Ketika pertamakali membaca undangan pentas KATARUNG, ingatan saya melompat ke masa kecil di Surabaya, ketika saya mengagumi petikan gitar, ukulele dan suara parau tetangga sebaya yang menyanyikan “Bandar Jakarta” dan “Sinanggar Tulo”. Saat itu era 1980an, saya masih SMP dan banyak mendengar lagu-lagu dari Iwan Fals atau Doel Sumbang ketika nongkrong di gardu ronda. Hingga pada suatu saat, Ibunda marah-marah ketika mendengar Doel Sumbang menyanyikan lagu Juminah. “Lagu macam apa itu?”, seru beliau geram. Sejak saat itu sambil terus mendengarkan Doel Sumbang secara sembunyi-sembunyi, saya diperkenalkan oleh Ibunda pada lagu-lagu dari Leo Kristi, Gombloh, Franky & Jane dan Ebiet G. Ade. Tentu saja Leo Kristi sangat membekas karena ketika masih SD, ibunda pernah “menyiksa” saya dengan mengajak berkeringat kepanasan menonton pentas-nya di Gelora Pancasila Surabaya. Gombloh … siapa orang Surabaya yang tak mengenalnya? Penyanyi bohemian yang suka membagi-bagikan bh dan cd baru untuk para penghuni Dolly. Ketika SMA saya pernah memiliki grup band, sebelum pentas pertama Kantata Takwa di Jakarta, grup saya sudah ditonton ribuan orang di Tambaksari. Saat itu kami membawakan lagu Bento, Cinta dan Dirimu (SWAMI dan Gank Pegangsaan). Tentu saja ribuan orang datang saat itu dari berbagai penjuru Jawa Timur, karena kami adalah band pembuka dari Ceramah Zainuddin MZ (alm) … hi hi hi
Pengembaraan apresiasi musik saya semakin luas ketika saya hadir di Jogjakarta pada tahun 1992. Pentas Sawung Jabo di Gedung Pusat pada 17 Agustus 1992 adalah awal saya terjebak semakin dalam. Apalagi kemudian lagu-lagu jenaka dan Simon Garfunkel sering saya dengar dari rombongan Sastro Muni seperti Budi Ngen, Cak Ut, Agung Gondrong, Kunh, Kasut, Lik Cung, Gati Andoko, Melur cs … termasuk juga goyang reggae Krishna Encik bersama Bale Bengong-nya. Beberapa kali saya memburu pentas-pentas sejenis di sudut-sudut Jogja bersama Aant Subhansyah, misalnya, ketika menikmati duet legenda yang sudah almarhum, Sapto Raharjo dan Inisisri yang membawakan komposisi Lingkaran di Joglo Jago. Bersama Aant, Fifi dan Lono Simatupang, saya pernah memburu pentas Muriah Budiarti, Ya Soedah, Acapela Mataram, Kua Etnika, Untung Basuki dan Kelompok Sabu-nya hingga ke Solo. Beberapa pentas di Malioboro, membuat saya mulai mengenal musik dari Kelompok GIRLI, Classical, Soto Sulung, Kenyut dengan Kubroglow-nya, Anto Baret, Mas Anies, Sujud Kendang serta tentu saja KPJ Malioboro.
KATARUNG seolah mengajak saya reuni. Pentas dimulai dengan menyanyikan Indonesia Raya dipimpin oleh Mukti-Mukti, penyanyi yang paling saya tunggu malam itu. Dengan sistem undian, para penampil bernyanyi secara bergilir. Giana Sudaryono penyanyi paling cantik malam itu, membuka acara dengan lagu-lagu cinta yang jujur kepada orang-orang terdekatnya, suara dan permainan gitarnya secantik orangnya. Penampilan kedua adalah penampilan sangar aktor spesial antagonis di sinetron-sinetron: Egi Fedly, lagu, lirik dan suaranya sangat syahdu dan lembut, sesekali suara harmonikanya menimpali asyik sekali. Biar sangar tapi romantis he he he
Penampilan berikutnya adalah Kenyut Kubro, sangat khas dengan lengkingan suara “iye .. iye”-nya, asyik sekali. Doni Suwung menyusul kemudian, suara parau-nya mengingatkan pada Sawung Jabo, orang yang juga sempat berkolaborasi pada salah satu lagunya. Kemudian Mukti-mukti tampil dengan gaya khasnya. Lagu-lagu Pak Kepsek dari kelas AKSAKUN (Aksara Kuno)-nya Sinta Ridwan ini memang sedang sering saya dengarkan akhir-akhir ini, setelah sebelumnya pernah saya nikmati ketika saya mulai “mengenal” beliau di Multiply sekitar 2008-2009. “Menitip Mati” adalah salah satu lagu favorit saya, meski sebetulnya saya menunggu “Kemudian Aku Mati Sebagai Anjing”.
Sang Legenda dengan teriakan yel-yel dan hentakan kaki saat bersama Kelompok Sabu hadir kemudian: Untung Basuki. Sedikit masalah teknis dengan pergantian beberapa gitar, tak memudarkan kesungguhan beliau atas pilihannya sebagai penyanyi "Puisi Balada". Usia boleh bertambah, tapi energi bernyanyi tak berubah sejak pertama kali saya melihatnya pada 90an. Ary Juliyant menyusul kemudian, menggesek gitar, meniup 2 seruling, hentakan tamborin di kaki serta permainan gitarnya, sudah menunjukkan beliau adalah soloist yang multitalenta. Lengkingan suaranya yang tanpa cacat adalah impian banyak vokalis. Ia adalah penyanyi paling interaktif malam itu dengan penonton, sangat menghibur. Selanjutnya, sepertinya bukan kebetulan kalau Krishna Encik menjadi penutup KATARUNG, rektor FMI ini adalah penyanyi dengan massa terbanyak. Pak Rektor yang hitam manis ini menyanyikan beberapa lagu syahdu mendayu yang membuat hati menjadi rindu. Saya bahkan hampir mbrebes mili ketika ia menyanyikan lagu untuk Gus Dur sebagai penutup. Semoga sukses dengan proyek Low Budget-nya Pak Rektor !
Tentu saja 15 Maret 2012, akan selalu menjadi bagian dari “sejarah tontonan” saya. Sejak membaca undangan beberapa hari lalu, saya sudah minta ijin kepada istri dan anak saya untuk pulang malam, bahkan jika perlu nggak pulang demi Katarung. Namun demikian ada tiga hal yang agak kurang sreg buat saya: (1) Keberadaan kursi sofa dan cara meletakkan karpet panggung (2) lighting yang di awal pertunjukan agak cukup pelit untuk fotografer (3) Simbah Siter yang tidak dijadikan “bagian utuh” dari pentas KATARUNG. Tapi untuk pentas yang pertama, sudah sangat luar biasa. Semoga pada KATARUNG#2 bisa lebih ciamik lagi, dan semoga saya juga siap hadir memburunya.
Buat saya selalu ada ruang di hati saya untuk mengapresiasi pementasan seperti KATARUNG, seperti juga dari Ully Sigar Rusady, Rita Rubby Hartland, Elly Sunarya, Abah Iwan, Sandy Sandoro, Anda dan lain-lain, siapa tahu mereka akan hadir di KATARUNG berikutnya. Terima Kasih KATARUNG !
Yogyakarta, 16 Maret 2012
Cuk, tukang potrek dan penulis pocokan untuk Facebook :-p
-------------------------------------------------
"KATARUNG" Soloist Show, 15 Maret 2012 di Omah Panggung Sudaryono
'KATARUNG' adalah dua frasa, antara "Kata" dan "Tarung" yang dapat bermakna: "Kata" adalah syair dalam sebuah lagu yang terungkap dalam karya, dan "Tarung" adalah sebuah ruang pergesekan dan dialektika kreatifitas kompetitif yang asyik, nyedhulur (istilah Jogja) sekaligus menjadi wadah untuk saling menjunjung harkat, martabat dan harga diri kemanusiaan manusia melalui bahasa universal musik dalam rasa dan cinta. Dengan demikian, "Katarung" adalah ulak-alik antara teks dan simbol, menyatu dalam sebuah rasa dan makna yang eksotis. 'Katarung' juga dapat dimaknai sebagai simbol geliat kemapanan kreatifitas, kemapanan musikalitas dan setumpuk dialektikanya, hingga kemapanan sosial yang semu. Fatamorgana kebudayaan yang bersifat massif dan terjebak ke dalam sebuah arus besar kebudayaan dunia yang rapuh, keropos dan tak mengakar ke bumi manusia. Salam, MUSIK Bergeraklah Selalu !
(dikutip dari Undangan)
Silahkan cek foto-foto pementasannya di:
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10150593163306751.376413.598501750&type=1
diunggah di fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 16 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar