Setelah lama diangan-angankan akhirnya tepat pada 16 Maret 2011 aku tiba kembali di Surabaya dengan SANCAKA, dan berhasil memaksa Kantorku menginapkan aku ke Hotel Ganefo ... jelas lebih murah dari standar kok. Seperti yang sudah-sudah sebuah perjalanan (dinas) adalah juga petualangan, prinsipnya pekerjaan jangan mengganggu hobi, ha ha ha Sayangnya aku tak mendapatkan 4 kamar di ruang utama. Kamar yang luas dengan kipas angin cukup untuk 4 orang semalam 110rb itu sedang penuh. Aku berada di bangunan baru, ber-AC serta di lantai 2, pojok dekat sumur ... bisa menikmati pohon tua di belakang hotel he he he. Sore aku bertemu dengan sahabat dari LPT, IKAYPAC dan DCARE untuk saling melepas rindu setelah lama tak jumpa. Selepas senja, menikmati Pangsit Mie dan Es Aneka Kacang bersama sahabat lama Anton yang dulu ingah-ingih sekarang sudah jadi pengusaha Tenda yang sukses, meski tetep ingah-ingih juga :p. Carlos kemudian menemaniku malam itu di kamar (romantis tenan ha ha ha), karena kita akan "blusukan" esok paginya, sayang aku tidurnya telat jadi harus aku dulu yang mendengar simfoni dengkur Carlos.
Kamis pagi, kami kemudian berjalan kaki menyusuri aspal hangat Surabaya untuk menuju makam Kanoman yang ada di belakang masjid di Bibis Pesarean. Makam Bupati Surabaya dan Patih Surabaya, keturunannya kemudian banyak menjadi Bupati Mojokerto dan dimakamkan di Terusan Mojokerto. Tapi siapa Pangeran Pamegatsari II masih misterius bagi kami. Aku dan Carlos kemudian berjalan lagi melewati Jembatan Merah untuk menikmati lukisan Jan Toorop dari tepi jalan. Sejenak di dalam angkot, kami kemudian menuju Makam Kyai Sedo Masjid dimana konon juga terdapat makam Pangeran Pekik (makam lainnya ada di Imogiri Bantul), kami kemudian menyeberang menuju makam yang lain: Tugu Pahlawan, ya tempat ini adalah makam masal dari pertempuran Surabaya 45. Di sekitar area tampak tokoh-tokoh Surabaya yang di monumenkan pula, dan tentu saja museum bawah tanah yang unik.
Selepas memandang Gus Dur di Klenteng Boen Bio, siang itu kami mengakhiri perjalanan dengan Kuliner di Kampung Kungfu: Lontong Mie, Lontong Lodeh, Kolak, Es Beras Kencur, Es Teh menjadi sesaji kami. Sejenak melepas lelah, aku kemudian menuju Wonosari untuk beranjangsana dengan para sahabat dari Lembaga Pengembangan Tuna Netra Surabaya. Selanjutnya hari kuhabiskan dengan menikmati suasana malam di Hotel Ganefo.
Jumat pagi, aku sudah cek out kali ini perjalanan kulakukan sendiri. Dengan sepuluh ribu rupiah, Becak mengantarku dari Ganefo menuju Pesarean Botoputih. Letaknya bersebrangan di pisahkan jalan dan sungai dengan Kompleks Masjid Ampel. Pesarean Botoputih konon dulunya adalah salah satu situs Pra Islam sebelum kemudian hadir Pangeran Lanang Dangiran atau Ki Ageng Brondong atau Sunan Botoputih dan selanjutnya menjadi "Situs Islam" tepatnya Kompleks Makam dari Kasepuhan termasuk juga Bupati Surabaya, Bupati Sidoarjo bahkan Sultan Banten. Makam Kanoman juga ada di kompleks ini yang terletak dibagian depan.
Menjelang siang, aku kemudian menyeberang untuk menuju kompleks Masjid Ampel. Selepas mampir di G(K)ubah makam Habib aku langsung menuju ke makam Sunan Ampel. Penjaga mengingatkan aku, tak diperkenankan memotret di makam sunan ampel, tapi ia menawarkan untuk memotret diriku di depan gerbang makam Sunan Ampel, maturnuwun pak. Di lokasi ini juga terdapat beberapa tokoh seperti Njai Roro Kiendjeng (cikal bakal keluarha Tjoa), Imam-imam Masjid Ampel, Petilasan Sunan Kalijaga, Syuhada Haji 1974, KH Mas Mansur, serta Mbah Soleh yang bangun dari kematian 9x tersebut. Masjid Ampel sendiri kini sudah diperluas, namun bangunan aslinya masih terjaga pilar-pilarnya masih cantik. Sebelum mudik menuju Tandes, aku menyempatkan diri untuk mampir ke Jembatan Petekan yang kesepian.
Sabtu pagi, aku menuju makam kembangkuning bukan untuk "korekan" tapi untuk menyusurii jejak-jejak masa lalu yang hadir di Surabaya. Aku ditemani oleh Carlos (lagi) serta Ipung, tokoh muda yang masing nguri-uri jejak masa lalu Surabaya. Kamipun kemudian beranjangsana ke makam Yahudi, Kompleks Eka Praya, lalu makam Istri Dr Soetomo, Von Faber, Citroen, Dykerman, Ayub Djalal, serta Guru Musik Leo Kristi: Tino Kerdijk serta beberapa makam eksotis lainnya. Tentu saja makam legendaris: Rambaldo, sang pilot ... yang sejal lama selalu memandangku setiap aku melewati area ini. Aku tak cukup beruntung untuk bisa masuk Ereveld, namun melihat makam rapi dari luar sudah cukup, justru yang diluar lebih eksotis karena ketidakberaturannya itu. Selepas itu kamipun menuju ke makam Mbah Karimah, mertua Sunan Ampel yang ada di dekat kompleks tersebut, Ipung kemudian memisahkan diri karena masih belum selesai dengan Kembang Kuning.
Aku dan Carlos kemudian menuju ke kompleks makam Kesambongan di Jalan Arjuna, awalnya aku penasaran karena aplotan mbak Ajeng. Kesambongan berarti saling berhubungan, yang dimakamkan disini berasal dari berbagai agama dan berbagai domisili, termasuk Turki atau Tengger. Namun ketika aku akan aplot dan browsing, ternyata makam pertama yang hadir di kompleks ini diyakini sebagai makam dari pada Oei Sam Hong yang selepas menjadi Islam kemudian berubah menjadi Mas Ngabehi Reksodiwiryo. Sehari-hari ia dikenal sebagai saudagar kaya dengan sapaan Babah Samhong, yang kemudian menjadi cikal bakal kampung Sambongan.
Sabtu siang aku dan Carlos mengakhiri perjalanan di Kompleks Ejang Judo Kardono, di lokasi ini, tokoh heritage Surabaya: Pak Freddy bergabung! Kami semua ternyata sama-sama baru pertama kali berkunjung kesana. Aku dan Carlos kemudian serasa histeris melihat Yoni dengan relief yang sangat cantik, serta beberapa arca yang ada di 2 ruang Sanggar Semadi yang ada di lokasi tersebut. Yoni dan 4 Arca yang ada di salah satu Sanggar merupakan "bawaan" dari Soedjono Hoemardani, penasihat spiritual Almarhum Presiden Soeharto. Sementara 3 Arca dewa di salah satu sanggar ditemukan di kompleks tersebut, tepatnya selepas membongkar salah satu pohon besar yang ada disana. Yudo Kardono sendiri termasuk cukup misterius identitasnya, namun Surya Majapahit yang ada di cungkup makam beliau menyiratkan bahwa beliau salah satu tokoh Panglima Majapahit. Akhirnya aku harus berterima kasih kepada pak Fred atas jamuan makan siangnya. Malam hari aku beruntung sempat bertemu dengan tokoh2 heritage di Surabaya pada pembukaan Roode Brug Store yang menjual kisah-kisah jejak sejarah Surabaya, akupun mengenalkan diri sebagai BOL BRUTU !
Minggu pagi, aku menyempatkan diri menengok Papa, ternyata tambah ramai yang menemaninya. Aku bahkan bertemu teman SD-ku yang sudah lebih 20 tahun tak bertemu. Nostalgia sejenak sebelum kemudian aku menuju makam Makam Waliyullah Mbah H. Achmad Ali atau syeh Ali ini terletak di Surabaya Barat tepatnya di daerah Sememi Kecamatan Benowo, tak jauh dari makam Papa. Menurut catatan yang pernah kubaca, mbah Ali dalam menjalankan siar agama Islam, menggunakan empat macam kesenian diantaranya adalah wayang yang menceritakan ilmu Tauhid, Ketoprak dan Ludruk menceritakan perihal budi pekerti sedangkan mengenai firasat yang benar / hati nurani melalui seni Reog.
Siang menjelang, saatnya sungkem ke Mama, Sancaka tlah menanti. Aku kemudian berangkat menuju ke Stasiun Pasar Turi, untuk drop adikku yang akan menuju Semarang. Sekitar 1 menit, aku sempatkan motret Lokomotif Tua yang sudah menjadi monumen. Waktu masih ada sekitar 1,5 jam aku kemudian memerintahkan Taksi untuk berhenti di SMA 5 salah satu cagar budaya sekaligus tempat dimana aku dulu mendapatkan Ijazah. Sayang aku tak sempat ketemu adik-adik SMALAPALA, ternyata kini Minggu menjadi hari Sunyi di SMALA. Aku sempat memandang kelas 1-7, 2A1-5, 3A1-5 yang kini sudah digunakan untuk kelas yang berbeda. Sayang aku tak bisa masuk ke dalam kelas, jadi aku tak bisa ngecek apakah "fosil upil"-ku masih insitu di bawah mejaku. Tapi sekedar datang dan bisa merasakan nostalgia di luar kelas saja sudah cukup banyak memori bersliweran, mulai perang mercon, sepatu bertulis hitam-hitam, hukuman squatjump selepas upacara, atau juga bagaimana aku teriak-teriak di atas panggung menyanyikan SWAMI & BEATLES!
Dari SMA 5 Surabaya, aku menuju Gubeng dengan berjalan kaki, puanas rek ! Sebelum menaiki Sancaka, aku sempatkan merasakan menu favoritku sepanjang masa: Nasi Lodeh! di warung depan Stasiun Gubeng Lama ... akhirnya minggu malam akupun bertemu dengan para tercinta: Alin, Zora dan Istriku ... ihik ...
Terima kasih kepada CARLOS, IPUNG dan Pak FRED yang sudi menemaniku blusukan di Surabaya ... semoga tuman !
tidak banyak orang seperti Mas Cuk yg punya semangat dan passion tinggi u blusukan. meskipun masih menyisakan pertanyaan besar, (wong memang belum nanya). apa yg membuat Mas Cuk menderita penyakit itu........aniway tetap semangat, Bro!
BalasHapusFreddy H Istanto
Direktur Sjarikat Poesaka Soerabaia
penyakit yang mana pak? akeh lho ha ha ha
BalasHapusPenyakit itu adalah salah satu anugrah, selain heritage ... semuanya harus dikelola secara bijaksana pak he he he
Salam Hangat selalu !