Minggu 26 Desember 2010, Azan Subuh menggema saatnya bangun pagi, masih di empu nala Mojokerto. Sekitar jam 5 pagi, aku sudah siap untuk berangkat blusukan. Ternyata cak Arief Budi gak tidur semalaman dan sampe gak sempat mandi, gara-gara kedatanganku hi hi hi Semoga beliau diberi ketabahan dan rejeki yang kimplah-kimplah, dan tak pernah kapok menemaniku blusukan.
Bulan masih di atas langit dan mentaripun masih hadir malu-malu, namun kami sudah melalui 2 situs yang menarik: Situs Wates Umpak dan Gapura Wringin Lawang. Wates Umpak adalah situs yang mirip dengan Siti Hinggil, ada pondasi candi serta makam di atasnya, meski masih tergembok namun memandang dari luar pagar sudah lebih dari cukup. Gapura Wringin Lawang adalah salah satu situs dominan di Mojokerto, apalagi sudah dilukis oleh Putu Sutawijaya. Memandangnya dalam dominasi siluet menyempurnakan pagi kami. Dan beberapa menit kemudian kami mengakhiri Trowulan dengan ziarah visual ke Troloyo, sayang makam Kenconowungu tak bisa kami masuki karena masih penuh orang ritual. Namun makam pitu dan makam-makam di kompleks besar Troloyo berhasil kami datangi, termasuk Petilasan Wali Songo dan Makam Syech Jumadil Kubro yang juga terdapat di bukit turgo, dekat rumahku di Turi (sak Kecamatan lah) yang malah belum kudatangi (naik gunung sih).
Dalam perjalanan menuju Wonosalam Jombang aku menerima SMS ternyata Caesar malah sedang berada di Candi Bajangratu dan Candi Tikus, ya sudahlah tak perlu jumpa fans karena masing-masing punya mimpi sendiri-sendiri, yang penting bisa sharing. Candi Lima dengan Kalakopsnya tak kudatangi karena kami langsung menuju ke Jabung, Jatirejo. Berturut-turut kami mendatangi situs-situs: Makam Ki Ageng Jabung, Situs Umpak Jabung, Petilasan Eyang Gajah Mada, Palenggahan Seto dan Situs (Gajah) Mbah Uliman (situs diyakini sebagai batu/makam Gajah tunggangan Gajah Mada). Tanpa berhenti, selepas pemancar TVRI kami memasuki wilayah Mojokerto Coret: Jombang!
Hawa sejuk menyeruak ketika kami memasuki jalan berliku dengan pepohonan di lereng Gunung Anjasmoro, romantis dan cihuy deh! Sayang memang bukan cewek yang kubonceng ha ha ha tak beberapa lama, aku tiba di Candi Rimbi. Candi ini tinggal setengahnya, mirip Candi Sumur di Sidoarjo, namun relief yang ada di sekeliling candi sangatlah menarik, juga beberapa batu yang terserak di sekitar Candi. Berikutnya kamipun telah pula berada di sekitaran Mojowarno, menengok Yoni Gambar yang cantik sekali di tengah sawah, serta Situs Umpak Grobogan di tepi sawah (pula).
Tak lama berselang aku telah berada di jalan pusat keramaian di Mojowarno, sempat melirik kanan-kiri (tanpa berhenti) ada rumah tua yang cantik, selintas terlihat juga bu lurah sedang sibuk di Kantor Kecamatan serta juga Synagog dengan logo salib-nya demi sebuah Greja tua yang cukup penting bagi perkembangan Kekristenan Jawa: GKJW Mojowarno. Bangunannya lebih londo dibandingkan GKJ Karangjoso milik Sadrach di Kutoarjo. Kami bersyukur bisa menikmati Gereja ini sampai blusuk-blusuk di Loncengnya. Yang unik, logo yang ada di lonceng Greja ini bukan logo "londo" tapi malah sangat mirip dengan logo "Kraton Bangkalan", demikian miturut Antonio Carlos. Oh ya Synagog yang hadir sejak awal 80an (atau akhir 70an), bisa jadi untuk mengakomodasi komunitas Yahudi yang hadir disana, namun juga bisa jadi untuk komunitas Kristen (non Jawa) disana, karena Synagog adalah sebutan lokal untuk Greja Kecil atau "Langgar-e wong Kresten, mas", demikian ucapan pak Alias di GKJW Mojowarno. Unik juga relasi penuh cinta antara Islam (NU) dengan ratusan pesantrennya di Jombang dengan Nasrani, dan bahkan Yahudi, dan itu terbangun tidak dalam sekejap.
Tentu saja, gak sopan kalau kami tidak jumpa fans dengan bu Lurah. Kamipun kemudian membajak waktu beliau untuk beberapa saat memaksa beliau menunggui kami makan di warung depan Greja (duh ternyata tetep gak sopan ya, Bu Lurah kok dikon nunggoni wong mangan). Di warung ini pula, kutemukan sejenis kuliner minuman limun yang pernah hadir saat aku masih SD: temulawak, sirsat, kopi soda dan beras kencur aseli bikinan Ngoro Jombang, dan rasanya masih nyenggrak di tenggorokan. Dan sejenak saja jumpa fans dan nostalgi dilakukan, sebelum akhirnya kami pamit menuju Tebuireng, dan bu lurah kembali ke kantor Kecamatan.
Tebuireng, kompleks pesantren yang tak pernah sepi terletak berseberangan dengan Pabrik Gula tua yang ada di Diwek Jombang. Ketika aku datang, mungkin sekitar 500an orang sedang berada di area kompleks tersebut. Khususnya di dekat makam Gus Dur dan keluarganya termasuk makam Mbah Hasyim. Makam ini kini di pagari tali, jamaah yang ziarah harus berada diluarnya, konon untuk mengurangi syirik dimana banyak orang yang sempat mengambil sesuatu (tanah, bunga dll) dari makam Gus Dur. Entahlah, yang jelas keputusan keluarga harus dihargai. Di Kompleks yang semua makam-nya yang sederhana itu, secara tertib dalam setiap 20-30 menit saling ikhlas bergantian berdoa dengan jamaah lainnya. Sehari hampir sekitar 2000 orang berziarah, belum jika hari liburan. Bapak bangsa yang mungkin adalah Wali ke Sepuluh bagi banyak umat, duh sempat mbrebes mili aku disini (untung gak dipotrek cak Arief).
Selepas singgah kembali ke rumah cak Arief, maka aku berpamitan menuju Surabaya karena masih ada acara penting: "Menikmati Senja bersama Antonio Carlos". Jam 3 sore aku sudah berada di rumah Paulina Mayasari sebagai tempat Kumkum Jejak Petjinan. Hanya dengan 25ribu rupiah saja kita bisa praktek "mbunderi ronde" sebagai salah satu ritual keluarga tionghoa, dan aku sore itu cukup beruntung menjadi bagian dari ritual tersebut. Selain itu aku akhirnya juga bertemu dengan tokoh-tokoh penting Surabaya: mbak Prima dan cak Yatim (sayang pak Fred lagi di Bali), aku bahkan ketemu Alfa, teman main ketika aku SD jika liburan ke rumah bude di Gending, Probolinggo. Perasaan istimewa itu kemudian disempurnakan dengan Roemah Sembajang Kaloearga Han, rumah yang sangat cantik, beruntung juga sempat berfoto bersama Carlos as Duet Dwarapala he he he Sayang karena padatnya aktivitas dan dihinggapi kelelahan secara hewani, maka aku tak sempat mengikuti diskusi buku serta makan mie disana.
Dumateng Arief Budi, Riris, Carlos, Paulina, mbak Prima, cak Yatim serta pak, bu, mas, mbak, dik Alias dan sahabat-sahabat lainnya: Hari yang melelahkan tapi istimewa, terimakasih sangat!
misih To Be Continued
oleh Cuk Riomandha pada 04 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar