Jumat 4 Februari, selepas BOL BRUTU Imlek trip di Semarang, aku masih melakukan Pilgrimage Trip di Berbah dan Wonocatur: Janjian untuk Jumatan di Masjid Wotgaleh, sekaligus melakukan ziarah visual di makam Panembahan Purubaya, sebuah kompleks makam yang penting bagi sejarah dinasti Mataram Islam. Aku menjemput Aa' Salim di depan Pura Jagatnatha sekitar setengah 12 siang, dan kami langsung meluncur. Selepas Sholat Jumat, kami melewatkan sosialisasi Narkoba yang dilakukan Pak Pulisi untuk segera melakukan ziarah visual ke kompleks makam wotgaleh. Makam (dan masjid) ini cukup unik karena terletak di area militer tersembunyi di rerimbunan, hanya ada satu jalan menuju ke lokasi ini karena lainnya sudah ditutup pagar oleh TNI AU. Di kompleks makam yang beberapa adalah makam keluarga yang mempunyai hubungan dengan "Mataram Islam" juga terlihat beberapa nisan dengan salib, yang menunjukkan makam disini bukan khusus Islam. Perjalanan relijius kesini memang penuh berkah, karena beberapa hari kemudian bisa narsis di SHOTS-KR, pertama kalinya dapat honor dari media ha ha ha ... maturnuwun.
Selepas dari Wotgaleh, kami kemudian makan siang di pertigaan Berbah dan selanjutnya menuju Yoni di Bendungan Sumber. Namun derasnya air yang mengalir disana, membuat Yoni tersebut sangat tidak menarik untuk di dokumentasikan karena hanya terlihat sedikit saja. Kami kemudian kembali ke arah barat: menuju Candi Klodangan, dengan jalan "standar" yang pernah aku lalui (menurut petunjuk Opa KB), jalannya sedang dilakukan pengerasan ... jadi cukup sulit untuk melintas dengan bongkahan batu kali yang agak tajam-tajam itu. Untunglah kami kemudian menemukan jalan pulang yang lebih aksesibel.
Selepas dari Candi Klodangan kami melewatkan Gua Siluman di Wonocatur karena sama-sama sudah pernah ziarah disana. Tujuan kami berikutnya adalah makam Patih Danurejo VII tokoh yang dikenal sebagai seniman yang mumpuni. Patih Danurejo VII dikenal sebagai patih yang pertama kali mengadakan pertunjukan wayang wong di luar tembok kraton melalui Langen Mandra Wanara pada prinsipnya merupakan bentuk sendratari dengan kostum wayang wong juga namun cerita yang dibawakannya bersumber pada cerita Ramayana. Hanya saja tari-tarian dalam Langen Mandra Wanara ini dilakukan dengan cara berjongkok dan hampir semuna dialog dilakukan dengan tembang. Makam ini berada di sebuah bukit kecil, kami mengambil kunci di rumah pak-bu alias yang berada sekitar 100 meter dari lokasi, kebetulan mereka berdua sedang sakit.
Selepas mengembalikan kunci, kami kemudian mencoba berkeliling di sekitar lokasi dekat bukit itu. Ternyata cukup banyak bukti fisik yang menunjukkan bahwa di sekitar lokasi merupakan peninggalan mataram islam, ada bekas-bekas seperti Pesanggrahan .. mirip di Sanapakis, Ambarbinangun, ataupun Warungboto, meski lebih sedikit. Apalagi di dekat sana ada Gua Siluman. Selain beberapa Gerbang dan batu bata disekitar bukit makam Patih Danurejo, kami juga melihat Gapura yang berada dalam lindungan pagar kawat khas BP3, dibalik tembok sebuah kos-kosan. Gapura ini dulunya terletak di lokasi yang kini menjadi ringroad, butuh banyak orang dan waktu yang tak sebentar untuk memindahkannya sejauh sekitar 200 meter dari lokasi aslinya.
Info menarik kami dapatkan bahwa di sekitar wonocatur terdapat sumur tua dan rumah jamban, yang dulunya merupakan bagian dari (mungkin) pesanggrahan wonocatur. Sumur tua itu berada hampir ditengah jalan, sementara rumahnya kini hanya digunakan untuk limbah batok kelapa. Pemilik area tersebut, dulu pernah diperingatkan oleh BP3 karena menggunakan sebagai rumah tinggal dan hampir akan dikeramik, duh. Sayang juga ia menjadi bangunan tersia-sia, karena yang berwenang tak berdaya melakukan perawatan secara rutin, hanya mampu memperingatkan dan menyiapkan denda saja.
Perjalanan Jumat itu kemudian kami akhiri di Masjid Pathok Negoro Ad Darojat Kauman Babadan, aku berhasil memaksa Aa' Salim untuk Sholat Ashar di Masjid (yang dikelola) Muhammadiyah ... ha ha ha. Masjid ini merupakan "masjid baru" karena yang asli dulu sempat dipindahkan ketika jaman jepang di Babadan Baru yang ada di Depok Sleman, masjid yang dipindahkan kini eksis dengan nama Masjid Sultan Agung. Pemindahan masjid dan penduduk kampung Babadan dilakukan karena area tersebut masuk sebagai wilayah militer Jepang. Jaman orde lama, kampung Babadan lama kemudian "hadir kembali" dan Masjid Pathok Negoro "dikembalikan" ke lokasi semula.
Selepas "mengembalikan" Aa' Salim di seberang Pura Jagathnata, bersama gerimis akupun menuju Jogja Utara ...
Oleh Cuk Riomandha · 18 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar