Kamis, 17 November 2011

Alkisah Tentang 2 Tahun BOL BRUTU: "Ayahku bekerja sebagai BOL BRUTU"


PROLOG
Pada suatu pagi, pada sebuah buku pelajaran, Alin mengisi “Kegiatan Keluargaku”: Ayahku bekerja sebagai BOL BRUTU ... Sebelum berangkat kerja, Ayahku menyiapkan kameranya. Tafsir Alin atas “kerja” ayahnya, sesungguhnya menunjukkan tentang kecanduanku atas blusukan, nyandi itu nyandu. Senyatanya BOL BRUTU-lah yang memang membuatku keranjingan untuk melakukan perjalanan, baik bersama para Brutus, bersama Alin dan Zora atau sendiri saja selama dua tahun terakhir. Setiap akan ada perjalanan (dinas), saya selalu menyempatkan untuk mencari informasi terlebih dahulu tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi dan didokumentasikan. Tapi BOL BRUTU itu apa sih?

Tentang GANA dan BOL BRUTU
Logo GANA hadir lebih dulu daripada nama “BOL BRUTU”, logo yang merupakan hasil pertapaan Kris Budiman di Candi Morangan selama beberapa abad. Ini kesaksiannya:

“kalo kita pake logo gana bisa seolah-olah lebih "filosofis", cuk... biar ketok serius. figur gana bisa kita reka-reka sebagai misi gerombolan yg seakan-akan mulia: menopang atau menyokong segala upaya yg berkaitan dgn preservasi atau whatever, entah candi atau bangunan2 dan segala macam peninggalan bersejarah yg lainnya. lagi pula, secara fisik si gana itu lutuna ruar binasa. dia gemuk-bujel, posenya jongkok seakan bengis, badannya kuntet mangkulangit... belum ada simbol lain yg lebih tepat untuk gerombolan kita, keknya, selain si dewa cebol ini.” 

Sementara melalui berbagai diskusi ceria yang melibatkan Rafael, Putu Sutawijaya, Davina Anggraini, Mas Ayu Kumala Yulia, Mahatmanto, Kris Budiman dan diriku, maka pada Maret 2010 terpilihlah "BOL BRUTU", kependekan dari geromBOLan pemBuRU baTU.

Mengingat makna sebenarnya dari BOL & BRUTU yang merujuk pada organ pembuangan, serta juga GANA yang kurang popular dibanding Arca Dewa-Dewi lainnya. Secara filosofis “othak-athik gathuk”, pilihan ini sedang berusaha memberi “nilai lebih” dari sesuatu yang selama ini dianggap tidak penting, (mungkin) tabu dan (tentu saja) marjinal.

Jadi kira-kira nama dan logo tersebut adalah dalam rangka kami melakukan aktivitas melihat dan memaknai kembali situs-situs marjinal yang selama ini terlupakan, sesuatu yang sebetulnya sudah lama dimulai oleh Risky, Pey, Agung Leak dan Jean Pascal Elbaz. Juga beberapa kelompok legendaris seperti pasukannya Landung Simatupang, Gati Andoko dan kawan-kawan yang melakukannya sejak Ringroad belum ada, atau rombongan para pertapa antro seperti Danu, Margono, Engel dan sejenisnya.


Tentang GEROMBOLAN
Gerombolan dipilih karena memang sejak awal kita suka bergerombol, ngruntel koyo mbako, untuk melakukan perjalanan bersama. Gerombolan dipilih karena BOL BRUTU bukan institusi resmi yang mempunyai visi dan misi tertentu, selain bahwa kita berbagi keceriaan, kebahagiaan, keindahan di Batu-batu yang kami datangi. Gerombolan ini sifatnya terbuka buat siapa saja, dari golongan apa saja … baik yang memiliki agama maupun yang baru memikirkan untuk akan beragama. Gerombolan ini memilih Media Visual, Teks dan Facebook sebagai alat pemersatu.

BOL BRUTU, semua yang terlibat didalamnya memiliki posisi yang (relatif) setara. Jadi meskipun Mahatmanto adalah seorang yang sangat menguasai soal Space & Place, tapi yang memikirkan untuk membuat denah situs-situs di Prambanan adalah Nikko, seorang lelaki tanggung yang (waktu itu) belum lulus kuliah dan menghabiskan waktu dengan pacaran dan menjadi penjaga warnet. Putu Sutawijaya yang rumahnya magrong-magrong itu bahkan sering (hanya) menjadi sopir dari perjalanan-perjalanan BOL BRUTU.

