Selepas "sibuk" dengan "urusan merapi", maka saatnya penugasan luar kota yang telah tertunda beberapa kali: menuju Bandung. Dua jam sebelum kereta berangkat, aku sudah berada di Stasiun Tugu, sempat menengok Gerbong "Benda Cagar Budaya" yang ada dibelakang Dipo Kereta. Sempat pula kulirik kondom bekas di dekat BCB tersebut, ini artinya Stasiun Tugu tak hanya soal transportasi manusia, Save Sex on Train Station !
Lodaya, kereta yang membawaku ke Bandung, unik juga menemukan stiker grup Ska dari Belanda tertempel di balik penutup WC di salah satu gerbong. Biasanya selain membaca buku, ada hal menarik yang cukup aku ingat selama perjalanan dari Yogya menuju Bandung, melirik stasiun unik seperti Kalimenur, Butuh, Sikampuh, Ijo, Wonosari, Indihiang, Leles, Nagreg dan sejenisnya. Ada juga pedagang souvenir di Tasikmalaya yang menawarkan payung, kipas, dengan cara yang unik: menari, namun kali ini beliau tak terlihat, entah kenapa. Stasiun Cipendeuy selalu penuh perempuan dan anak-anak yang meminta-minta maupun berjualan minuman panas atau mie kemasan siap saji. Stasiun Banjar, disini selalu aku ingat kawan SD-ku Nova namanya, ia ketinggalan kereta karena harus nongkrong di WC stasiun tersebut. Kiara Condong membuatku selalu mengingat dan menggumam senandung Leo Kristi. Namun hal lain yang sangat antusias kutunggu adalah Pecel Combrang-Kembang Turi di Stasiun Kroya,mangewu dengan aneka daun, 1 mendoan, 1 lontong dan dimakan dengan sumpit, biasanya mendekati Kroya aku sudah ngendon di pintu kereta supaya bisa segera membeli di sela keterbatasan waktu singgah.
Oh iya, sengaja sebelum menuju Bandung, aku memburu buku "Berteman dengan Kematian", istriku pun kukerahkan untuk mencarinya di sekitar jogja utara. Namun, setelah beberapa toko di shopping centre, aku baru mendapatkan di Gramedia Jogja malam menjelang keberangkatan menuju Bandung. Buku itu baru kubaca selepas Stasiun Kroya, sangat menarik dan menyentuh. Meski mungkin tak sejajar dengan yang dialami penulis, namun kewajiban meminum Amlodipine setiap malam, serta berada di dua pendapat dari medis, satu menganggap bahwa hipertensi selamanya tak akan bisa lepas dari obat karena ancaman jantung bisa bengkak serta agar tensi tetep stabil, dan tidak stroke jika tensi menghentak. Pendapat lain menganggap bahwa obat kimia yang diminum rutin akan membahayakan ginjal dan efek samping lain seperti batuk. Buku tersebut menjadi semacam otobiografi yang representatif mengenai penulis: Sinta Ridwan. Salah satu tujuan khususku ke Bandung kali ini adalah menemui Sinta Ridwan, mau minta tandatangan he he he Hujan menyambut kedatangan kami di Bandung. Di ujung jalan Hegarmanah, pada sebuah senja gerimis aku memasuki lelah pada sebuah kamar. Selepas nasi goreng dan facebook, akupun melewatkan Liga Champions.
Pagi menyambut, saatnya jalan-jalan pagi dengan bersilaturahmi ke rumah saudara di Gg Marhali, alhamdulillah kedua orangtua, yang dulu rumahnya digunakan kos oleh papa (alm) ketika sekolah di Poltek PU ITB, sedang naik haji. Sebentar saja aku ngobrol dengan anak dan cucunya. Selepas sarapan superlengkap: Bubur, Nasi Goreng, Mie Goreng dan ubo rampe lainnya, saatnya bekerja ! Bersama Mira (yang akan melatih soal keuangan) menuju Lodaya (lagi-lagi nama berulang), Buah Batu bertemu dengan kawan-kawan dari Bandung Independet Living Centre (BILiC), untuk mendiskusikan kegiatan peer to peer support ... bagaimana penyandang cacat yang satu bisa membantu penyandang cacat yang lain. Semangat luar biasa dari kawan-kawan yang harus di contoh oleh orang-orang sepertiku.
Menjelang lewat siang, mendung menggantung, namun itu tak menghalangi aku untuk mulai blusukan. Nah Mira terpaksa ikut, tujuan awal adalah Ex Penjara Banceuy, yang berada di sekitar ruko-ruko tingkat. Mengenaskan hanya tinggal 1 Sel, Sel Nomor 5 tempat Soekarno pernah di sekap selama 8 bulan setelah ditangkap di Yogyakarta 29 Desember 1929. Di sel itulah Soekarno menulis pledoi "Indonesia Menggugat". Selain di Penjara yang tinggal 1 menara pengawas di pojok luar, dan 1 Sel di bagian tengah, kami menikmati sebuah masjid unik di banceuy: Al Imtizaj yang berarti Ronghe atau Pembauran ... arsitekturnya ke-cina-cina-an. Selepas dari Banceuy kami bergerak ke ujung lain: Bale Sumur Bandung, untuk menengok sumur tua yang berada di lantai dasar gedung pln, sebuah gedung yang konon di arsiteki oleh CP Wolff Schoemaker, tokoh penting dari "tata gedung" di Bandung.
Kami kemudian menuju Museum Pos serta Museum Geologi, kami juga menyempatkan melewati Jalan Bahureksa untuk melihat Ambulance "horor" yang katanya tak pernah mau dipindah. Namun kisah yang lain adalah lokasi itu mirip dengan bisnis di jalan ABC waktu malam, entahlah toh kami hanya lewat untuk melihat salah satu Urban Legend Bandung. Selepas menikmati Soto Ayam Madura total 14ribu (untuk berdua) kami lalu menikmati Museum POS, sangat menarik! Aku sangat menikmati koleksi berbagai bentuk bis surat, perangko, "surat-surat emas" bahkan pintu kamar kecilnya :p. Selepas Museum Pos, saatnya menyebrang: Museum Geologi entah kenapa energiku mulai habis, aku mual melihat "batu-batu" yang aneka ria itu, wah bisa dipertanyakan nih eksistensi sebagai BOL BRUTU ... he he he soal merapi dan sejarah manusia cukup menolong rasa mual itu.
Hujan lagi-lagi turun dengan deras pada sebuah senja ketika aku sampai (lagi) di ujung hegarmanah. Dua senja aku belum bertemu Sinta Ridwan, cucu manisku yang sedang konsen dengan tesisnya. Jadi perjalanan memburu Sinta Ridwan belum berakhir, semoga esok bisa ketemu sebelum Jumat pagi menuju Jogja kembali ... doakan saja, kami bisa ketemu besok di selingi jadwal silaturahmi dengan KUBCA SAMAKTA di Lembang (pagi-siang).
Cucuku Sinta ... mbah cuk mau minta tandatangan nih ....
(To Be Continued)
oleh Cuk Riomandha pada 24 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar