Jumat, 10 Juni 2011

Sepotong Kisah tentang DAWET IRENG BUTUH

Pada pertengahan 2003 ketika saya baru menikah dan mulai sering melakukan perjalanan jurusan Jogjakarta-Kutoarjo melalui jalur tengah (bukan selatan-daendels). Saya tertarik dengan 2 bakul "dawet ireng" yang mangkal di dekat pasar butuh (sebelum jembatan kalibutuh kalau dari arah jogja) serta 1 lagi mangkal di gubug persis setelah jembatan kalibutuh.

Menurut mertua saya, dulu (sekitar akhir 70an dan awal 80an) dawet ireng ini dijual secara pikulan oleh seorang bapak ia keliling disekitar Klepu-Butuh dan juga di pasar pituruh atau pasar butuh ketika hari pasaran tertentu. Pak Wagiman, demikian nama sebenarnya, awalnya seringkali mangkal agak lama di pertigaan Klepu. Seiring waktu, salah seorang anggota keluarganya kemudian membuka di dekat pasar butuh (sebelum jembatan kalibutuh dari arah jogja). Sementara ia tetap keliling kampung, serta mulai menerima pesanan jika ada hajatan di kampung sekitar situ. Tidak jelas apakah si bapak penjual dawet ireng pertama ini masih sugeng apa ndak. Tapi setelah penjual dawet keliling tak lagi hadir, mereka yang kangen dengan dawet ireng tersebut bisa menikmatinya di dekat pasar butuh tersebut, beberapa tahun kemudian (tidak jelas durasinya) muncul lagi penjual di gubug setelah jembatan kalibutuh.

Hingga lebaran pada tahun 2004, 2 penjual ini belum banyak saingan, meski saya melihat ketika mudik ke klepu, hadir penjual dawet ireng di pasar pituruh dan juga di pertigaan klepu. Namun setelah, booming acara kuliner di televisi sekitar 2005 hingga sekarang, terjadi pula BOOMING DAWET IRENG di purworejo. Mulai LOANO (jika anda menuju Purworejo dari Magelang) serta mulai BAGELEN (jika anda menuju Purworejo dari Wates) hingga Prembun dan Kutowinangun, serta dipelosok Wirun dan Kemiri kita bisa dengan mudah menemukan penjual dawet ireng apalagi ketika lebaran. Namun demikian tidak semuanya benar-benar Dawet Ireng yang dimasak dengan pewarna dari sekam kulit padi untuk hitamnya, serta bentuk dawetnya yang kecil-kecil mirip sedotan yang di iris-iris. Ada yang cuma menggunakan dawet biasa warna putih, lalu di hitam-hitam gak rata. Jadi kalau sabar antri di Pasar Butuh, cobain dulu disitu sebelum mencoba yang lain. Meski semuanya juga "asli" dawet, tapi merasakan "pencipta sejarah" tentu menjadi sesuatu yang berbeda.

Saya termasuk menyukai citarasanya, tapi dengan mengurangi kadar gulanya. Akan terasa eneg kalau kebanyakan gula. Untuk hidangan tambahannya, biasanya penjual dawet menyediakan kacang bawang dan tape ketan. Nah mencampur hidangan tersebut dengan dawet dalam mangkuk kecilnya, juga menjadi petualangan kuliner yang berbeda. 

Eh iya ... harga standar DAWET IRENG per-mangkok-nya Rp. 2.500,- Kacang Bawang Rp. 500,- s/d Rp.1.000,- lalu Tape Ketan Rp. 500,- cuma kalau pas lebaran atau musim liburan ada biaya tambahan untuk Parkir Mobil/Motor soalnya memang jalannya Rame dan sempit, Jalur Bis Jakarta/Bandung - Jogja.

OK, jangan lupa jika anda kebetulan lewat ... mampirlah dan cobalah DAWET IRENG BUTUH, PURWOREJO.

oleh Cuk Riomandha pada 28 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar