Semalam berdiskusi dengan sahabat dari negeri matahari terbit mengenai “berbahaya”-nya Visual Culture apalagi dengan pemutakhiran ruang social networking macam Facebook, Twitter, Blogspot dan lainnya yang mungkin dulu belum sempat dianalisa mendalam oleh Roland Barthes atau Susan Sontag. Saya belajar banyak karena sahabat tersebut sangat mumpuni untuk menjelaskan soal Visual Culture, Privacy, Regulasi ataupun Hidden Impact.
Sejujurnya ini merupakan diskusi lama yang selalu hadir sejak saya mencuri dengar dari PM Laksono di kelas ETNOFOTOGRAFI. ”Melalui kamera, sepersekian detik sesungguhnya telah terjadi pembunuhan atas subyek menjadi sebingkai potret. Di kelas itu pula diskusi soal the Author is Dead hadir melalui wacana “out of frame” bahwa foto tertentu dapat memancing diskusi yang lebih luas dan tak terkontrol. Mendiskusikan soal tersebut kemudian dianggap lebih berfaedah daripada sekedar diskusi soal ISO, Speed atau Diafragma meski tanpa pengetahuan teknis memadai, proses Camera Obscuradan Camera Lucida bisa jadi gagal.
Meyakini “ke-berbahaya-an” Visual Culture dan melihat Kamera sebagai “alat kuasa”, kawan-kawan seperti KAMPUNG HALAMAN atau ETNOREFLIKA kemudian bahkan “memberikan” kesempatan menjadi “penguasa visual” kepada “orang biasa”. Menampilkan sesuatu dalam bingkai visual tak lagi menjadi dominasi otoritas tertentu, semua pihak berhak mem-visual-kan otobiografinya sendiri. Antropolog yang baik tak hanya bekerja dengan Liyan tapi juga mestinya bekerja untuk Liyan.
Gerombolan Pemburu Batu (BOL BRUTU), setahun terakhir secara sporadis mendatangi berbagai tempat bersejarah maupun tempat dengan kisah tersembunyi serta kemudian secara bertubi-tubi pula mengabarkan hasilnya, salah satunya melalui Facebook. Respon cukup variatif akan kenarsisan kami dari aktivitas yang sudah Nyandu ini: Nyandi itu Nyandu! Tanpa perlu diingatkan sesungguhnya kami merasa gelisah, terutama mengenai Privat-Publik maupun Respek terhadap kepercayaan setempat. Kami akan menutup lensa kamera di lokasi-lokasi yang memang dilarang untuk dipotret, dan kami juga akan berusaha tak mengaplot hal yang sifatnya sangat pribadi. Sesekali kami terpeleset, sesekali kami juga nekat karena alasan tertentu.
Museum memiliki regulasi tiket dan di beberapa museum dilarang untuk memotret. Situs-situs yang pernah di datangi BOL BRUTU ada yang seperti museum, ada yang tidak. Pertanyaan lanjutannya, bagaimana jika tak semua orang baik-baik yang mengakses Ziarah Visual dari BOL BRUTU tetapi juga para ”maling benda heritage”? Apakah itu kemudian menjadi tanggung jawab BOL BRUTU? Menurut saya, memang cukup naif jika menganggap kami menjadi sumber informasi utama, mengingat paman google menyediakan informasi yang lebih luas (termasuk untuk kami).
Boleh tidaknya kami mem-publik-kan koleksi museum atau situs-situs insitu memang akan menjadi debat panjang. Pada titik tertentu isu soal ”kelas” bisa saja muncul, tak semua orang bisa dengan mudah mengakses Museum atau Situs Insitu, regulasi dari "rezim intelektual menengah atas" membatasinya. Ketika Putu Sutawijaya ke Paris beberapa waktu lalu, saya (yang tak pernah punya paspor ini) berharap dapat ikut menyaksikan koleksi museum disana atau situs disana melalui mata kamera beliau. Ironis juga bahwa untuk mengetahui sejarah negeri kita sendiri, kita harus ke Leiden. Contoh yang lain: Arkeolog Indonesia bahkan tak sempat meneliti Candi Cebongan dan Prasasti-nya selain melalui studi pustaka. Sebaliknya, tanpa kita mem-publik-kan ziarah visual BOL BRUTU, pencurian dan perusakan di museum dan situs-situs telah terjadi sejak jaman sepur lempung. Jadi mestinya ke-(peng)-tahu-an ini bisa aksesibel untuk semua, inklusif!
Maksud baik kami adalah sepenuhnya untuk mempermudah akses informasi untuk para sahabat kami, sokur-sokur pihak yang berwenang kemudian memperbaiki fasilitas maupun keamanan di lokasi-lokasi yang terlihat rawan di foto-foto kami. Gola Gong di Balada Si Roy, kira-kira mengatakan: ”orang jahat akan selalu mengintai”, tapi ia juga mengatakan bahwa ”Orang baik ada dimana-mana”. Saya terbiasa mengatur ”Hanya Teman” untuk semua album foto di facebook, memilih hanya 100 orang dari 1000 teman yang bisa melihat sama artinya dengan saya meyakini 900 teman yang lain berpotensi jadi ”maling”.
Jadi, bolehkah soal maling dan sekuritas itu tak menjadi beban BOL BRUTU?
Jika Maksud Baik dan Prasangka Baik tak lagi cukup, apakah kami harus Berhenti?
Saya masih ingat juga Quotes dari Pak Laksono ”Mengingat untuk Melupakan”.
Di usia yang setahun ini, kami sangat terbuka dengan segala kemungkinan dan masukan.
Cuk-Jogjakarta 7 Oktober 2010
3 hari menjelang milad BOL BRUTU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar