Jumat, 10 Juni 2011

Buitenzorg & Pakwwan: Bogor Visual Journey


Ada dua hal penting yang menjadi rujukan atas kota Bogor, kota ini dibangun oleh 2 “pihak” yaitu Kerajaan Pajajaran dimana Bogor menjadi ibukotanya dengan nama Pakuan. Pihak lainnya adalah pemerintah colonial Belanda, yang menyebut bogor sebagai Buitenzorg. Dengan berbekal beberapa artikel hasil googling, maka disela-sela menunaikan tugas sebagai suami, sudah menjadi nawaitu saya untuk melakukan visual journey di Bogor.



Kesan pertama menelusuri kota Bogor, kita langsung dihadapkan pada banyaknya Angkot … Kota seribu angkot, bahkan pada beberapa kesempatan saya sering menjumpai orang yang naik angkot meski jarak yang ia tempuh hanya sekitar 150 meter, “cik emane mlaku sak nyuk’an ae iso, ndadak nyumbang sewu”. Selain angkot, hal lain yang bias segera kita nikmati di bogor adalah pohon-pohon tua di seluruh penjuru kota, saat-saat pancaroba seperti sekarang, berita mengenai pohon tumbang cukup menjadi rutinitas. Ironis yang lain adalah, banyaknya sampah yang bertebaran di penjuru kota mungkin sama banyaknya dengan monumen, pengumuman mengenai adipura dan kebersihan kota.


Kesan kota tinggalan Belanda dengan gaya Indies, begitu kuat ketika menelusuri kota bogor dan bertemu dengan bangunan-bangunan tua: Istana Bogor, Balaikota, Stasiun Bogor, Stasiun Batutulis, Gereja Katedral, Gereja Zebaoth, Regina Pacis, … Kebun Raya Bogor juga menunjukkan hal tersebut, gedung-gedung yang ada di sekeliling luar KBR Bogor maupun yang ada di dalam, termasuk monument-monumen maupun makam menunjukkan masa-masa colonial itu.


Kebun Raya sendiri saya susuri selama 2 hari, pada hari pertama (14 Oktober 2009) saya hanya sempat menuju makam Belanda di rerimbunan Bambu serta menikmati bagian belakang Istana Bogor dengan kolamnya yang cukup cantik. Mendung semakin gelap ketika saya memutuskan keluar melalui pintu dekat kantor Pos, hujan rintik-rintik menemani saya memotret Zebaoth yang unik dengan warna coklatnya itu. Namun hujan badai yang merusak payung merah saya, memaksa saya berlindung di dalam kantor Pos hingga sore. 


Akhirnya saya menuntaskan perjalanan di situs2 dalam Kebun Raya pada 16 oktober 2009. Monumen Lady Raffles, Teysmann Park, JJ Smith Monumen, Nandi, dll. Di makam Ratu Galuh dan makam Mbah Jepra, saya tidak diperkenankan mengeksplor secara visual karena bukan peziarah oleh juru kuncinya, meski beberapa peziarah sempat berbisik “biasanya juga gak apa-apa kok dipotrek”. Makam tersebut sudah tersentuh “modernitas” dengan keramiknya. Balik dari sana sempat bertemu fotografer di jembatan gantung, ia berkata “lokasi ini trade mark saya untuk pre-wedding”. Kelelahan hari itu karena panas (tapi untungnya tidak hujan serta capek karena paginya juga jalan menelusuri Batutulis-Empang) terbayar dengan istirohat di dedaunan café … 1 cocktail punch, 1 es kopi susu Vietnam serta kentang goreng menutup perjalanan saya hari itu.


Makam Raden Saleh saya kunjungi pada tanggal 15 Oktober dan 16 Oktober, pada hari pertama pintu pagar terkunci sehingga saya hanya memotret dari luar saja, di dalam beberapa anak tampak bermain-main di komplek tersebut. Pada kunjungan kedua saya mendapat kesempatan bertemu pak Isun Sunarya, yang mengurus makam tersebut. Makam Raden Saleh ditemukan pak Adung (paman pak Isun), ketika ia membersihkan makam raden Panoeripan leluhurnya. Makam itu kemudian di pugar oleh bung karno, dan keluarga pak Adung mewakafkan tanah tersebut untuk kompleks makam raden saleh. Tidak ada hubungan kerabat antara Raden Panoeripan dan Raden Saleh, namun di duga Raden Saleh dikuburkan disana oleh Belanda, hanya karena sama-sama bergelar Raden.


Perjalanan saya yang mungkin paling menarik adalah Visual Journey di daerah batutulis, disana saya berkesempatan mendatangi lagi Prasasti batutulis serta hunting di lokasi lainnya. Prasasti Batu Dakon yang ada di empang gang raden saleh, sangat mengenaskan lokasinya dijadikan gudang juga, ini dikarenakan karena belum secara resmi dijadikan cagar budaya oleh pemkot bogor. Situs Batu Congkrang sangat menarik karena ada ditepi jalan tanpa nama, sekilas kita dapat saja menamai sebagai Prasasti ENDURO 4T atau Situs Yang Cocok Untuk Motor Matic karena spanduk tembok bengkel di belakang situs tersebut sangat dominan. Situs Arca Purwagalih, terdiri 3 patung: Arca Purwagalih, Gelap Nyawang serta Kidang Pananjung, sayang juga saya hanya dapat memotret dari luar pagar karena digembok. Lokasi situs paling dahsyat adalah Situs Ranggapati, letaknya di belakang gereja Elohim batutulis, tepatnya dikompleks gudang elpiji, saya diantar satpam menuju lokasi tersebut, melihat statusnya situs tersebut masih aktif didatangi orang untuk melakukan ritual. Kain putih yang menyelimuti batu, tempat hio dan sesaji menambah mistis situs ini. Di pertigaan jalan Batu tulis juga terdapat makam Mbah Dalam, yang menurut ibu juru kunci disana merupakan yang pertama menyebar Islam di Bogor, namun demikian di daerah kedung badak juga terdapat makam Mbah Dalam apakah “Mbah Dalam” merujuk nama atau gelar tidak diketahui pasti, namun mungkin mirip dengan “Makam Kabayan” yaitu sebutan untuk makam sesepuh dari suatu tempat.


Menelusuri jejak kerajaan Pakuan, mau tidak mau kita harus membaca laporan-laporan dari para Kolonial di Bogor. Catatan KF Holle (1869), GP Rouffaer (1919), R. Ng. Poerbatjaraka (1921), Laporan Scipio (1687), Ekspedisi Winkler (1690), Ekspedisi Vab Riebeeck (1703,1704, 1709), Riset Pleyte (1911) dan lain-lain, menyiratkan bahwa pusat kerajaan Pakuan Pajajaran adalah mulai tanjakan jembatan empang hingga Tajur depan kompleks Lipi/pabrik paku tulus rejo yang menjadi gerbang kota yang menghubungkan lokasi kerajaannya di sekitar batu tulis. 


Batu Lingga di sebelah prasasti batutulis adalah tanda kekuasaan, Sang haluwesi. Prasasti tersebut di dirikan oleh Surawisesa (1521-1535) sebagai peringatan atas pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521). Batutulis sendiri dikenal karena Van Riebeeck mendirikan “somerhuijsje” yang dinamakan Batutulis, sehingga daerah tersebut dinamakan batutulis, dan pondoknya menjadi Istana Batutulis sekarang. Perjalanan ke Stasiun Batutulis juga cukup menarik, stasiun yang semakin renta ini konon menjadi saksi romantisme Bung Karno antara Jakarta-Bogor


Laporan Scipo sendiri mengatakan: “dat hetselve paleijs en specialijkck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ebt bewaart wort – bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan raja “Jawa” pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau”. Ini yang mungkin menginspirasi semua kantor polres, polwil dan beberapa polsek memasang patung harimau di depan, sebagai “penjaga” kota bogor.

Lebih lengkap soal cerita De Batoe Toelis te Buitenzorg dan lainnya silahkan klik di:http://www.kotabogor.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4233&Itemid=800

oleh Cuk Riomandha pada 20 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar