Setelah beberapa konfirmasi, maka pagi hari kami berkumpul di stasiun yang membawa ratna ke jakarta (kelompok kampungan), setelah beberapa rencana disusun melalui fesbuk dan sms, dan setelah 5 orang konfirm, akhirnya hanya 4 yang berangkat karena Mas Ayu kemudian W.O. so tim pandawa lima kemudian berubah menjadi fantastic four: Putu Sutawijaya, Kris Budiman, Ery Jabo dan tentu saja saya. Mas Ayu, hari ini kamu termasuk umat yang merugi ....
Perjalanan dimulai menuju Gereja Karangyoso di Desa Ketug, Butuh, Purworejo. (Klik jugahttp://karangyoso.blogspot.com/) Pak Putu cukup "geli" dengan nama kecamatannya, karena di Bali kata itu mempunyai arti yang berbeda. Juga di masyarakat Banjarmasin, tempat saya dan jabo dulu sempat dikirim UGM untuk KKN.
Setelah kebaktian dari rombongan dari bandung selesai, kami pun bisa dengan leluasa menikmati gereja yang bersejarah di jawa tersebut. Dan tentu saja kemudian memasuki museum eyang sadrach, yang dahulu menjadi tempat ia tinggal. Banyak benda yang cukup menarik disana, mulai foto-foto, tosan aji, tempat tidur, meja kerja, atau kursi malas, juga beberapa buku dan peta zending jawa-sumba.
Dari gereja, kami pun kemudian kembali menuju makam Kyai Sadrach, yang sebelumnya sudah saya datangi namun terkunci. Kali ini, kami semua bisa melihat dari dekat makam beliau, juga makam Kasan Mataraman, serta makam turangga dari kyai sadrach yang terletak di tengah batas antara makam kristen dan muslim, unik. Ada lagi di kompleks tersebut makam tua, yang bentuknya merupakan gundukan tanah yang dibangun oleh rayap, menurut juru kuncinya, yang dimakamkan disitu adalah sesepuh dari desa di dekat pantai ketawang.
Matahari tepat di atas ubun-ubun ketika kami meninggalkan makam Kyai Sadrach di desa ketug, selepas rel di pertigaan pom bensin andong, kami menuju ke arah klepu. Waktunya, wisata kuliner: makan siang! 3 porsi Sate Tupai, 1 Porsi Sop Tupai, 2 Krupuk, 3 Teh Panas Dingin, 1 Es Teh Tawar. Selepas dari Warung Ki Bawono tersebut kita sempatkan mampir dan menikmati Dawet Ireng Butuh yang legendaris itu (http://www.facebook.com/note.php?note_id=139115523194).
Setelah kenyang, kami kembali ke timur. Masjid Agung Purworejo menjadi tujuan berikutnya, berbeda dengan perjalanan saya sebelumnya yang hanya sempat melihat bedug terbesar di dunia, dalam perjalanan kali ini, kami sempat melihat bangunan masjid utama yang menjadi cikal bakal masjid agung sekarang. Sekaligus kami juga mendatangi makam di sebelah barat masjid. Dugaan saya, Badaruddin adalah makam tertua disana, karena kami tidak menemukan yang lain dan pas ndak ada yang bisa kita tanya. Namun kisah tentang bedug pendowo bisa di lihat disini: http://www.solo-kedu.com/solo-kedu/Wilayah/wisata_purworejo.htm
Dari masjid agung kami menuju ke Klenteng di belakang pasar Baledono, TITD .Tong Hwie Kiong. Klenteng yang sangat terbuka menerima tetamu. Ikon-ikon arsitekturnya cukup unik, dengan meja altar yang tersebar di hampir semua sudut di klenteng tersebut, termasuk di depan dapur dan ruang tv yang biasanya digunakan bagi pengurus yang tinggal disitu. Poster Dewi Kwan Im menjadi oleh-oleh yang menarik dari tempat tersebut.
Perjalanan selanjutnya adalah menuju Bagelen, dahulu area bagelen adalah meliputi seluruh wilayah Purworejo sekarang. Namun kini, Bagelen hanya menjadi kecamatan yang ada di Purworejo tepatnya di dekat kali bogowonto. Kami pun kemudian tiba di Pesarean Nyi Candi yang letaknya (dari purworejo menuju jogja) sebelum Kali Bogowonto, awalnya kami menduga makam tersebut adalah pesarean Nyi Bagelen, namun Nyi Candi adalah juga kerabat dari Nyi Bagelen. Ada benda yang cukup unik di pesarean nyi candi (yang saat ini sedang direnovasi) yaitu sebuah batu, batu itu sempat di pinjam untuk menolak bala, namun setelah selesai pihak yang meminjam kebingungan ketika akan mengembalikan batu itu, karena tanpa di duga, batu tersebut sudah berada di kompleks pesarean nyi candi.
Kemudian kami menyeberang kali bogowonto, kami menuju pesarean Nyi Bagelen. Mobil parkir di pelataran puskesmas bagelen, dan kami berjalan kaki sekitar 40 meter untuk tiba di komplek nyi bagelen. Kami cukup canggung untuk masuk ke dalam, dan karena saat itu kami merasa tidak pantas maka kami hanya berada di luar cungkup. Sempat mengobrol dengan Juru Kunci makam: Nyi Bagelen disebutnya (meski ia sendiri tidak berani memastikan catatan sejarahnya) adalah turunan langsung dari Ajisoko, dan adalah ratu tertua di tanah jawa, Mataram Purba (Medang Kamulan?), Majapahit pun masih kalah tua. Beberapa stupa menghiasi kompleks (dalam) pemakaman tersebut. Keratonnya dulu disebutkan disekitar lokasi pesarean tersebut. Lokasi itu dahulu adalah hutan, untuk "babat alas"-nya dibutuhkan semadi di sekitar pohon bambu berdaun putih selama beberapa waktu. Yang cukup menarik perhatian saya adalah: Ada mushola di sekitar kompleks tersebut, dan dugaan saya saat ini "lelaku para peziarah masa kini" sepertinya adalah "Islam Jawa", dan bukan Hindhu atau Budha mengingat cikal bakal makam tersebut adalah masa Pra Islam. (baca juga:http://waridjan.multiply.com/journal/item/71/BAGELEN_POTRET_SEBUAH_AKULTURASI_ISLAM-JAWA_)
Terima kasih buat kawan-kawan baru saya di GKJ Karangyoso, Klenteng Purworejo, Pesarean Nyi Candi dan Nyi Bagelen, serta bapak-bapak dan ibu-ibu yang telah memberikan informasi arah menuju situs-situs tersebut. Juga buat Om Kris yang Seniman, Pak Putu yang Petani, Jabo yang bukan penyanyi ... atas perjalanannya, It's beautiful sunday (journey).
oleh Cuk Riomandha pada 11 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar