Dua hari ini rasanya aku sedang mengalami psikosomatis di pagi hari, dan di kantor. Setiap pagi, aku selalu bersin-bersin, keluar keringat dingin dan badan seperti demam, melayang ... Anehnya semua langsung sirna begitu keluar kantor ha ha ha. Sepertinya aku sedang mengalami apa yang juga (mungkiin) sedang dialami oleh hampir seluruh orang di penjuru Yogyakarta: Demam Royal Wedding. Selasa, 18 Oktober ... aku memaksa diri untuk mengambil cuti setengah hari demi mengobati demam tersebut. Tak sampai berapa lama, aku sudah berada di depan Kraton Yogyakarta berkerumun bersama para juru potret yang sibuk menguber para tamu yang baru keluar Kraton, juru potret itu menawarkan hasil potretan kilat itu kepada para tamu dengan harga tertentu. Aku pun sempat memotret para juru poto ceria ini, dan mereka bertanya, "Sesuk, metu teng KR napa Tribun mas?" ... "Fesbuk!" jawabku singkat, ha ha ha. Selepas reuni uluk-salam dengan Kyai Wiyadi, akupun kemudian bergerak ke utara.
Setelah sejenak anjangsana ke Alun-alun Lor itu, tak lama kemudian aku sudah memarkirkan motorku di Ramai Mall, untuk kemudian bergegas menuju kompleks Kepatihan. Aku melihat seorang ibu dengan sopan bertanya kepada penjaga gerbang, dan terjadi pembicaraan serius soal ijin masuk dan seterusnya. Buat aku itu adalah peristiwa menguntungkan, karena aku bisa langsung nyelonong masuk hingga pendopo Bangsal Kepatihan, sebelum akhirnya disuruh pergi oleh Satpol PP ... tanpa tanda pengenal serta tak memakai batik dan sepatu, ha ha ha. Alhamdulillah aku tetap bisa mengabadikan Masjid Sulthoni Kepatihan, meski tak sempat menemukan makam tua di kompleks Kepatihan itu (menurut Wisnu Hermawan, makam ada di basement ... sebelah mana?)
Selepas dari Kepatihan, aku bergegas menuju titik nol ditengah panas terik dan belum makan siang. Akhirnya sambil menunggu Edy Hamzah, aku menghabiskan 2 botol minuman, semangkuk Bakso dan semangkuk Empek-empek ... masih mbayar, yang gratis belum buka :-p Setelah bersua Edy Hamzah, kamipun kemudian berusaha mencari posisi yang pas, untuk bisa memotret pesta Dhaup Ageng ini. Tapi kami tak beruntung, karena Lantai atas Kantor Pos sudah terlebih dahulu terisi oleh para Sniper berbaju doreng. Aku kemudian meninggalkan Edy untuk bergerak menuju kerumunan di Utara titik nol.
Perjalanan ke Utara titik nol ternyata tak bersahabat untuk aku yang ingin motret, karena aku tak seberuntung Caesar yang bisa naik ke Lantai atas BNI, akupun juga tak bisa mengakses Resto Mirota Batik, sementara untuk menyeberang dan naik ke atap Pasar Bringharjo juga tak bisa lagi karena sudah penuh lautan manusia. Uyel-uyelan dan tersamul di antara ibu-ibu dan adik-adik SMP-SMA menjadi pengalaman buatku he he he aku sempat terjepit dan tersangkut dalam perjalanan menuju Ramai Mall. Sementara itu Angkringan, Mie Ayam, Ronde dan beberapa penjual Gratisan yang tersedia sepanjang jalan sudah ludes
Akhirnya aku kembali lagi menuju titik nol, dan di antara ribuan manusia ... rombongan penganten akhirnya lewat dengan riuh tepukan, lambaian dari ribuan pengunjung yang memenuhi jalan sejak Rotowijayan-Titik Nol- Achmad Yani-Malioboro hingga Kepatihan, akupun tak beruntung, karena tak bisa memotret pengantennya ha ha ha. Namun demikian, rasanya tetap puas menjadi bagian dari ribuan manusia yang berada di poros Kraton-Kepatihan sore ini. Bersama rombongan ibu-ibu yang sengaja datang dari Pekalongan urunan sewa mobil, bersama serombongan masyarakat dari Rongkop Gunungkidul yang rencananya akan menginap di Masjid Gedhe sebelum esok pagi menuju Terminal Giwangan untuk kembali pulang, serta bersama ribuan masyarakat lainnya yang sengaja datang untuk berpesta meski hanya sekedar melambaikan tangan untuk Dhaup Ageng ini. Selepas menanti berkurangnya kepadatan di warung pak Billy dan mbak Rus, akupun kemudian bergegas menuju Selatan, rencananya mau ke Sangkring ... namun ternyata kepadatan masih belum pudar setengah jam selepas Maghrib, ya sudah akhirnya aku menuju ke Jogja Utara: Home!
Terbukti "Monarki" itu luar biasa sodara-sodara, militansi rakyatnya, ceria masyarakatnya ... wah ... cihuy sekali deh. Bahkan sampah-sampah yang bertebaran sepanjang Malioboro akan menjadi rejeki juga bagi rakyat. Tampak sudah siaplah kalau memang mau jadi negara sendiri he he he, meski aku tetep mikir "arep tilik mbah-e Anak-anak di Bagelen ndadak pake Paspor" ha ha ha ... Refleksi lainnya adalah menjadi rakyan jela(n)tah juga asyik, biar gak bisa motret manten-nya tetep cihuy he he he ... Royal Wedding jelas lebih asyik daripada Reshuffle
Jadi yang pengen melihat potret manten-nya silahkan cek album teman-teman anda yang lain ... he he he
diaplot di Fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 18 Oktober 2011 jam 22:20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar