Jumat, 10 Juni 2011

Bagelen Visual Journey: Alone


Setelah gagal melakukan Surabaya Visual journey karena alasan kesehatan (fisik, mental, spiritual dan tentu saja finansial) maka melakukan perjalanan yang dekat adalah sebuah pilihan logis. Rabu siang di nandan, tensi sudah di cek oleh kak guru Asa (potograper merangkap tukang tensi), angka menunjukkan 130/90, sebuah angka yang normal (meski HCT dan Amlodipine tak boleh lupa). So, waktunya menuju Karesidenan bagelen, menemui alin dan zora yang sudah tertunda karena perjalanan ke Buitenzorg dan kesibukan menurunkan tensi. Maka dengan kerinduan yang membuncah terhadap anak-anak serta rasa kangen yang menggelora akan perjalanan itu sendiri, kamis pagi (29 Okt 2009) saya meninggalkan ndalem Pa-Cuk-an di Turi menuju Karesidenan Bagelen. Dalam perjalanan, saya sempat mampir ke Kerkhof di Mendut, ada beberapa makam tua disana. Menurut Jurukuncinya dahulu mulai jembatan hingga candi mendut merupakan kompleks gereja dan pemukiman misionaris Belanda. Namun, semuanya kemudian dibumihanguskan para pejuang karena pada masa perjuangan lokasi tersebut dicurigai menjadi markas tentara Belanda. Peninggalan dari Misionaris tersebut adalah Kerkhof serta Gapura di seberang Gereja (sekarang).



Perjalanan menuju Karesidenan Bagelen pun dimulai kemudian. Menurut Prof. Purbatjaraka, nama “Pagelen” atau “Bagelen” itu berasal dari kata “Pagalihan” yaitu daerah yang masuk wilayah Galuh.. Kata “Galih” menurut menurut pendapatnya adalah bentuk krama dari kata Galuh. Contohnya kata Pangguh = Panggih, Lungguh=Linggih, Rungkuh=Ringkih. Dengan demikian , Pegaluhan, Pegalihan, Pagelen, dan Bagelen memang merupakan wilayah kekuasaan Sri Maharaja Dyah Balitung Watukura yang ditandai dengan sebuah aliran Sungai Besar, Sungai Watukura yang kemudian dikenal dengan nama sungai Bogowonto, karena dikedua tepinya banyak Begawan berada. Dalam sejarah berikutnya , daerah Watukura masih dikenang. Ini terbukti dalam naskah Negara Kertagama , Raja Hayam Wuruk masih menyebut nama tersebut. Sedangkan dalam masa kerajaan Demak, Bagelen merupakan suatu propinsi yang dipimpin oleh seorang Tumenggung. Para Kenthol Bagelen memegang peranan penting dalam pembentukan Kerajaan Mataram Islam. Sutawijaya yang kemudian bergelar Sebagai Panembahan Senapati telah mengingat persaudaran dengan para Kenthol Bagelen. Para Kenthol itu pula merupakan pasukan andalan dalam menumpas pemberontakan-pemberontakan maupun dalam operasi operasi militer, termasuk dalam pertempuran melawan VOC di Batavia. Kesatuan dan kesetiaan orang-orang Bagelen mulai digoyah, tatkala di Kerajaan Mataram timbul pertikaian. Berdasarkan Perjanjian Giyanti , 13 Februari 1755, atas prakarsa VOC Belanda, wilayah Bagelen (Purworejo) dibagi dalam dua bagian sebagian masuk wilayah Surakarta dan sebagian lagi masuk wilayah Yogyakarta. Namun pembagian tersebut tidak jelas batas-batasnya.”Tumpangpuruk, campur baur seperti rujak” Ungkap Laksono salah seorang peneliti. Pemecah belahan ini makin terasa tatkala abad ke-19 pecah perang Diponegoro.


Berdasarkan arsip, Karesidenan Bagelen tahun 1930 terdiri dari:
1. Kabupaten Ketanggong (Tanggung) dipimpin oleh Cakrajoyo atau Cakradiwirya (kelak menjadi Bupati Purworejo I, bergelar KRA Cakra Negara)
2. Kabupaten Semawung dipimpin oleh Sawunggalih .
3. Kabupaten Kutowinagun (Kebumen) dipimpin oleh Arung Binang ,
4. Kabupaten Reemo, (sekarang daerah Karanganyar Kebumen) dipimpin oleh Sindu Pati, dan
5. Kabupaten Urut Sewu (ledok /sekarang Kab.Wonosobo) dipimpin oleh Adipati Ario Blitar

Sejarah berdirinya Purworejo tak lepas dari sejarah kerajaan Kesultanan Yogyakarta. Setelah Perang Diponegoro Selesai maka daerah tersebut diambil alih oleh Belanda dan dijadikan karesidenan. Pada 13 Februari 1831. ketika masa Pemerintahan Cakra Negara. Pada tahun tersebut dibangun Masjid (saat ini masih ada disebelah barat alun-alun) serta bedug terbesar di dunia bedug PENDAWA. Serta membangun Pendapa yang juga terbesar di seluruh Indonesia (saat ini menjadi kediaman dinas Bupati Purworejo). Maka Belanda memberikan penobatannya menjadi Bupati Purworejo I karena jasanya mengalahkan Diponegoro.


Catatan lain menyebutkan bahwa Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesidenan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten. Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.


Bisa dikatakan Purworejo adalah kota yang dibangun oleh "Londo", dan yang khas Purworejo adalah "kota militer", beberapa asrama maupun bangunan tangsi belanda masih dapat dinikmati di tengah kota sekitar alun-alun Pordjo. Situs lainnya adalah Gang Afrika, merupakan tempat dari "Londo Ireng" yang konon di datangkan dari GHANA untuk membantu kumpeni menumpas perjuangan Indonesia, mungkin mirip pasukan Asia Selatan yang disebut GURKHA dulu. Selain itu di tengah kota juga terdapat kerkhof dimana konon dikuburkan disana adalah misionaris lawan maupun kawan dari Kyai Sadrach, serta juga beberapa militer. Sayangnya, kerkhof yang masih aktif digunakan itu rusak parah, mungkin tidak sampai 10 makam lama yang masih terlihat Epitaph. Penjarahan menggunakan truk dimalam hari dulu sering dilakukan, tak heran semua marmer putih hilang, dan beberapa makam terlihat dibongkar temboknya.


Sebelum ke kerkhof dan gang afrika di purworejo, saya sempatkan mampir ke masjid Al Iman Loano, yang konon di dirikan oleh Ki Cakraseorang tukang deres nira yang menjadi murid sunan kalijaga dengan nama populer Sunan Geseng. Masjid ini diduga didirikan sebelum masjid demak. Hingga kini konon tiang soko-nya masih asli. Keistimewaannya, selain tiang penyangga masih asli dengan gaya masa lalu, kayu bagian atas menyimpan guratan berbahasa Arab tentang doa dalam salat, Masjid Loano juga pada bagian puncak bangunan masjid ada Mustaka dan kayu petunjuk yang dapat berubah-ubah. Konon, perubahan kayu petunjuk menunjukkan tempat adanya musibah di Indonesia.Sunan Geseng ini pada catatan lain adalah juga Adipati Cakranegara, orang yang membangun masjid agung purworejo dan membangun bedug pendowo sekaligus orang yang kemudian membantu belanda dalam menumpas pemberontakan Diponegoro. Oleh Kumpeni, Cakranegara kemudian dijadikan Bupati pertama Purworedjo. Perjalan saya di karesidenan Bagelen berhenti di Klepu Kutoarjo (dulu dikenal dengan nama Semawung), bertemu dengan anak-anak tercinta. Jumat Jam 3 dinihari, dari klepu saya menuju ke Stasiun Kutoarjo menjemput istri tersayang yang datang menggunakan KA Sawunggalih Utama he he he. 


Setelah paginya mengantar dan menjemput alin sekolah, saya kemudian bergerak lagi menuju jogja, melewati pom bensin andong yang jalan ke arah selatannya adalah menuju makam Kyai Sadrach dan gereja karangjoso. Saya singgah di Alun-alun Kutoarjo (Tordjo), sebuah rumah kawedanan ada disana, sempat digunakan sebagai museum tosan aji sebelum dipindahkan ke purworejo. Saya cukup terganggu dengan aktifitas pengecatan pada sebuah tandon air tinggalan Belanda, warna biru khas partai mendominasi. Mungkin untuk menyenangkan presiden baru yang mertuanya berasal dari karesidenan ini. Jadi ingat masa lalu dengan teror warna "Kuning" yang kondang dengan nama Kuningisasi.


Dari kutoarjo saya menuju purworejo, sekali lagi menikmati kota khas militer tinggalan londo ini, untuk kemudian meninggalkan masa kumpeni menuju masa hindu-budha/prasejarah lagi. Ya menuju Goa Seplawan yang ada candinya, dari Pertigaan bagelen dekat makam Nyi Bagelen saya belok kiri. Perjalanan penuh perjuangan dilakukan hampir 2 jam, aspal protol dan jalan tanjakan yang memaksa Suprafit yang saya tunggangi hanya mengenal 2 gigi: Gigi 1 dan Gigi 2. Goa Seplawan terletak dalam wilayah Kaligesing, Purworejo yang sudah mepet dengan wilayah kulonprogo. Perjalanan penuh perjuangan terbayar setelah sampai lokasi, tempat yang indah di puncak bukit, di gardu pandang jika tidak berawan kita bisa menikmati wates dan bahkan jogjakarta. Sayang saya sendiri hanya berada di sekitar mulut gua, lha peteng je ... ndak bawa sentolop. Yang menarik adalah ada reruntuhan candi disana, adapula cungkup yang berisi lingga yoni.


Goa ini memiliki panjang + 700 meter dengan cabang-cabang goa sekitar 150 – 300 meter dan berdiameter 15 meter. Sehingga untuk masuk ke dalam goa, pengunjung harus menyusuri anak tangga menurun. Dari mulut goa itu saja keindahan ukiran batu di dalam goa sudah terlihat jelas. Makanya tak jarang pengunjung betah berlama-lama tinggal di dalam goa tersebut. Bahkan terkadang ada orang yang sengaja masuk dan tinggal selama beberapa hari di dalam goa untuk melakukan ritual. Dan hal ini bisa diketahui dari aroma hioswa dan minyak wangi yang menyeruak dari salah satu ruangan di dalam gua tersebut. Karena agaknya ruangan tersebut memang kerap dipakai untuk menggelar ritual. Ritual di dalam goa itu sebenarnya adalah rangkaian dari ritual yang biasa dilakukan di Candi Gondoarum yang berada tidak jauh dari Goa Seplawan. Candi Gondoarum sendiri saat ini nyaris tak berbentuk lagi. Yang tersisa hanyalah bekas-bekas pondasi dasar candi, yang sepintas terlihat mirip batu biasa yang berserakan. Hanya saja yang membedakan adalah, adanya beberapa guratan ukiran pada beberapa sisi batu yang bila dirangkai bisa saling berhubungan. “Candi ini diduga lebih tua dari pada Candi Borobudur. Dan disebut Gondoarum karena waktu lingga yoninya diangkat, keluar semerbak bau harum. Sehingga sampai sekarang tidak ada orang yang berani berbuat jelek di tempat ini.“ Letak lingga yoni itu sendiri tepat di samping candi, dan sekarang telah dibuatkan satu cungkup sederhana untuk melindunginya. Sebenarnya pihak museum berniat mengamankan benda itu. Namun sepertinya “penunggu“-nya tidak mengijinkan. Sehingga sampai sekarang batu yang merupakan simbol penyatuan kehidupan tersebut tetap dibiarkan di tempat semula.


Setelah puas mengatur napas yang mengkis-mengkis naik turun di area Goa Seplawan, saya kemudian melanjutkan perjalanan menuju jogja. Dan jalanan membawa motor saya menuju kokap. Di perjalanan saya melihat 2 papan petunjuk adanya vihara, sempat berhenti dan ngobrol dengan seseorang sambil melihat waduk sermo dari ketinggian, menurutnya di area tersebut memang masyarakatnya kalau tidak Islam ya penganut budha. Dalam perjalanan menuju Kokap, saya cukup beruntung sempat tahu ada Situs Gondotirto yang ada di dusun Tirto, desa hargotirto kecamatan kokap, cukup mirip dengan situs ranggapati di bogor. Setelah melalui jalan berliku memutari waduk sermo yang sejuk dengan area suaka margasatwa-nya ... akhirnya kota Wates menyambut saya. Motorpun kemudian dipacu menuju Jogja Utara



dirangkum dari berbagai sumber oleh Cuk Riomandha pada 30 Oktober 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar