Sabtu, 28 Juli 2012

Catatan Kecil dari Museum Mpu Tantular


Setelah melalui proses perjuangan yang panjang, akhirnya pada Selasa 18 Oktober 2011 pukul 11.40 WIB, Pramono Anung mengetok palu pengesahan pada Sidang Paripurna DPR yang dihadiri seluruh fraksi dan Komisi VIII sepakat mengesahkanConvention on the Right of Persons with Disabilities (CRPD/ Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas) menjadi undang-undang.

Ratifikasi tersebut artinya Indonesia menyepakati CRPD, termasuk menyetujui Pasal 1 tentang Tujuan dari Konvensi:“Tujuan dari Konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara penuh dengan setara oleh semua orang penyandang disabilitas, dan untuk memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka”

Salah satu hak yang wajib dipenuhi negara adalah seperti yang termaktub pada Pasal 21, kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta akses terhadap informasi. Pada bagian (a): (Negara) Menyediakan informasi yang dimaksudkan untuk konsumsi masyarakat umum kepada penyandang disabilitas dalam bentuk yang dapat diakses dan teknologi yang tepat bagi berbagai jenis kecacatan pada waktu yang tepat dan tanpa adanya biaya tambahan; (b) (Negara) menerima dan memfasilitasi penggunaan bahasa isyarat, Braille, komunikasi augmentatif dan alternatif, serta semua sarana, cara dan bentuk komunikasi lain yang dapat diakses, berbagai yang dipilih oleh penyandang disabilitas dalam interaksi formal.

Informasi akan sejarah adalah salah satu hal yang juga HARUS bisa disediakan oleh Negara, dan Museum Mpu Tantular sudah memulainya dengan Ruang Tuna Netra. Di ruang ini, tersedia replika beberapa artefak yang bisa dijamah dan diraba serta diberikan keterangan dengan huruf Braille. Tentu saja ini belum cukup, isu bangunan yang bisa diakses oleh seluruh penyandang disabilitas pun belum memadai karena misalnya pengguna kursi roda masih kesulitan mengaksesnya, belum hal lain, misalnya soal penguasaan bahasa isyarat dan tambahan informasi cetak lainnya.

Dengan segala ketersediaan perangkat undang-undang, sumberdaya manusia (arkeolog, arsitektur, psikolog, aktivis difabel dll) saya kira masih mungkin untuk duduk bersama serta mulai bekerja membangun desain fasilitas yang aksesibel bagi penyandang disabilitas, tak hanya di museum namun juga di Bangunan Cagar Budaya lainnya, tanpa kita harus melanggar UU-BCB dengan merusak Bangunan Cagar Budaya tersebut. Informasi yang memadai melalui berbagai media cetak yang aksesibel juga menjadi salah satu metode yang bisa terus direproduksi.

Jadi kehausan informasi akan sejarah bangsa ini, hasrat untuk blusukan, serta keinginan narsis di keindahan Bangunan Cagar Budaya tak hanya milik BOL BRUTU atau Aktivis Heritage saja, tapi juga masyarakat umum dan tentu saja … seluruh Penyandang Disabilitas !

Jadi mari berpikir untuk “Disability Mainstreaming” mulai sekarang !


diunggah di fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 15 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar