapakah yang menyelinap pergi
dan membawa pelangi dalam keranjang?

Kumandang Adzan Ashar memastikan datangnya senja
yang sedari tadi telah mengendap-endap
dan diam-diam melipat mentari di balik cakrawala

Hai Senja yang basah, kita bersua lagi!

Jogja Utara, 030412
Foto & Text: Cuk Riomandha

INI URUSAN LINGGA YONI*


Mesti jawab apa
Jika anak kecil bertanya
"Bagaimana caranya manusia lahir di dunia?"


Sampai saat ini
Ayah-ibu selalu dusta
Jawabannya tak jujur membuat anaknya penasaran


Jawablah dengan bestari
"Orang bunting bukan cacingan."
Katakan bahwa yang bunting
"Sebab Tuhan yang kuasa."


Kalau toh tak puas
Jawablah dengan contoh soal
Bilang saja begini, "Ini urusan lingga-yoni."


===============
*Yapi Panda Abdiel Tambayong (Japi Tambajong) atau lebih dikenal dengan nama pena Remy Sylado lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945.
"Lingga dan Yoni," oleh Remy Sylado, 1983 diambil dari:

Buku yang dirilis 2010 ini berisi lima naskah drama yang menantang pemahaman kita mengenai moral dan nilai-nilai. Dengan cerdas dan kocak, Remy mengaduk-aduk masalah seksualitas sampai etika kekuasaan; dari soal sejarah bahasa Indonesia sampai makna kemerdekaan. Buku ini juga dilengkapi empat keping CD berisi 64 lagu karya asli Remy Sylado. (sinopsis oleh penerbit KPG)

Foto 1, Penampungan BCB Turi, Sleman - Alin & Zora
Foto 2, Candi Ijo - Pande Ketut Taman

diunggah di fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 3 April 2012

Selamat Tidur, sayangku!



Merecap sepi 
Menyayat perih

Kau seka airmatamu, di kaki kananku ...
Aku simpan airmataku, pada tiap helai rambutmu ...

Malam sedang merindukan gerimis,
seperti pemulung merindukan nyenyak ...

Selamat Tidur, sayangku ...

Jogja Utara, 250312

*Ilustrasi: Kalinda Almaxaviera
diunggah di fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 25 Maret 2012

Kisah Cinta dalam Sepiring Rawon


Sejuta Kabut turun semalam
mengetuk-ngetuk jendela kamarku
meratap melolong lalu menjauh
(Abah Iwan)

Gerimis datang semalaman, tapi kami melewatkan malam demi pagi
beberapa hari lalu aku dan istri sudah berjanji untuk berkencan
susur sungai oya berdua mencoba belajar mengayuh biduk
Alin dan Zora juga tlah setuju untuk membiarkan kami berduaan
Cinta itu tak terlampau rumit

Hei dik, Sepasang wangwung di lubang kunci
Hei dik, Getar sayapnya ke hatiku
(Leo Kristi)

Sarapan telah tandas pagi tadi dan kami bersiap karenanya
Salam cium serta senyum dari Alin dan Zora menyempurnakan pagi kami
Gunungkidul telah menanti kencan kami berdua dengan antusias
Aku melajukan kereta besi dari Jogja Utara menuju Selatan
Sebuah perjalanan Cinta

Aku hanya ingin mencintaimu
seperti kisah syair kecil
mendekap nyanyian jiwa
(Mukti-Mukti)

Hujan turun sejak Wonocatur, kami berjubah, antusias tetap hadir
Pada satu belokan sebelum belik Patuk kami tergelincir
ketika akan mencoba melewati bis dari sisi kiri, pasir menghadang
Roda belakang bis bergeram melintasi persis di tepi tempat kami rebah
kami saling mencari, sama-sama takut kehilangan ... 
kami berdua menggemakan Cinta melalui istighfar dan tahmid

Aku tidak tidur, Manis
hanya merapatkan mata
pada bantal kamar yang gelap
(Ary Juliyant)

Orang baik ada dimana-mana, kami di Puskesmas Patuk sejenak kemudian
Aku berbaring di "Ruang Super Pell", pasir bercampur kulit dibersihkan
Tiga jahitan menutup luka yang sedikit menganga di lutut
Istriku hanya lecet seukuran koin di lututnya, Alhamdulillah ...
Pada darah-darah itu mengalir Cinta

Kasihku jika dari awan yang kelabu
titik hujan membawa melodi
akulah milikmu
(Syech Abidin, Artur Kaunang, Sonatha Tanjung)

Jejak darahku baru saja dibersihkan di lantai
Kami memutuskan menuju Jogja Utara, aku masih bisa di depan
Dua Mawar dan Jeruk Limau masih sempat kami beli di Jakal
Biarlah kami cari telinga motor kami lain hari ...
Rumah: kami kemudian bercumbu dengan "Cinta dalam Sepiring Rawon"

Cinta kamipun berlanjut ... 
Perjalanan akan dimulai lagi dari rumah
Terminal Cinta kami ...
Terimakasih, Tuhan atas hari ini ...

Jogja Utara, 1 Saka 1934

diunggah di fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 23 Maret 2012

Tentang Kabut ...



Seperti hidup,
kabut hadir secara misterius
Seperti hidup pula,
menyibak kabut adalah lumrah

Menikmati Kabut:
membiarkan ia datang dan pergi dengan misterinya
adalah Hidup itu sendiri

cuk - jogja utara 26 Agustus 2010
ditulis saat mengenang 100 hari kepulangan Papa,
sambil mendengarkan lagu Sejuta Kabut dari Abah Iwan

*ilustrasi foto: Babadan Dukun Magelang

diunggah di fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 20 Maret 2012

KATARUNG ... Curhat Jreng Jreng


Ketika pertamakali membaca undangan pentas KATARUNG, ingatan saya melompat ke masa kecil di Surabaya, ketika saya mengagumi petikan gitar, ukulele dan suara parau tetangga sebaya yang menyanyikan “Bandar Jakarta” dan “Sinanggar Tulo”. Saat itu era 1980an, saya masih SMP dan banyak mendengar lagu-lagu dari Iwan Fals atau Doel Sumbang ketika nongkrong di gardu ronda. Hingga pada suatu saat, Ibunda marah-marah ketika mendengar Doel Sumbang menyanyikan lagu Juminah. “Lagu macam apa itu?”, seru beliau geram. Sejak saat itu sambil terus mendengarkan Doel Sumbang secara sembunyi-sembunyi, saya diperkenalkan oleh Ibunda pada lagu-lagu dari Leo Kristi, Gombloh, Franky & Jane dan Ebiet G. Ade. Tentu saja Leo Kristi sangat membekas karena ketika masih SD, ibunda pernah “menyiksa” saya dengan mengajak berkeringat kepanasan menonton pentas-nya di Gelora Pancasila Surabaya. Gombloh … siapa orang Surabaya yang tak mengenalnya? Penyanyi bohemian yang suka membagi-bagikan bh dan cd baru untuk para penghuni Dolly. Ketika SMA saya pernah memiliki grup band, sebelum pentas pertama Kantata Takwa di Jakarta, grup saya sudah ditonton ribuan orang di Tambaksari. Saat itu kami membawakan lagu Bento, Cinta dan Dirimu (SWAMI dan Gank Pegangsaan). Tentu saja ribuan orang datang saat itu dari berbagai penjuru Jawa Timur, karena kami adalah band pembuka dari Ceramah Zainuddin MZ (alm) … hi hi hi


Pengembaraan apresiasi musik saya semakin luas ketika saya hadir di Jogjakarta pada tahun 1992. Pentas Sawung Jabo di Gedung Pusat pada 17 Agustus 1992 adalah awal saya terjebak semakin dalam. Apalagi kemudian lagu-lagu jenaka dan Simon Garfunkel sering saya dengar dari rombongan Sastro Muni seperti Budi Ngen, Cak Ut, Agung Gondrong, Kunh, Kasut, Lik Cung, Gati Andoko, Melur cs … termasuk juga goyang reggae Krishna Encik bersama Bale Bengong-nya. Beberapa kali saya memburu pentas-pentas sejenis di sudut-sudut Jogja bersama Aant Subhansyah, misalnya, ketika menikmati duet legenda yang sudah almarhum, Sapto Raharjo dan Inisisri yang membawakan komposisi Lingkaran di Joglo Jago. Bersama Aant, Fifi dan Lono Simatupang, saya pernah memburu pentas Muriah Budiarti, Ya Soedah, Acapela Mataram, Kua Etnika, Untung Basuki dan Kelompok Sabu-nya hingga ke Solo. Beberapa pentas di Malioboro, membuat saya mulai mengenal musik dari Kelompok GIRLI, Classical, Soto Sulung, Kenyut dengan Kubroglow-nya, Anto Baret, Mas Anies, Sujud Kendang serta tentu saja KPJ Malioboro.


KATARUNG seolah mengajak saya reuni. Pentas dimulai dengan menyanyikan Indonesia Raya dipimpin oleh Mukti-Mukti, penyanyi yang paling saya tunggu malam itu. Dengan sistem undian, para penampil bernyanyi secara bergilir. Giana Sudaryono penyanyi paling cantik malam itu, membuka acara dengan lagu-lagu cinta yang jujur kepada orang-orang terdekatnya, suara dan permainan gitarnya secantik orangnya. Penampilan kedua adalah penampilan sangar aktor spesial antagonis di sinetron-sinetron: Egi Fedly, lagu, lirik dan suaranya sangat syahdu dan lembut, sesekali suara harmonikanya menimpali asyik sekali. Biar sangar tapi romantis he he he


Penampilan berikutnya adalah Kenyut Kubro, sangat khas dengan lengkingan suara “iye .. iye”-nya, asyik sekali. Doni Suwung menyusul kemudian, suara parau-nya mengingatkan pada Sawung Jabo, orang yang juga sempat berkolaborasi pada salah satu lagunya. Kemudian Mukti-mukti tampil dengan gaya khasnya. Lagu-lagu Pak Kepsek dari kelas AKSAKUN (Aksara Kuno)-nya Sinta Ridwan ini memang sedang sering saya dengarkan akhir-akhir ini, setelah sebelumnya pernah saya nikmati ketika saya mulai “mengenal” beliau di Multiply sekitar 2008-2009. “Menitip Mati” adalah salah satu lagu favorit saya, meski sebetulnya saya menunggu “Kemudian Aku Mati Sebagai Anjing”.


Sang Legenda dengan teriakan yel-yel dan hentakan kaki saat bersama Kelompok Sabu hadir kemudian: Untung Basuki. Sedikit masalah teknis dengan pergantian beberapa gitar, tak memudarkan kesungguhan beliau atas pilihannya sebagai penyanyi "Puisi Balada". Usia boleh bertambah, tapi energi bernyanyi tak berubah sejak pertama kali saya melihatnya pada 90an. Ary Juliyant menyusul kemudian, menggesek gitar, meniup 2 seruling, hentakan tamborin di kaki serta permainan gitarnya, sudah menunjukkan beliau adalah soloist yang multitalenta. Lengkingan suaranya yang tanpa cacat adalah impian banyak vokalis. Ia adalah penyanyi paling interaktif malam itu dengan penonton, sangat menghibur. Selanjutnya, sepertinya bukan kebetulan kalau Krishna Encik menjadi penutup KATARUNG, rektor FMI ini adalah penyanyi dengan massa terbanyak. Pak Rektor yang hitam manis ini menyanyikan beberapa lagu syahdu mendayu yang membuat hati menjadi rindu. Saya bahkan hampir mbrebes mili ketika ia menyanyikan lagu untuk Gus Dur sebagai penutup. Semoga sukses dengan proyek Low Budget-nya Pak Rektor !


Tentu saja 15 Maret 2012, akan selalu menjadi bagian dari “sejarah tontonan” saya. Sejak membaca undangan beberapa hari lalu, saya sudah minta ijin kepada istri dan anak saya untuk pulang malam, bahkan jika perlu nggak pulang demi Katarung. Namun demikian ada tiga hal yang agak kurang sreg buat saya: (1) Keberadaan kursi sofa dan cara meletakkan karpet panggung (2) lighting yang di awal pertunjukan agak cukup pelit untuk fotografer (3) Simbah Siter yang tidak dijadikan “bagian utuh” dari pentas KATARUNG. Tapi untuk pentas yang pertama, sudah sangat luar biasa. Semoga pada KATARUNG#2 bisa lebih ciamik lagi, dan semoga saya juga siap hadir memburunya.

Buat saya selalu ada ruang di hati saya untuk mengapresiasi pementasan seperti KATARUNG, seperti juga dari Ully Sigar Rusady, Rita Rubby Hartland, Elly Sunarya, Abah Iwan, Sandy Sandoro, Anda dan lain-lain, siapa tahu mereka akan hadir di KATARUNG berikutnya. Terima Kasih KATARUNG !


Yogyakarta, 16 Maret 2012
Cuk, tukang potrek dan penulis pocokan untuk Facebook :-p

------------------------------------------------- 
"KATARUNG" Soloist Show, 15 Maret 2012 di Omah Panggung Sudaryono

'KATARUNG' adalah dua frasa, antara "Kata" dan "Tarung" yang dapat bermakna: "Kata" adalah syair dalam sebuah lagu yang terungkap dalam karya, dan "Tarung" adalah sebuah ruang pergesekan dan dialektika kreatifitas kompetitif yang asyik, nyedhulur (istilah Jogja) sekaligus menjadi wadah untuk saling menjunjung harkat, martabat dan harga diri kemanusiaan manusia melalui bahasa universal musik dalam rasa dan cinta. Dengan demikian, "Katarung" adalah ulak-alik antara teks dan simbol, menyatu dalam sebuah rasa dan makna yang eksotis. 'Katarung' juga dapat dimaknai sebagai simbol geliat kemapanan kreatifitas, kemapanan musikalitas dan setumpuk dialektikanya, hingga kemapanan sosial yang semu. Fatamorgana kebudayaan yang bersifat massif dan terjebak ke dalam sebuah arus besar kebudayaan dunia yang rapuh, keropos dan tak mengakar ke bumi manusia. Salam, MUSIK Bergeraklah Selalu !

(dikutip dari Undangan)

Silahkan cek foto-foto pementasannya di: 
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10150593163306751.376413.598501750&type=1

diunggah di fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 16 Maret 2012

Catatan Kecil dari Museum Mpu Tantular


Setelah melalui proses perjuangan yang panjang, akhirnya pada Selasa 18 Oktober 2011 pukul 11.40 WIB, Pramono Anung mengetok palu pengesahan pada Sidang Paripurna DPR yang dihadiri seluruh fraksi dan Komisi VIII sepakat mengesahkanConvention on the Right of Persons with Disabilities (CRPD/ Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas) menjadi undang-undang.

Ratifikasi tersebut artinya Indonesia menyepakati CRPD, termasuk menyetujui Pasal 1 tentang Tujuan dari Konvensi:“Tujuan dari Konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara penuh dengan setara oleh semua orang penyandang disabilitas, dan untuk memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka”

Salah satu hak yang wajib dipenuhi negara adalah seperti yang termaktub pada Pasal 21, kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta akses terhadap informasi. Pada bagian (a): (Negara) Menyediakan informasi yang dimaksudkan untuk konsumsi masyarakat umum kepada penyandang disabilitas dalam bentuk yang dapat diakses dan teknologi yang tepat bagi berbagai jenis kecacatan pada waktu yang tepat dan tanpa adanya biaya tambahan; (b) (Negara) menerima dan memfasilitasi penggunaan bahasa isyarat, Braille, komunikasi augmentatif dan alternatif, serta semua sarana, cara dan bentuk komunikasi lain yang dapat diakses, berbagai yang dipilih oleh penyandang disabilitas dalam interaksi formal.

Informasi akan sejarah adalah salah satu hal yang juga HARUS bisa disediakan oleh Negara, dan Museum Mpu Tantular sudah memulainya dengan Ruang Tuna Netra. Di ruang ini, tersedia replika beberapa artefak yang bisa dijamah dan diraba serta diberikan keterangan dengan huruf Braille. Tentu saja ini belum cukup, isu bangunan yang bisa diakses oleh seluruh penyandang disabilitas pun belum memadai karena misalnya pengguna kursi roda masih kesulitan mengaksesnya, belum hal lain, misalnya soal penguasaan bahasa isyarat dan tambahan informasi cetak lainnya.

Dengan segala ketersediaan perangkat undang-undang, sumberdaya manusia (arkeolog, arsitektur, psikolog, aktivis difabel dll) saya kira masih mungkin untuk duduk bersama serta mulai bekerja membangun desain fasilitas yang aksesibel bagi penyandang disabilitas, tak hanya di museum namun juga di Bangunan Cagar Budaya lainnya, tanpa kita harus melanggar UU-BCB dengan merusak Bangunan Cagar Budaya tersebut. Informasi yang memadai melalui berbagai media cetak yang aksesibel juga menjadi salah satu metode yang bisa terus direproduksi.

Jadi kehausan informasi akan sejarah bangsa ini, hasrat untuk blusukan, serta keinginan narsis di keindahan Bangunan Cagar Budaya tak hanya milik BOL BRUTU atau Aktivis Heritage saja, tapi juga masyarakat umum dan tentu saja … seluruh Penyandang Disabilitas !

Jadi mari berpikir untuk “Disability Mainstreaming” mulai sekarang !


diunggah di fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 15 Maret 2012

Dusun Pandes: Mbah Karto dan Mbah Karjiyem, I Love You Full !


Sesungguhnya sejak beberapa waktu lalu, saya ingin mengajak Alin dan Zora sowan ke kampung Pandes Panggungharjo Bantul. Ihwalnya, sejak Alin khusyu’ membuat mainannya sendiri dengan barang-barang yang ada di Rumah. Akhirnya, Sabtu 25 Februari 2012, saya, istri, Alin, Zora dan Bibi Henny sampai juga di dusun Pandes.

Beberapa media telah memberitakan tentang dusun Pandes, dimana banyak simbah-simbah yang membuat mainan tradisional berbahan kertas dan bambu, seperti wayang, othok-othok, sangkar burung atau kipas lipat. Media seperti Kompas atau Kick Andy pun sudah meliputnya.


Piramida Sewon adalah ancer-ancernya, karena dusun Pandes persis di sebelah Baratnya. (Entah apakah Andi Arif cs sudah pernah ke Piramida itu atau belum). Kami masuk lewat belakang dusun. Dari simbah-simbah nongkrong yang kami tanya, kamipun dirujuk untuk mencari rumah Mbah Atmo, Mbah Karto atau Mbah Rejo. Siapa mereka? Mereka adalah tokoh utama dari legenda mainan tradisional di dusun Pandes ini, merekalah yang membuatnya.

Kami hanya sempat beranjangsana ke rumah mbah Karto yang bersama anaknya mbah Karjiyem secara rutin memproduksi mainan tradisional berbahan kertas. Dahulu, simbah-simbah ini juga berjualan keluar masuk pasar tradisional mulai Gamping sampai Piyungan. Kini mereka membuat sekedar untuk pesanan saja, selain penjual keliling katanya anak-anak ISI adalah konsumennya. Selain untuk keperluan pameran mungkin juga digunakan dalam rangka tugas kuliah, entahlah.


“Mbah niki wayang nopo?” istri saya bertanya kepada mbah Karto
“Simbah mboten pati miring, radi keras mawon,” sang cucu yang menemani kami mengingatkan
“Mbah menika wayang nopo?” istri saya mengulang pertanyaan kepada mBah Karto
“Gatotkoco,” jawab mbah Karto lirih
“Lha menawi menika wayang nopo?”, istri saya kembali bertanya dengan suara keras
“Gatotkoco,” jawab mbah Karto kembali
“Lha kok benten, mbah?” istri saya bertanya sambil tersenyum kecil
“Kulo mboten ngerti, niku nggih wayang … ngaten,” seru mbah Karto sambil tertawa
Kamipun kemudian tertawa berjamaah, dipimpin mbah Karto …

Mbah Karto ini usianya diyakini sudah lebih dari 100 tahun, anaknya yang tertua mbah Karjiyem usianya sudah sekitar 70an. Ia memiliki 7 anak, 1 sudah meninggal. Mbah Karjiyem sendiri tidak menikah, beliau adalah orang dengan disabilitas: Tuna Rungu. Mbah Karjiyem bisa berbicara cukup lancer, meski tidak banyak. Kini mbah Karjiyem lah yang meneruskan produksi mainan kertas ini.


Mainan-mainan seperti Wayang, Othok-othok, Kipas Lipat, Payung Kertas produksi mbah Karjiyem dan mbah Karto ini, masing-masing perbijinya dijual seharga seribu rupiah!

 Saya kira ini bukan soal industri, wisata, komersial dan sejenisnya. Tapi ini adalah soal CINTA! Ini soal cinta mbah Karto dan mbah Karjiyem pada dunia mainan dan anak-anak, seribu rupiah hanyalah sekedar “transformasi cinta” kepada mereka yang tertarik padanya. Mbah Karjiyem juga menyempatkan diri mengajari kami membuat Payung Kertas dan Sangkar Burung.


Tulisan ini pun bukan untuk menggugat soal marginalisasi permainan tradisional ditengah serbuan mainan plastik murah(an) dari Negeri Sabrang. Tulisan ini juga tidak bermaksud menggugat soal ancaman punahnya mainan tradisional jika simbah-simbah itu sudah berada di surga. Jaman pasti berubah, ada yang akan hilang dan ada yang akan hadir. Pilihan-pilihan semakin hari pasti lebih bervariatif, termasuk soal mainan anak-anak.

Tulisan ini hanyalah soal Cinta. Cinta saya kepada Alin dan Zora, mengajak mereka membuka ruang di hati mereka bahwa selain boneka Barbie, film-film di TV ada juga mainan atas nama cinta ala mbah Karto dan mbah Karjiyem. Pilihan tetap ada pada Alin dan Zora, kalaupun nantinya mainan seperti ini sudah hilang, minimal mereka tetap mengingatnya di dalam hati, tentang hari ini.


Hari ini memang terasa sempurna, meski hujan deras mengguyur Jogja Utara, disertai padamnya listrik. Ya berkat cinta mbah Karto dan mbah Karjiyem, Alin dan Zora riang bermain wayang ditemani nyala lilin. Sambil memegang wayangnya Zora grememeng bernyanyi “lagu-lagu Islami” yang ia peroleh di sekolahnya. Saya kemudian menggunakan wayang tersebut untuk menakut-nakuti mereka dengan suara ala Suzanna, kemudian Alin dan Zora bersembunyi di bawah selimut sambil tertawa ngakak …

“Ayah, mau cerita apa?” tanya Alin
“Semar royokan mie ayam dengan Bagong!,” jawab saya
Alin pun kemudian mendalang, “Woi Semar, mie ayam ku ngendi?”
“Lho kok Bagong gak sopan sama ayahnya?” saya mengingatkan
Alin hanya "mringis kelinci" sambil meneruskan lakon-nya.
Saya menahan tawa melihat adegan Petruk memarahi Semar, supaya tidak merebut mie ayamnya Bagong.

Ah … tak lama berselang Alin menyudahi “pentas”-nya karena sudah ngantuk
Ah … tak lama berselang Listrikpun menyala dan mereka kembali ke TV
Ah … tapi cinta mbah Karto dan mbah Karjiyem telah hadir di keluarga saya hari ini

Nuwun Mbah, I Love You Full !

diunggah di fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 25 Februari 2012

Antara Soneta, Neruda dan Rhoma Irama ... hanya sekedar Fiksi



Pada sebuah senja, di sebuah rumah petak, di tepi sungai Ciliwung di sudut Jakarta. Gerimis telah usai saat itu. Seorang laki-laki muda, yang punya cita-cita menjadi seniman besar sedang asyik menikmati pisang goreng yang baru saja dibelikan istrinya di ujung gang.

Tak beberapa lama ia terkesiap dengan tulisan yang ada di kertas pembungkus pisang goreng itu. “Aha … ini puisi yang cantik sekali!”. Pelan-pelan ia membuka kertas kumal dan berminyak itu, sehingga ia mulai bisa melihat hurufnya lebih jelas. Kemudian iapun mulai bergumam lirih, membaca tulisan yang ada di kertas tersebut:

“Pablo Neruda – Soneta XVII – Alih Bahasa oleh Kris Budiman

Aku tak mencintaimu seakan kau mawar rugosa, ratna cempaka,
atau panah anyelir yang menebar bara:
Aku mencintaimu bagai mencintai segala yang samar,
penuh rahasia, di antara bayang dan jiwa.

Aku mencintaimu bagai tanaman mandul, namun membawa
cahaya bunga, tersembunyi, di dalam dirinya,
berkat cintamu, aroma yang dahsyat bangkit
dari bumi dan hidup dalam suram tubuhku.

Aku mencintaimu tanpa tahu bagaimana, kapan, atau dari mana,
Aku mencintaimu lugas tanpa masalah atau kebanggaan:
Aku mencintaimu begini kerna aku tak tahu cara lain,

kecuali ini: ketika aku tiada, kau pun tiada,
begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku,
begitu dekat sehingga matamu terpejam bersama mimpi-mimpiku.“


Tak lama berselang, laki-laki itu mengambil Gitar tua yang ia gantung dekat jendela, kemudian ia mulai mendendangkan sebuah lagu yang sudah lama ia ciptakan dan selalu ingin ia publikasikan:

“Setiap keindahan perhiasan dunia, Hanya isteri salehah perhiasan terindah
Setiap keindahan yang tampak oleh mata, Itulah perhiasan, perhiasan dunia
Namun yang paling indah di antara semua, Hanya isteri salehah, isteri yang salehah”

Belum selesai ia bernyanyi, laki-laki itu dikejutkan oleh istrinya yang memeluknya dari belakang lalu mengecup dahinya. Mereka berdua saling berpandangan dan tersenyum.

Laki-laki itu kemudian berkata,”Dik, kita harus segera berjuang keluar dari jerat kemiskinan ini.” “Asalkan selalu bersama Abang, kemanapun aku akan tetap setia,” jawab istrinya.

Mereka berdua kemudian berpelukan mesra, lalu masuk ke dalam kamar sempit yang masih menyisakan bocor hujan sore tadi.

Beberapa tahun kemudian puisi dan peristiwa senja itu menjadi catatan penting tentang grup musik terkenal yaitu SONETA & SONETA GIRL yang dikomandani oleh pasangan suami istri tersebut: Rhoma Irama dan Veronica Irama … legenda musik negeri ini.

Sayang tahun berlalu, hari berganti peristiwa senja itu telah dilupakan oleh si laki-laki itu, ia pun bahkan melupakan istrinya … ah Terlaluuu …


=========================================
*Di tayangkan atas rikues Kris Budiman, untuk sekedar mengingat “Tragedi” Pembacaan Neruda pada 29 Januari 2012 di Sangkring Art Project. Tentu saja tulisan ini banyak yang berbeda karena dari yang ditampilkan malam itu 80% adalah spontan, meski sudah dipikirkan sedari masih di rumah. 

Ilustrasi Foto: Kris Budiman, Cuk Riomandha, Wisnu Ajisatria
Talent: Fajar Mahfud, Zumrotul Mufidah, Putri Aisiyah, Wisnu Ajisatria, Ani Himawati dan Pak Kyai


diunggah di fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 31 Januari 2012