Sesungguhnya sejak kamis dini hari, ketika Pippo Inzaghi, Gonzalo Higuain dan Pedro De Leon yang membuat AC Milan dan Real Madrid berbagi angka 2-2, gemuruh merapi telah menjadi original music soundtrack dalam hariku. Namun, ketika aku kemudian sekitar pukul 5.20 pagi menuju barak Wonokerto dan Girikerto, suasana masih kondusif. Kamis pagi, putriku Alin masih UTS dua mata pelajaran. Rabu sore istriku telah kembali menuju ke Bogor. Kamis siang diputuskan bahwa hari itu juga anakku akan menuju rumah mertua di Klepu Kutoarjo.
Setelah pagi hari sempat briefing kepada para relawan yang bekerja untuk kantorku, bahwa mereka masih bisa melakukan layanan fisioterapis di lokasi-lokasi terpilih sambil selalu waspada. Fisikku mulaidrop, karena flu melanda. Selepas maghrib, bersama pak Narno aku menuju ke Utara. Bersama Zora dan Alin sudah siap menunggu untuk bergerak menjauhi merapi. Mak War yang selama ini menjaga anak-anak ikutan untuk menenangkan anak-anak di perjalanan. Awalnya beliau sekeluarga sudah kutawari untuk ikutan ke Kutoarjo juga sejenak, namun karena anaknya bekerja maka opsi itu tak ia ambil.
Ketika aku mulai meninggalkan rumah, concerto gemuruh merapi telah menjadi lagu mars yang gegap gempita, kaca-kaca bergetar dan hujan abu tipis mewarnai rumah tercinta. Sejak berada di Tempel lampu sudah dipadamkan, Muntilan seperti kota lumpur karena pekatnya abu merapi yang basah hujan. Kita harus berjalan pelan supaya tidak membahayakan orang lain, kami sempat melihat sebuah Terios merobohkan tong di pertigaan Gulon, karena licin dan gulita. Menjelang Salaman, kaca depan mobil sewaan kami sudah mulai pekat debu dan air wiper sudah habis. Setelah tak lagi bisa mengikuti mobil yang jalan di depan kami, mobil kami pun berhenti, namun tak lama berselang sebuah truk mengguyur kaca kami dengan air aqua, dan sedikit benderang lagi. Orang baik ada dimana-mana! Kami juga sempat berhenti mengisi air wiper dan membeli aqua sebagai antisipasi sebelum pertigaan Kaliangkrik. Listrik baru mulai menyala selepas kami sampai di daerah Bener. Namun hujan basah abu merapi masih turun hingga kami tiba di Klepu.
Alhamdulillah, Alin langsung tertidur pulas setiba di Klepu, sementara Zora terlihat nyaman. Setelah istirahat sejenak sambil ngeteh dan ngopi, maka aku, Pak Narno dan Mak War kembali menuju Turi. Karena rute Turi-Kutoarjo via Salaman yang biasanya ditempuh sejam semalam menjadi 3 jam, maka kami memutuskan melalui rute Kutoarjo-Turi via Wates. Meski hujan abu turun, tapi jalan tak begitu licin dalam sejam kami sudah sampai gamping. Sepanjang perjalanan, aku dan Mak War sudah tergeletak.
Menjelang dinihari, aku tiba kembali di Donokerto Turi. Sepanjang lokasi di Turi menuju rumahku orang-orang terjaga sambil membawa masker. Concerto Merapi dan Aroma Belerang berdansa keras. Mak War turun di rumahnya, disambut anaknya mbak Danik dan pakde Yanto. Aku menyampaikan untuk update info ke Kantor Kecamatan Turi atau Polsek Turi jika ada evakuasi. Hingga saat itu belum ada Alert Warning buat warga di Donokerto Turi. Masih terlihat pak RT dan beberapa tetangga kompleks keluar rumah mengamati merapi. Rumah debunya lebih tebal, aku kemudian beringsut mengambil hartaku: Laptop, Kamera dan Hardisk Eksternal serta surat-surat penting. Beberapa potong baju, celana dan underwear, duh aku meninggalkan Secang dan Jus Jambu di Kulkas. Concerto Merapi menggetarkan kaca rumah lagi(-lagi), saatnya kembali ke bawah. Awalnya memang mau tidur di kantor, tapi bukan karena evakuasi hanya karena memang motorku masih terparkir di kantor.
Di perempatan turi, jalan menuju arah Pakem sudah dihentikan polisi dari beliau dapat informasi bahwa Zona aman menjadi 25km (setelahnya aku tahu yang resmi adalah 20km) dan terjadi evakuasi dari barak Wonokerto, Girikerto, Purwobinangun menuju Stadion Maguwoharjo. Meski belum resmi aku dan (via sms istri) kemudian memberikan alert warning ke tetangga dan keluarga mak-War untuk prepare, dan tetap tidak panik. Mak-War keluarga sudah menuju rumah anakknya di Tempel, dan para tetangga berpencar menuju berbagai penjuru. Selepas tengah malam jalur menuju utara via Jakal ditutup karena konsentrasi untuk evakuasi menjauhi merapi.
Menjelang setengah 2 pagi, aku sudah berada di kantor. Mata tak bisa pejam, melihat TV rasanya emosi terus, yah mau bigimana lagi aku memang pengidap Hipertensi kok he he he. Facebook dan Live Streaming Jalin Merapi menjadi temanku kancilen hingga jam setengah 5 pagi, ketika aku memaksakan diriku untuk tidur. Berpuluh-puluh sms dan telepon dari para sahabat dan kerabat, tak semua sempat kurespon, maaf ya ... Hujan pasir dan kerikil dari erupsi dinihari melanda hampir semua jogja, mungkin juga lebih besar di Turi ... hiks.
Pagi ini diriku sedang luruh seperti debu, masing mengantuk, mak war sekeluarga gak bisa dihubungi, flu menurunkan drastis energi (mbok ya lebih baik flu itu bisa menurunkan lemak tho ya). Seperti perasaan para pengungsi lainnya, pertanyaan ”kapan iso mulih” berdengung seperti gelegar merapi di kepala. Berita gembira di pagi ini adalah Liverpool menang 3-1 atas Napoli ...
Jadi begitulah, All We Are is Dust in The Wind* …
Merapi mengajak kita berdansa: When we dance, angels will run and hide their wings.**
Marilah bersabar sampai When The Music Over***
Salam Cihuy ... selalu !!
Terima Kasih buat semua Relawan dan pihak lain yang telah bekerja keras untuk merapi respons ini !
Anda semua sangat Cihuy Luar Biasa ... TABIK !
Aku suka pada mereka yang berani hidupAku suka pada mereka yang masuk menemu malamMalam yang berwangi mimpi, terlucut debu......Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !(Chairil Anwar, 1948)
-------------------------------------------------------------------------------------
* KANSAS
** STING
*** THE DOORS
PS: kepada semua sahabat, selalu waspada dan tidak panik ya !
waspada jalanan jogja pliket karena abu dan basah hujan ...
oleh Cuk Riomandha pada 05 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar