Sehari menjelang keberangkatan ke Batavia dalam rangka "dinas luar kota", daku sibuk untuk mencari "koneksi" baik berupa data, person atau waktu. Hingar bingar JCC Senayan menjadi tugas "Untuk Negeri" yang wajib dilaksanakan dalam durasi sekitar 10.00 - 19.00 WIB pada 30 September hingga 3 Oktober 2010. Perjumpaan disana juga cukup menarik, banyak teman baru, banyak barang baru dan banyak uang keluar he he he. Nah selain soal "fardhu ain", tentu saja aku berusaha melakukan hal-hal yang sifatnya "sunnah mua'kad" yaitu: Blusukan. Kapan? tentu saja diluar waktu wajib. Perjalanan pertama dimulai di Museum Nasional yang dilakukan setelah melepas lelah setiba di Jakarta dan sebelum loading di JCC. Bersama Wenny, aku bertemu Inah di antara batu-batu tua. Arca dan Prasasti dari luar jawa ternyata dahsyat-dahsyat. Aku ndak nemu Arahiwang maupun Patung Emas Seplawan, namun aku sempat melihat prasasti Nanggulan serta Ganesha cantik dari Candi Banon Muntilan, peninggalan yang lokasi asalnya tak berbekas lagi.
Esok harinya, Kamis setelah sarapan esuk umun-umun, aku menyebrang Kartika Chandra untuk ziarah ke Gedung Telkom, ya di dekat anak tangga bagian belakang dekat parkiran mobil kantor Telkom itu, bersemayam Pangeran Kuningan salah satu tokoh "Islam" masa pajajaran akhir-kolonial. Syukurlah kali ini aku bertemu Security yang sangat baik dengan mengantar langsung ke TKP. Setelahnya aku mencari sebuah masjid Tua yang berada di antara area Tentara, yaitu antara Puslit TNI dan bekas Rumah Ratna Sari Dewi yang kini menjadi museum Satria Mandala. Masjid bergenteng hijau itu adalah Masjid Tua Al Mubarok, masjid yang digunakan Pangeran Kuningan untuk beribadah, berhimpun dan menyusun kekuatan melawan Walandi.
Kesempatan jalan berikutnya adalah Sabtu pagi. Aku sudah berada di Taksi menuju kota tua ketika Inah baru bangun dan belum gosok gigi. Setelah putar-putar sendiri di sekitar Kota Tua, sekitar 08.30 Inah hadir tanpa sarapan. Kamipun kemudian bercengkrama di kota tua sambil menunggu museum membuka pintu. Beberapa saat kemudian, kami berduaan menuju Museum Wayang dan Museum Fatahilah dengan diselingi gangguan telpon dari Rafael yang sedang kesepian di Bekasi hi hi hi. Perjalanan bersama Inah di Sabtu pagi ini adalah untuk mengobati dirinya yang gagal ikutan jalan ke Bogor karena delay dari Jumat menjadi Sabtu malam, serta juga sebagai ganti atas penolakanku untuk nongkrong di jalan Sabang jumat malam he he he ... belum rejeki inah ikutan ke Bogor bersama Prabu.
Sedianya perjalanan ke Bogor akan kulakukan bersama Prabu Dennaga di Jumat malam, namun Tuhan mengijinkan perjalanan itu dilakukan pada Sabtu malam. Sedianya pula tujuan kami adalah ke Makam Nazi di lereng Pangrango, namun Hujan yang terus mengguyur membuat kami memilih jalan yang tak licin ke arah Ciampea. Sekitar jam 9 malam Prabu menjemput di hotel, dan mampir menjemput kontak lokal di daerah Empang. Aku sempatkan pula membeli SEMPAK di toko 24jam, kehabisan sempak ternyata di jakarta gak nyaman pake Side A dan Side B. Menjelang dinihari kita sudah berada di Prasasti Kebun Kopi. Prasasti dengan 2 Tapak gajah serta tulisan sunda yang dibaca: Jayavisalasya Tarumandrasya Hastinah Airavata Basya Vibhatidam Padadvayam (disini nampak sepasang tapak kaki gajah yang seperti airawata, gajah penguasa taruma yang agung dalam dan bijaksana). Kameraku sempat error memory card, kamera Prabu juga sempat macet disini. Sekitar 100 meter dari Prasasti Kebun Kopi, terdapat prasasti Ciaruteun yang legendaris itu. Kami bertemu sekelompok anak muda yang sedang "lelaku" beberapa orang (perempuan) diantaranya bahkan sedang berendam di Sungai Cisedane (?). Setelah sempat mampir ke Hok Tek Bio Ciampea dan makan malam di Sukasari Bogor, tepat pukul 3 pagi aku tiba kembali di Kartika Chandra.
Setelah mbangkong di minggu pagi dan kemudian bekerja menunaikan kewajiban. Sekitar jam 9 malam Husin Raharjo datang menjemput, kali ini perjalanan ditempuh dengan motor, cihuy sekali! Pemberhentian pertama adalah di Karet Bivak, dan aku melakukan ziarah visual ke makam Pramoedya Ananta Toer, Moh. Husni Thamrin dan beberapa lainnya sayang 2 orang yang sedang tiduran di makam tak tahu lokasi makam Chairil Anwar. Selanjutnya sempat berhenti tanpa turun dari motor sekitar 1 menit di Pintu Air Manggarai, 2 jepretan tergesa cukup untuk mengabadikan Prasasti Belanda di Pintu Air itu. Setelah melewati Stasiun Jatinegara dengan beberapa perempuan muda cantik di tepi jalannya, kami kemudian tiba di daerah Jatinegara Kaum. Kompleks Makam Pangeran Sang Hiyang kami datangi, sayup-sayup di seberang rumah terdengar suara ibu-ibu memainkan rebana marawis dengan lagu Prahu Layar! Makam Adipati Jayakarta di kompleks masjid tua As Salafiyah sekitar 1-2km dari Sang Hiyang kami lewatkan karena sedang ramai pengajian. Dan setelah mampir ke ATM serta membeli peluru untuk Wasir, aku tiba di hotel dinihari.
Senin, waktunya kembali ke JOGJA. Setelah packing siap maka kami cek out jam 8 pagi. Setelah mampir ke DHL di Pancoran kami mencari satu titik sebelum menuju Bandara. Mengingat Gereja Sion tak cukup dekat, maka makam Petamburan kami datangi. Mausoleum Familie O.G Khouw yang telah didatangi Kris Budiman itu akhirnya aku datangi juga, beberapa genangan air tampak ngecembeng di beberapa lantai semen-keramik, namun rumput terlihat cantik dengan hijau basahnya. Aku kemudian blusukan sekitar bersama Wenny di makam itu, makam belanda, cina, rumah abu jepang tampak disana. Namun yang menarik adalah makam-makam Yahudi di bagian lereng bawah, sekitar 10an makam Yahudi berbeda-beda bentuk ada disana, bentuk yang paling unik adalah segitiga. Sekitar 15 menit kami berada di makam petamburan, lebih dari cukup kamipun beringsut ke Bandara Soekarno Hatta, wenny mendapat kenang-kenangan berupa gatal-gatal dari makam petamburan. Tak lama berselang, kamipun kemudian telah menghabiskan 2 porsi makanan dan minuman (masing-masing) di salah satu warung kelap-kelip menjelang Gate menuju pesawat.
Sekitar pukul setengah empat sore, mbak ninuk ternyata menyambutku di Bandara tanpa karangan bunga dan tanpa tari-tarian hi hi hi, hujan turun dengan derasnya ketika aku tiba di kantor. Selepas maghrib, akupun tiba di Jogja Utara ... Alin dan Zora pun tlah menunggu dan menagih oleh-oleh ...
Kesenyapan Jogja Utara akhirnya kutemui lagi setelah keriuhan yang tak nyaman di jalanan Batavia. Sampai ketemu di perjalanan berikutnya!
oleh Cuk Riomandha pada 04 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar