Di jalan pulang Surabaya
Tidak untuk menembakmu, bung ! *
Perjalanan ke Surabaya kali ini cukup membuat perasaan campur aduk, tak hanya karena saya lahir dan menikmati masa-masa di kota ini, namun karena situasi perjalanan saya itu sendiri. Saya harus bisa berada dan berpindah dari beberapa dimensi ruang dan rasa. Satu kali saya harus menjadi profesional untuk lembaga yang menggaji saya, kali lain saya harus berada di suatu tempat untuk membuat dokumentasi, dan pada dimensi yang lain saya harus melihat papa tergolek.
Melihat botol infus, pil yang harus diminum papa bisa jadi sama dimensinya dengan ketika melihat rumah ibadah tak bisa di akses oleh kawan-kawan penyandang cacat atau bisa jadi juga sama dimensinya dengan melihat arca-arca di kompleks joko dolog yang tak utuh lagi ... rasanya ada setengah hati kita yang teriris.
Melihat papa yang semangat berjuang makan 3 sendok bubur atau sekedar jalan-jalan di sekitar rumah sakit, bisa jadi berada dalam dimensi yang sama ketika kawan-kawan penyandang cacat dengan gagah berani menggugat setahun Pakde karwo - Gus Ipul, atau bisa juga berada dalam satu dimensi dengan senyum pak Abdul Ghofar Juru Kunci Makam Joko Jumput serta keterbukaan pengurus Klenteng jagalan menerima kehadiran saya atau sama dengan dimensi melihat senyum istri saya menikmati tutti frutti di Zangrandi (akhirnya).
Semua dimensi tersebut saya lalui dalam perjalanan ini, rona nostalgia, sejarah dan ketakutan akan hari esok mewarnai hati. Pepatah tua mengatakan bahwa "hidup adalah perjalanan" karenanya saya mencintai hidup, seperti siklus hidup itu sendiri: mensyukuri kelahiran, menghormati pernikahan dan ikhlas kepada kematian. Berusaha untuk mampu berada dalam beberapa dimensi dan melaluinya, kadang membuat saya merasa gila, namun saya pun meyakini pepatah tua yang lain "hanya orang gila yang benar-benar menikmati hidup dengan bahagia".
Saya ingat saat masih SD, mama pernah menitipkan saya pada Rhoma Irama ... tepatnya ketika beliau harus kulak sesuatu di toko Ali Blauran, pada saat yang sama saya berada di dalam bioskop Garuda menonton film "Perjuangan dan Doa", saya sendiri tak ingat film-nya karena saya lebih sibuk tertidur atau memamah biak kue rangin. Meski papa tak menonton film tersebut, tapi saya meyakini juga bahwa beliau sepakat atas judul film itu, hidup adalah perjuangan dan doa. Seperti saat beliau menghormati pilihan saya untuk keluar dari IESP Unair sebulan setelah terdaftar. Saat ini judul film itu terasa mengisi hari-hari keluarga kami ... papa masih berjuang, begitu pula dengan mama dan adik-adik saya, semoga saja kami semua dapat ikhlas melaluinya ... seperti kami tersenyum dan bersedih dalam satu waktu, tertawa dan menangis secara bersamaan ...
doakan saja,
selamat hari kasih sayang
Oh Surabaya
Oh Surabaya (tempatku dibesarkan riang)
Oh Surabaya (tempatku dibesarkan senang)
Oh Surabaya
Tatatatata tatatata wow! **
(Jogja utara, hari valentine 2010 sesaat setelah tiba dari surabaya)
===========================================
* "Bedil Sepuluh Dua" dari album Nyanyian Tambur Jalan - Leo Kristi
** "Oh Surabaya" dari album Nyanyian Fajar - Leo Kristi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar