Jumat, 10 Juni 2011

Salam dan Gulon: Perjalanan Menjelang Hari ABRI 2009

Sebelum lebaran, saya dan om kris sudah janjian kencan untuk tetirah ke beberapa lokasi sarat sejarah (bisa candi, makam dan situs lainnya). Namun baru hari ini, ahad 4 oktober kami bisa saling melepas hasrat itu. Dan kami pun janjian akan bertemu di gapura masuk jawa tengah setelah sungai krasak. Minggu pagi, setelah sarapan ... saya sempatkan untuk online dan mengeprint denah lokasi situs kiai sadrach yang akan menjadi tetirah berikutnya. Dan tentu saja, menulis status di facebook he he he, saya pun mengajak edi dalam perjalanan ini.



Janjian dengan kris, jam 10-an pagi, tapi saya dan edi beranjak dari turi sekitar jam 9.15 untuk mampir dulu di tempat penampungan benda purbakala yang terletak persis di depan agrowisata salakpondoh di bangunkerto turi. Menurut cerita dari penjaga tempat tersebut, benda-benda yang ada disitu rata-rata ditemukan di sekitar turi dan tempel, termasuk dari dusun candi di sekitar tempat itu, sayang memang tidak ada situs yang masih utuh disekitar turi, hanya tersisa beberapa benda seperti Lingga, Yoni, makara, lesung, peripih dan yang mengenaskan: Nandi tanpa kepala. Yang "unik" juga disana, makara yang ada sempat dijadikan tempat buat njemur gelas dan sendok. Setelah puas mengambil gambar disana, saya dan edi pun segera memancal suprafit kami menuju gapura krasak.


Setelah sekitar jam 10 lebih dikit kris datang di lokasi, kami langsung menuju ke candi losari, yang baru ditemukan sekitar 2004 oleh pak Badri di kebun salak miliknya. Setelah menunggu pak Badri beberapa saat karena pagar bambu untuk masuk ke kebun salak ber-candi tersebut masih digembok. Kamipun kemudian masuk dan mulai mengamati candi yang masih belum betul-betul terkuak tersebut. Untuk cerita soal sejarah atau per-candiannya nanti biar kris aja deh, kan dia yang masih jadi intelektual he ... he ... saya tak nulis catatan perjalanan aja. Anyway, Pak Badri cerita bahwa 3 buah Antefik telah hilang beberapa waktu lalu. Dan sebelum-sebelumnya godaan dari pemburu harta karun berdatangan dengan banyak rayuan, "wonten bule-bule kaliyan turis2 dari korea nggih natih, wonten sing ngaku saking dinas purbakala mau mengangkut, kok untunge kulo njuk nelpon bapak .... saking dinas". Rayuan uang puluhan hingga ratusan juta sering dialami pak Badri. (semoga tetep tabah pak). Di lokasi tersebut pak Badri bercerita bagaimana menemukan candi tersebut dan relasinya dengan arkeologi UGM, tak lupa pula kami di jamu salak di kebon tersebut (sumpah salaknya enak, lebih manis dari salak pondoh dari turi), selain itu kami pun sempat ditunjukkan salak "lanang" dan salak "wedok" serta bagaimana cara pembuahannya. Dari sana kamipun kemudian diajak ke rumah Pak badri yang ada di kadipolo, sekitar 500 meter ke selatan dari tempat tersebut. Di rumahnya tersebut, beliau menunjukkan beberapa foto2 dari candi losari serta "Kala" yang ia simpan dirumahnya supaya tidak dicuri orang, tapi saya sangat terkesima dengan sebuah buku yang ia tunjukkan, BABAD TANAH JAWI djilid pertama cetakan tahun 1921, buku ini masih benar2 asli, ditulis dengan huruf jawa dan saya sangat mengagumi foto2 hitam putih cetakan jaman budi utomo tersebut. Luar Biasa !!


Dari rumah pak Badri, kamipun kemudian menuju ke Candi Gunung Wukir yang menurut Kris, merupakan Candi tertua yang ada di JATENG DIY. Kami mampir dulu ke tempat mas Widodo yang menjadi juru kunci dari situs tersebut, meski lebih muda dari pak Badri terlihat jelas mas Widodo lebih berpengalaman dalam bagaimana "memperlakukan" candi. Lha ya gimana lagi, Candi Losari masih baru ditemukan, sementara Candi Gunung Wukir adalah candi tertua he ... he ... dan pendakian pun dilakukan, hmm mengkis-mengkis rek ... terik matahari di ubun-ubun menyambut kita ketika masuk ke area candi. Di sana kami menemukan beberapa bunga, sesaji serta hio di sekitar yoni, ini menunjukkan candi ini masih digunakan untuk "ngibadah". Sempat istirahat dan cerita-cerita sampai soal CANDU cap tengkorak, yang sempat mas Widodo cicipi ketika ditawari seorang "polisi" he ... he ... Setelah puas di Candi Gunung Wukir kamipun kemudian turun kembali ke rumah mas Widodo yang juga memiliki kemampuan sebagai penyembuh altenatif (beliau cerita sempat mengobati pak Teuku Yacob). Edy pamit untuk kembali dulu ke jogja, karena harus menyiapkan diri untuk berangkat ke padang sebagai volunteer tenaga medis (selamat jalan dab, ati-ati dijalan).


Dari rumah mas Widodo, saya dan kris sepakat melanjutkan perjalanan menuju candi gunungsari. Sebelumnya kami mampir dulu di pertigaan Jumoyo untuk makan siang. Nasi Rames dan Teh panas. Kenyang makan siang, kamipun langsung bergerak, sempat kesasar di pertigaan arah watucongol, tapi kami pun kembali berkat mas-mas Ojek yang baik hati. Tak lama berselang kamipun sampai ke komplek yang cukup luas berpagar, ada masjidnya. Anak tangga tersedia untuk menuju makam yang ada di lereng2 bukit tersebut. di komplek yang paling atas, ada makam yang cukup menarik letaknya di tengah di dalam bangunan bercat putih dengan jendela kayu di sekelilingnya. ada 6 makam di dalam bangunan tersebut, tapi yang "beridentitas" adalah 3 makam yang letaknya di belakang, masing masing makam dari 1) RM. Pandji Wiroboemi, 2) KRT Sennopati Wirodigdo (Boepati Nayaka Kartasoera) yang kemudian dikenal dengan nama Ki Ageng Wiroreno, 3) G.B.R.A Alit Wirodigdo/Wiroreno putri dari Pakubuwono II. Terlihat pula beberapa makam tua, baik yang masih asli maupun yang kemudian sudah dipugar.


Sejak di makam tersebut saya mulai cemas, yang pertama batere kamera saya sudah tinggal 1 strip, sementara batere cadangan yang saya punya juga invalid (biasanya cuma bisa dibuat motret 5-10 frame saja). kecemasan yang lain adalah untuk menuju candi gunungsari yang letaknya ada di puncak bukit itu jalannya cukup mendaki, wah jadi sadar kalau latihan pernafasan dan olahraga itu penting he ... he ... hal yang sudah lama saya tinggalkan. Beberapa kali saya berhenti, beberapa kali Kris menyemangati ha ... ha ... saya sempat menyerah ketika mulai muntah-muntah, mata berkunang-kunang dan langit terasa gelap. Tapi untungnya saya hanya memuntahkan hawa, soale eman-eman kalau nasi rames yang saya makan tadi keluar lagi, mbayar je. Saya terduduk memandang kota muntilan dari atas gunungsari, ternyata om Kris sabar juga ikutan merokok ... saya sendiri gak tahu apakah dia mau menemani saya sejenak, ataukah dia sebenarnya juga sudah mau muntah ha ... ha ... setelah mulai "sehat" (saya bahkan lupa kalau lagi sakit batuk dan flu) kamipun mulai berjalan lagi, dan ternyata puncak tinggal sekitar 15 meter dari tempat kami duduk ha ... ha ... rasanya seperti orgasme deh ketika bisa sampe puncak bukit sekaligus komplek candi gunungsari. 


Di Candi gunungsari, ada beberapa hal yang unik misalnya ada semacam batu yang ada tutupnya seperti tempat sampah, dan ditutup tersebut ada huruf-huruf (atau mungkin logo) yang kami tidak mengerti. Kemudian ada pohon di belakang candi, yang diduga adalah makam tumenggung wiroguno, saya dan kris sempat berdebat apakah itu pohon beringin atau pohon pule, tapi karena saya dulu A1 (meski kuliah di antro) dan Kris A4 maka bisa jadi hanya jadi debat kuda ha ... ha ... sayang memang tidak ada juru kunci yang menemani kami disana (kami baru bertemu anaknya setelah sampai bawah bukit, di masjid). Sebenernya cukup kecewa karena saya hanya dapat sekitar 20an frame batere kamera sudah benar2 wafat. Tapi kepuasan bisa sampai puncak setelah muntah, dapat membantu melupakannya. Dan ketika hari beranjak gelap kamipun turun, sempat nyasar ke arah jalan besar tapi karena wegah muter balik ke kampung, kami naik lagi mencari jalan menuju makam.

Sekitar maghrib, akhirnya kami tiba di TURI: rumah saya. Tengkyu Kris atas hari ini, kamu benar-benar alat pemuas deh ha ... ha ....


oleh Cuk Riomandha pada 04 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar