Kamis, 18 Agustus 2011

Alin & Zora: Being BOL BRUTU di Turi-Pakem-Ngaglik Sleman


Awalnya ini perjalanan pada Sabtu, 28 Mei 2011 ini adalah kencan bertiga bersama Alin dan Zora, untuk menyusuri jejak-jejak masa lalu yang tersebar tak jauh dari rumah: Situs-situs marjinal sekitar Turi-Pakem-Ngaglik. Namun kemudian dua perempuan puitis ingin bergabung: Bulik Bun-bun dan Bude Ninuk, jadi akhirnya perjalanan ini dilakukan oleh Pancuran kecepit 4 sendang :-p 

Pancuran Buto

Kita berjanji untuk bertemu di depan kantor kecamatan Turi, dan sambil menunggu Alin dan Zora kemudian menggambar di pinggir jalan, dengan buku gampar dan crayon yang dibawa dari rumah. Sedikit bosan, maka kemudian kami bergerak menuju Situs Potro di Purwobinangun Pakem, situs ini berupa Jaladwara serta (mirip) Peripih yang berada di "mBelik" dusun, masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Pancuran Buto. Kami kemudian kembali ke depan Kecamatan untuk menanti dua ibu kembali, Alin dan Zora kemudian menggambar kembali.

Monumen Salak Gading

Ternyata 2 ibu malah menuju Tempel, bukan Turi ... byuh! Kami bertigapun kemudian menuju Gabugan, untuk memuaskan rasa penasaran terhadap "Monumen Salak Gading". Monumen yang berada di belakang rumah penduduk awalnya kukira adalah Monumen Semen, tapi ternyata adalah pohon salak gading sungguhan. Monumen ini diyakini adalah tanaman salak gading tertua yang sudah menurunkan Salak Gading se antero Nusantara, Wallahu Alam. Di Gabugan kami kemudian juga blusukan ke makam dusun untuk mencari makam Nyai Ageng, namun kami tak berhasil menemukannya. 

Alin & Zora Kini dan Beberapa Abad Kemudian

Dua ibu kemudian sudah berada di warung sebelah puskesmas Turi, tak jauh dari Gabugan, maka kamipun kemudian berhimpun dan menuju Situs Cepet. Kali ini aku bersama Zora, sementara Alin diboncengin Bude Ninuk. Di makam dusun cepet, terlihat batu-batu candi digunakan sebagai pagar, dan di halaman makam tampat Yoni dengan ukuran yang cukup besar dengan model polosan. Sementara di luar pagar makam, tepatnya di bawah rerimbunan bambu, terdapat Yoni yang sudah tinggal separuh, namun Naga penopang ceratnya masih terlihat cantik: Hijau berlumut

Sendang Ngepas: Menunggang NANDI

Selepas itu, kami bergerak ke selatan untuk mampir ke Pasar Sorowulan, Srowolan sebutannya kini. Tempat ini adalah pasar jaman perjuangan, lokasi dimana kantor kecamatan pakem pertama kali hadir. Di dusun yang ditandai dengan batu lumpang sebagai monumen ini, pengetik naskah proklamasi Sayuti Melik, berasal. Pasarnya sendiri cukup menarik, karena besi-besi penopang tiang serta papan-papan petunjuk los jaman Belanda masih ada disini. Bergerak lagi ke selatan, kami kemudian tiba di Sendang Ngepas, tempat dimana saya dulu terpeleset dan kecemplung sendang serta hampir saja kehilangan 400D ... hiks. Sendang ini dihiasi beberapa arca yang ada di bagian utara, serta Nandi di bagian timur dan barat sendang.

Arca-Arca Situs Suruh

Selepas Ngepas, kami menuju ke dusun sebelah: Suruh! Demi untuk Arca belum jadi serta batu-batu candi yang hadir di makam dusun. Di situs ini kami sudah mulai lelah, tapi tidak Alin dan Zora, byuh! Zora sempat menangis karena terjatuh ketika berlari menuju pintu belakang makam, namun tak lama, ia sudah tersenyum ketika kemudian duduk berpose di sebelah arca penjaga makam dusun Suruh. Kami kemudian bergerak lagi ke selatan untuk makan siang di pojok lapangan Rejodani. Bakso 2 mangkok dan 1 Mie Ayam menjadi menu Aku, Alin dan Zora.

Makam Ki Ageng Sekar Alas

Dari pojok bakso kami bergerak masuk ke dusun tambakrejo, untuk mampir ke kompleks makam Ki Ageng Sekar Alas, makam ini cukup unik karena menggunakan Stupa sebagai nisan. "Makam Buddha" demikian orang sekitar menyebutnya. Catatan Sartono Tembi menyebutkan bahwa Ki Ageng Sekar Alas adalah pelarian dari Kerajaan Galuh Pakuan, Ki Ageng Sekar Alas dulunya bernama Pangeran Kusumajati. Ia adalah salah satu putra dari Sri Baduga Maharaja Jatiningrat. Semula Pangeran Kusumajati ini dic alonkan sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukan ayahnya. Akan tetapi Pangeran Kusumajati menolaknya dan kemudian mengembara hingga membuka alas disekitar lokasi ia dimakamkan sekarang.

Penampungan BCB Turi

Siang sebentar lagi akan terlewatkan ketika kami kemudian bermain air di Situs Jetis Jogopaten. Situs ini adalah sebuah sendang yang dihiasi 2 Kala serta 1 Kinara-Kinari yang sangat cantik. Alin dan Zora kemudian sejenak bermain-main dengan ikan-ikan yang gesit berlarian di sela-sela kaki kami. Awalnya selepas main air aku ingin segera menuju Turi, apalagi bun-bun sudah membungkus Lotis sejak dari Rejodani, namun Zora masih merengek "Ke tempat yang lain lagi!". Akhirnya kami kemudian mampir ke lokasi penampungan BCB Turi yang berada persis di depan lokasi Agrowisata Salak Turi. Zora kemudian berlarian di antara batu-batu masa lalu, sementara Alin sebelum menyusul menyempatkan diri untuk menggambar beberapa lembar. Aku, mbak Ninuk dan Bun-bun ... tentu saja mengatur napas dan ngeluk boyok ha ha ha

Lotisan

Sore itu kemudian kami tutup dengan lotisan di nDalem Pa-Cuk-an Turi, selepas mandi dan makan, sebelum jam 8 malam Alin dan Zora sudah kompetisi mendengkur, dan ayahnya menyusul tak lama kemudian setelah edit dan aplot foto ke pesbuk.

Turi-Pakem adalah salah satu tempat yang konon menjadi jalur peradaban Mataram Kuno antara daerah Klaten (Prambanan) hingga Dieng, sehingga jalur tersebut banyak ditemukan situs-situs dengan dua yang terakhir ketemu adalah Situs Liyangan dan candi UII. Situs-situs marjinal tentu saja luar biasa banyak jika kita mau menyusurinya, situs-situs yang tersisa 1-2 batu atau tersisa cerita "disini dulu pernah ditemukan batu candi"

Makam Gabugan, mencari Nyai Ageng ... ndak ketemu

Jadi kalau anda sempat mampir ke Turi dan ingin menikmati jejak-jejak masa lalu di sekitar rumah kami, Alin dan Zora siap membantu !

Sampai ketemu pada perjalanan berikutnya !

oleh Cuk Riomandha pada 19 Juli 2011 jam 10:49



Tidak ada komentar:

Posting Komentar