Kebhinekaan BOL BRUTU ini begitu cair, sehingga kita kadang bisa tenggelam di dalamnya. Tenggelam dalam keceriaan, tenggelam dalam perbedaan, tenggelam dalam kecanduan, tenggelam dalam ke-lebay-an. Untunglah selalu ada penyelam dan perenang yang handal sehingga kita bisa relatif cukup waspada kapan harus slulup kapan harus mecungul. Intinya, keanekaragaman individu itu bisa cukup saling mengisi dan membuat BOL BRUTU tetep cihuy

Tentang CITRA dan IDENTITAS
Mengingat sifatnya sebagai Gerombolan yang cair dengan kebhinekaan individu maka cukup sulit untuk melakukan Identifikasi BOL BRUTU dalam pencitraan seperti yang dibayangkan oleh Eriksen (1993: 117-118) yang mengatakan bahwa identitas dibangun dari seleksi dengan batasan yang bersifat semena-mena, hanya dari satu bentuk budaya yang dianggap sangat penting dan dapat mewakili secara keseluruhan. Melihat hal itu, dapat dilihat bahwa bagaimanapun juga, citra kolektif pun dibentuk oleh sekelompok orang. Citra kolektif tergantung pada subyektifitas. Eriksen juga mengatakan bahwa identitas selalu dibangun berdasarkan legitimasi sebuah bentuk lembaga yang berkepentingan.

Tanpa bermaksud menggugat maksud baik, percobaan yang dilakukan pada akun Twitter BOL BRUTU yang dikelola oleh perorangan. Para pandemen BOL BRUTU ternyata memiliki kesadaran kolektif akan sebuah Identitas ke-BOL BRUTU-an dan kurang setuju atas tafsir tunggal tentang ke-BOL BRUTU-an. Kenneth Boulding (1972: 41-51) menyatakan citra sebagai sebuah bentuk pengetahuan subyektif. Dari sudut pandang individu citra merupakan gabungan informasi dari pribadi individu serta pengetahuan budaya dari masyarakat atau publik. Salah satu bagian dari citra adalah sejarah terbentuknya citra itu sendiri, sebuah proses munculnya kesadaran tentang citra. Pada gilirannya, ketika sekelompok manusia berbagi citra yang sama maka rangkaian pesan-pesan yang diterima dalam membangun citra adalah identik, sehingga sistem nilai dari semua individu harus dilihat secara identik. Kasus atas akun Twitter BOL BRUTU adalah bagian dari sejarah kesadaran kolektif tentang pencitraan identitas dari BOL BRUTU.

BOL BRUTU memilih untuk berada di (ruang) aktivitas dokumentasi situs-situs marjinal serta (sekali lagi) berbagi keceriaan. BOL BRUTU tidak memilih berada di ruang-ruang yang sudah menjadi pilihan “gerombolan yang lain” seperti BP3, Aktivis Heritage (resmi), Balai Arkeologi dan sejenisnya, bahwa individu-individu di BOL BRUTU punya concern kesana itu sah dan sangat bagus. Namun perlu diingat, seperti yang pernah diungkapkan oleh Putu Sutawijaya pada MY-MAGZ:

“BOL BRUTU bukan komunitas berat yang mempelajari secara detail atau anggotanya harus hafal betul mengenai sejarah. Kami hanyalah orang-orang yang punya imajinasi sendiri tentang apa yang kami temui dan kami semua suka berpetualang”

Ungkapan Putu Sutawijaya tersebut bisa dipahami bahwa BOL BRUTU selalu mengakomodasi fantasi-fantasi personal, sekalipun sudah terbangun kesadaran pengetahuan kolektif akan identitas BOL BRUTU.

Ken Plumer (1994: 271) mengungkapkan bahwa identitas merupakan proses penamaan atau penempatan diri di dalam suatu kategori atau konstruksi sosial tertentu. Identitas sendiri juga merupakan sebuah konstruksi sosial, dalam arti kita mengekspresikan diri kita yang bisa diterima oleh orang “lain” dalam menilai identitas diri kita sendiri . Konsep identitas ini muncul ketika sesuatu hal berhadapan dengan sesuatu hal yang lain. Identitas kemudian merupakan sebuah batasan dalam rangka membedakan diri dengan yang lain.

Namun demikian, saya meyakini bahwa Identitas yang dibangun atas kesepakatan pengetahuan bersama dan kesadaran kolektif ini sifatnya akan negosiabel, karena semua individu yang aktif di BOL BRUTU memiliki kontribusi setara dalam membangun Citra Identitas BOL BRUTU, kemarin, sekarang dan esok.


EPILOG
Ini hanya sekedar tulisan sok intelek, yang ingin saya bagi atas tafsir pengalaman terhadap BOL BRUTU yang saya pahami. Sekaligus dalam rangka berbagi kebahagiaan dan keceriaan setelah 2 tahun, sejak saya, Kris Budiman, Putu Sutawijaya dan Ery Jabo melakukan perjalanan ke Situs-situs Kyai Sadrach di Purworejo. Perjalanan yang menjadi salah satu tonggak kehadiran BOL BRUTU, perjalanan yang membuat saya kecanduan kepada Candi, Makam, Rumah-rumah ibadah, dan bangunan tua lainnya … sebagai tempat yang asyik untuk di datangi dan di dokumentasikan.

Setelah tahun lalu milad pertama BOL BRUTU dirayakan di Kompleks Percandian Sengi dan Taman Jiwa, Muntilan pada 10-10-10, maka tahun ini BOL BRUTU akan merayakan Ultah keduanya pada 11-11-11. Disepakati pula bahwa 11 November 2011 adalah 3 x 24 jam, tanggal 12-13 November dianggap mangkir  :-d

Ok ini tafsirku, bagaimana dengan Tafsirmu atas BOL BRUTU?

SELAMAT ULANG TAHUN BOL BRUTU … AKU PADAMU !
BLUSUKAN MARAI TUMAN !
NYANDI ITU NYANDU !

=====================
Sumber Kutipan:
-  Kenneth E Boulding, “The Image”, dalam James P. Spradley (ed.), Culture and Cognition. San Fransisco: Chandler Publishing Company 1972
-  Ken Plummer, “Identity”, dalam William Outhwaite & Tom Bottomore (eds.), The Blackwell Dictionary of Twentieth Century Social Thought. Oxford: Blackwell Publishers 1994
-  Kris Budiman, Tentang Nama dan Logo Bol Brutu, Facebook Oktober 2011
-  My Magz Edisi # 7, Februari 2011
-  Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity & Nationalism: Anthropological Perspectives. London: Pluto Press 1993

Sumber Foto:
1. Courtesy of Kalinda Almaxaviera
2. Courtesy of Kris Budiman
3. Courtesy of Pande Ketut Taman & Feintje Likawati

diaplot di Fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 25 Oktober 2011 jam 15:47


Royal Wedding jelas lebih asyik daripada Reshuffle

Dua hari ini rasanya aku sedang mengalami psikosomatis di pagi hari, dan di kantor. Setiap pagi, aku selalu bersin-bersin, keluar keringat dingin dan badan seperti demam, melayang ... Anehnya semua langsung sirna begitu keluar kantor ha ha ha. Sepertinya aku sedang mengalami apa yang juga (mungkiin) sedang dialami oleh hampir seluruh orang di penjuru Yogyakarta: Demam Royal Wedding. Selasa, 18 Oktober ... aku memaksa diri untuk mengambil cuti setengah hari demi mengobati demam tersebut. Tak sampai berapa lama, aku sudah berada di depan Kraton Yogyakarta berkerumun bersama para juru potret yang sibuk menguber para tamu yang baru keluar Kraton, juru potret itu menawarkan hasil potretan kilat itu kepada para tamu dengan harga tertentu. Aku pun sempat memotret para juru poto ceria ini, dan mereka bertanya, "Sesuk, metu teng KR napa Tribun mas?" ... "Fesbuk!" jawabku singkat, ha ha ha. Selepas reuni uluk-salam dengan Kyai Wiyadi, akupun kemudian bergerak ke utara.

Setelah sejenak anjangsana ke Alun-alun Lor itu, tak lama kemudian aku sudah memarkirkan motorku di Ramai Mall, untuk kemudian bergegas menuju kompleks Kepatihan. Aku melihat seorang ibu dengan sopan bertanya kepada penjaga gerbang, dan terjadi pembicaraan serius soal ijin masuk dan seterusnya. Buat aku itu adalah peristiwa menguntungkan, karena aku bisa langsung nyelonong masuk hingga pendopo Bangsal Kepatihan, sebelum akhirnya disuruh pergi oleh Satpol PP ... tanpa tanda pengenal serta tak memakai batik dan sepatu, ha ha ha. Alhamdulillah aku tetap bisa mengabadikan Masjid Sulthoni Kepatihan, meski tak sempat menemukan makam tua di kompleks Kepatihan itu (menurut Wisnu Hermawan, makam ada di basement ... sebelah mana?)

Selepas dari Kepatihan, aku bergegas menuju titik nol ditengah panas terik dan belum makan siang. Akhirnya sambil menunggu Edy Hamzah, aku menghabiskan 2 botol minuman, semangkuk Bakso dan semangkuk Empek-empek ... masih mbayar, yang gratis belum buka :-p Setelah bersua Edy Hamzah, kamipun kemudian berusaha mencari posisi yang pas, untuk bisa memotret pesta Dhaup Ageng ini. Tapi kami tak beruntung, karena Lantai atas Kantor Pos sudah terlebih dahulu terisi oleh para Sniper berbaju doreng. Aku kemudian meninggalkan Edy untuk bergerak menuju kerumunan di Utara titik nol.

Perjalanan ke Utara titik nol ternyata tak bersahabat untuk aku yang ingin motret, karena aku tak seberuntung Caesar yang bisa naik ke Lantai atas BNI, akupun juga tak bisa mengakses Resto Mirota Batik, sementara untuk menyeberang dan naik ke atap Pasar Bringharjo juga tak bisa lagi karena sudah penuh lautan manusia. Uyel-uyelan dan tersamul di antara ibu-ibu dan adik-adik SMP-SMA menjadi pengalaman buatku he he he aku sempat terjepit dan tersangkut dalam perjalanan menuju Ramai Mall. Sementara itu Angkringan, Mie Ayam, Ronde dan beberapa penjual Gratisan yang tersedia sepanjang jalan sudah ludes

Akhirnya aku kembali lagi menuju titik nol, dan di antara ribuan manusia ... rombongan penganten akhirnya lewat dengan riuh tepukan, lambaian dari ribuan pengunjung yang memenuhi jalan sejak Rotowijayan-Titik Nol- Achmad Yani-Malioboro hingga Kepatihan, akupun tak beruntung, karena tak bisa memotret pengantennya ha ha ha. Namun demikian, rasanya tetap puas menjadi bagian dari ribuan manusia yang berada di poros Kraton-Kepatihan sore ini. Bersama rombongan ibu-ibu yang sengaja datang dari Pekalongan urunan sewa mobil, bersama serombongan masyarakat dari Rongkop Gunungkidul yang rencananya akan menginap di Masjid Gedhe sebelum esok pagi menuju Terminal Giwangan untuk kembali pulang, serta bersama ribuan masyarakat lainnya yang sengaja datang untuk berpesta meski hanya sekedar melambaikan tangan untuk Dhaup Ageng ini. Selepas menanti berkurangnya kepadatan di warung pak Billy dan mbak Rus, akupun kemudian bergegas menuju Selatan, rencananya mau ke Sangkring ... namun ternyata kepadatan masih belum pudar setengah jam selepas Maghrib, ya sudah akhirnya aku menuju ke Jogja Utara: Home!

Terbukti "Monarki" itu luar biasa sodara-sodara, militansi rakyatnya, ceria masyarakatnya ... wah ... cihuy sekali deh. Bahkan sampah-sampah yang bertebaran sepanjang Malioboro akan menjadi rejeki juga bagi rakyat. Tampak sudah siaplah kalau memang mau jadi negara sendiri he he he, meski aku tetep mikir "arep tilik mbah-e Anak-anak di Bagelen ndadak pake Paspor" ha ha ha ... Refleksi lainnya adalah menjadi rakyan jela(n)tah juga asyik, biar gak bisa motret manten-nya tetep cihuy he he he ... Royal Wedding jelas lebih asyik daripada Reshuffle

Jadi yang pengen melihat potret manten-nya silahkan cek album teman-teman anda yang lain ... he he he

diaplot di Fesbuk oleh Cuk Riomandha pada 18 Oktober 2011 jam 22:20

Stasiun Kalimenur: Penjual Tahu tak lagi menanti Sepur Grenjeng



Stasiun Kalimenur terletak di Desa Sukoreno, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, tepatnya diantara Stasiun Sentolo dan Stasiun Wates. Stasiun ini kini kondisinya lusuh dan kesepian, karena sudah sekitar 35 tahun lalu beroperasi. Stasiun berhenti beroperasi pada 1974 dan dianggap tak layak lagi meski hanya untuk pemberhentian kereta berkecepatan tinggi.




Stasiun ini diperkirakan dibangun pada masa yang sama dengan pembangunan jalur rel Surabaya-Cilacap, sekitar 1876-1888. Hingga masa revolusi, Stasiun Kalimenur menjadi salah satu Stasiun yang riuh dengan penumpang menunggu Kereta Uap yang sering disebut sebagai Sepur Bumel atau Sepur Grenjeng. Yang Unik, Stasiun ini dulu juga disebut sebagai Stasiun Tahu, karena mayoritas penumpangnya adalah penjual Tahu dari Tuksono, Sentolo yang hendak jualan ke Yogyakarta atau Kutoarjo.




Pada masa revolusi sekitar 1948, Stasiun ini pernah dibom oleh Belanda, hingga hampir hancur. Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) kemudian membangun kembali, dan meresmikan Stasiun Kalimenur menjadi Stoplat (Stasiun Mini) pada 1954.




Stasiun ini kini merana dan tak terawat, tulisan Kalimenur +35m terlihat semakin lusuh. Entahlah, apakah Stasiun Kalimenur termasuk sebagai Bangunan Cagar Budaya, karena tak ada papan penanda resminya.


Jadi, kapan anda datang berbagi sunyi dengan Stasiun Kalimenur ?


ditulis ulang dari http://www.matarama.co.id/news/mari-menelusuri-kejayaan-kereta-masa-silam.html

Stasiun Purworejo: Kereta Itu Tak Lagi Singgah


Awalnya Pemerintah Kolonial Belanda hanya membangun rel dari Kutoarjo menuju Purworejo sepanjang 12 km dengan tujuan untuk mendukung mobilitas dan perekonomian. Hingga kemudian dirasa perlu dibangun sebuah Stasiun yang menghubungkan Kutoarjo-Purworejo, maka Stasdsspoorwagen pada 20 Juli 1887 resmi membangun Stasiun Purworejo dan selesai sekitar hampir 1910 dengan struktur beton 8 meter dengan luas sekitar 850 meter persegi.




Stasiun Purworejo letaknya di dekat Alun-alun Purworejo serta di dekat pusat perekonomian Purworejo yaitu Pasar Baledono. Dengan demikian, seperti Stasiun Kutoarjo yang juga terletak di pusat perekonomian, maka pembangunan Stasiun Purworejo diperuntukkan untuk mempercepat mobilitas perekonomian antara Kutoarjo-Purworejo.




Stasiun ini sempat mengalami beberapa kali status non-aktif, terakhir diaktifkan oleh Menhub era 1990an Haryanto Dhanutirto. Seperti Stasiun Wonogiri dan Cilacap, Stasiun ini hanya melayani satu rute saja tiap harinya, dari Purworejo menuju Kutoarjo dengan kereta Feeder. Itupun sejak November 2010, Kereta Feeder tak lagi beroperasi. Kini meski resmi menjadi Bangunan Cagar Budaya, Stasiun Purworejo selain hanya menjadi tempat pemesanan tiket kereta, ia justru lebih tenar sebagai lokasi Warung Soto Sapi yang enak. 


Mungkin akan menarik jika Stasiun ini digunakan sebagai tempat kegiatan Kebudayaan, bagaimana menurut anda?



Museum Perjuangan Bogor


Museum Perjuangan Bogor, terletak di Jalan Merdeka No. 56, sekitar 3km dari Stasiun Bogor. Museum ini diresmikan oleh Komandan Korem 061/Suryakencana Letkol Isak Juarsa pada 10 November 1957. Sebagai layaknya Museum "Perjuangan", museum ini menyimpan beberapa koleksi mata uang, senjata, pakaian para pejuang, mesin tik, mesin jahit serta beberapa artikel media massa pada jaman perjuangan.


Gedung Museum sendiri dibangun oleh pemiliknya Wilhelm Gustaf Wissner pada 1879, sebagai rumah tinggal. Pada 1935, bangunan ini digunakan sebagai tempat pergerakan nasional, dan kemudian tahun 1942 digunakan oleh Jepang sebagai tempat barang-barang pampasan dari Belanda.


Pada 20 Mei 1958 setelah bangunan telah resmi digunakan sebagai Museum Perjuangan, resmi pula bangunan ini dihibahkan ke Negara oleh pemiliknya yang terakhir: Umar Bin Usman Albawahab.